"Aku harap kau tidak menarik keputusanmu untuk yang satu ini." Kata Zayn.
"Tentu, aku tidak akan melakukannya. Tapi--"
Zayn sangat tahu bagaimana kakaknya, ia tidak akan membiarkan segala sesuatunya menjadi lebih mudah.
Kalau bisa susah, kenapa membuatnya menjadi lebih mudah?
Begitulah kira-kira yang mungkin saja menjadi prinsip Aziel.
"Apa yang kau inginkan dari keputusanmu?" Tanya Zayn.
"Tidak ada, aku hanya ingin menyampaikan kalau anak itu harus mengikuti peraturannya." Jawab Aziel membuay Zayn mengerutkan keningnya bertanya-tanya.
Peraturan?
Peraturan apa?
Bahkan tanpa adanya peraturan, Zayn sangat tahu bahwa Theodoric tidak akan melakukan apapun selama ia masih berada di masa kebingungannya dalam menjalani kesehariannya sesuai apa yang ia tangkap dari gerak gerik Theodoric. Ya, sedikitnya Zayn mengamati perilaku anak itu dan ia yakin bahwa Theodoric orang yang penurut.
Mungkin?
"Peraturannya tidak sulit, hanya membawanya langsung kembali setelah pulang dari sekolah. Tidak boleh melakukan kegiatan di luar tanpa adanya pengawasan. Hanya itu, bukanlah itu tidak sulit untuk ditaati?" Kata Aziel menatap Zayn yang dimana ia tahu bahwa adiknya itu hendak melakukan protes.
Ia sangat tahu bahwa seseorang yang dikurung dalam sangkar emas secara tidak langsung akan mengganggu perkembangan mentalnya.
Aziel membiarkan Theodoric bebas, tapi ia juga mengurungnya dalam sebuah sangkar yang tidak dapat dilihat oleh mata telanjang.
"Peraturan terakhir, tidak ada kata protes." Kata Aziel membuat Zayn berdengus.
"Baiklah, aku akan memerintahkan orang kita untuk melakukan pengawasan terhadapnya."
Aziel itu mutlak.
"Bagus. Kau bisa pergi." Kata Aziel kini kembali memandang foto yang masih dalam genggamannya.
Zayn dapat melihatnya, ia melihat dalam diam sebelum akhirnya ia berlalu dari sana meninggalkan ruangan Aziel dengan tanda tanya besar.
Apakah selembar foto mampu membuat Aziel mengeluarkan ekspresi yang begitu menyedihkan tanpa ia sadari?
"Oh, Max." Kata Zayn saat ia tidak sengaja berpapasan dengan keponakannya yang kelewat pintar itu.
"Apa yang paman lakukan di sini?" Tanya Max membuat Zayn mengerutkan keningnya mendengar pertanyaan itu.
"Itu bukan urusanmu, seharunya aku yang bertanya seperti itu. Apa yang kau lakukan di sini?" Jawab Zayn dimana ia dapat melihat Max menganggukkan kepalanya yang membuatnya tidak mengerti dengan reaksi keponakannya itu.
"Itu bukan urusan paman." Jawab Max membuat Zayn menggeram. "Bercanda, aku hanya ingin menemui Grandmother dan Grandfather. Aku mendengar kabar bahwa mereka berada di sini." Lanjutnya.
Zayn memutar bola matanya jengah mendengar perkataan Max yang sedikit menjengkelkan. "Kakekmu sedang istirahat dan nenekmu pergi entah kemana bersama Theodoric." Jelas Zayn memberitahu keberadaan kedua orang tuanya.
"Bersama orang asing itu? Apakah paman memberikan seseorang untuk mengawasi mereka?" Tanya Max membuat Zayn termenung seketika.
Ia baru ingat satu hal, "Sial!"
BRAK!
Umpatan itu keluar begitu saja dari mulut Zayn yang bersamaan dengan suara pintu yang dibuka secara kasar membuat seseorang yang berada di dalam ruangan itu tersentak kaget.
"Apa yang kau lakukan?!" Kata Aziel dengan nada rendahnya.
"Apa kau memerintahkan seseorang untuk mengikuti ibu?"
"Kau membanting pintu itu hanya untuk menanyakan hal yang tidak penting?" Geram Aziel, serius jantungnya berdetak begitu cepat saat ini akibat perbuatan Zayn.
Mendengar pernyataan Aziel berhasil membuatnya bingung. Kenapa kakaknya itu bisa berkata terlalu santai seperti itu?
