Hampir lebih dari 30 tahun sejak kejadian itu, sejak itu masyarakat Desa Salak selalu merasa di datangi sama arwah Winarsih atau Narsih itu.
"Hampir lebih 30 tahun ya, desa kita ini seram kalau malam hari. Aku meronda saja tidak berani sendiri," kata Mang Dadang.
"Itu karena kamu supir ambulans, makanya kamu takut iyakan?" tanya Mak Odon.
Mang Odon teman Mang Dadang saat ronda, keduanya beda profesi, Mang Odon sebagai OB di rumah sakit sedangkan Mang Dadang sendiri, bekerja sebagai supir ambulans. Sudah lama sejak kejadian itu Mang Dadang, selalu di datangi sama Narsih, entah apa maunya.
****
Di kota besar para anak kuliah yang juga berprofesi sebagai wartawan dan wartawati itu sedang membuka file lama. Nona seorang wartawati yang bekerja di kantor berita Misteri itu melihat catatan lama, atau surat kabar lama.
"Ian, lihat deh surat kabar lama ini, ada berita tentang pembunuhan pasutri yang sangat sadis," kata Nona si gadis cantik bergigi gingsul dan berambut panjang.
"Mana coba aku lihat dulu. Kamu itu kebiasaan sekali, kalau lihat sesuatu pasti heboh sekali udah seperti kebakaran jenggot saja," ucap Ian lagi.
Nona memberikan surat kabar lama yang sudah sedikit rapuh itu pada Ian. Ian membaca surat kabar lama itu. Dengan tatapan fokus Ian membaca dan juga meneliti foto pasutri itu.
"Eh, tunggu dulu deh. Ini wanitanya kenapa mirip dengan kamu Non, apa dia nenek buyut kamu tah?" tanya Ian.
Ian menunujukkan foto Winarsih atau Narsih itu. Nona mengambil surat kabar itu. Dan benar sekali, foto itu mirip dengannya. Tanpa dia duga, foto