"Keluarlah, aku sedang sibuk." Perintah Aziel.
"Kau tidak mengkhawatirkan--"
"Kau dapat mengawasinya tanpa memberi perintah pada siapapun itu untuk mengikuti mereka."
"Tapi--"
"Gunakan itu dan kau dapat mengetahuinya." Kata Aziel membuat Zayn berpikir sejenak maksud dari perkataan Aziel sampai ia menyadari maksud dari perkataan Aziel.
"Sudah mengerti? Kalau sudah, pergilah." Kata Aziel saat melihat ekspresi Zayn yang tampak tersadar dari pikirannya.
Zayn hanya membalas dengan tawaan canggung yang setelahnya ia berlalu dari sana dan saat itu juga ia mendapati Max yang tengah beridir di depan sana.
"Ada apa keperlua apa kau datang ke sini?" Tanya Aziel merasa seperti ingin meledak saja.
Ia hanya ingin memiliki waktu untuk bersantai saat ini, apakah tidak ada satu orngpun yang memahaminya?
"Apakah harus ada kepentingan baru bisa menemuimu?" Celetuk Max berjalan masuk ke dalam dan duduk tepat di sebrang Aziel.
Aziel tampak tidak memperdulikannya, terihat bagaimana ia meletakkan kembali foto yang sedari tadi ia genggam dan meraih dokumen yang harus ia kerjakan saat itu.
Tentu saja itu semua tidak lepas dari pengawasan Max dimana ia dapat melihat dengan jelas foto yang baru saja diletakkan Aziel di depan sana.
Max tampak mengerutkan keningnya, itu foto perempuan. Ia memperhatikan foto itu berusaha untuk mengingat kembali kiranya dimana ia melihat perempuan itu, tapi pada kenyataannya tidak ada satupun perempuan yang terlihat seperti orang yang ada di dalam foto itu.
"Jika kau tidak memiliki kepentingan, keluarlah." Suara Aziel tiba-tiba saja memecahkan keheningan yang terjadi diantara mereka membuat Max menatap ke arahnya.
"Huft, baiklah, aku akan pergi." Kata Max beranjak dari sana dan sebelum ia pergi meninggakan ruangan itu, sekali lagi ia memperhatikan foto yang ada di atas meja itu.
Ia seperti tidak asing dengan wajah itu, seperti--
Tidak, itu tidak mungkin. Foto itu sudah sangat lama dilihat dari bagaimana warna foto itu yang mulai memudar. Lagi pula, untuk apa Aziel mengoleksi foto orang yang saat ini ada dalam tebakannya?
Tidak mau ambil pusing, Max benar-benar pergi meninggalkan ruangan Aziel. Ia tidak mau memikirkan itu lebih lanjut lagi yang membuat menambah beban pikirannya. Biarlah itu menjadi urusan orang dewasa, ia tidak perlu ikut campur dalam hal itu.
Sepeninggalannya Max, Aziel kembali menatap foto tersebut.
"Kenapa kau datang? Seharusnya kau berada di sana." Gumam Aziel seketika merasakan dadanya yang terasa begitu sakit, sesak. "Apa tempatmu sudah tidak aman lagi?" Gumamnya lagi.
"Sekalipun kau datang dengan orang yang berbeda, aku tidak bisa melakukannya. Maaf." Lirih Aziel.
-IBL-
"Oh-- tumben kau di rumah?" Tanya seseorang yang baru saja menginjakkan kakinya di ruang keluarga.
Sementara satu orang lagi yang ada di sana menoleh untuk melihat siapa yang sedang mengajaknya berbicara.
"Hanya ingin saja." Jawabnya yang mendapat anggukan dari lawan bicaranya yang saat itu ikut duduk tepat di sampingnya.
"Minum?" Tawarnya memberikan minuman yang ada dalam genggamannya membuat lawan bicaranya menoleh sejenak dan menggelengkan kepalanya menandakan ia tidak ingin.
Orang itu hanya mengangguk dan menarik kembali minuman itu yang kemudian ia langsung meminumnya.
"Bagaimana kabar mereka?"
"Mereka baik-baik saja, saat ini nyonya besar dan tuan besar ada di sini."
"Paman dan bibi?"
Mendengar itu ia mendelik ke arah lawan bicaranya, "Jaga mulutmu!" Katanya memperingati.
"Bukankah mereka yang mengatakan untuk memanggil paman dan bibi?"
"Tapi tetap saja--!"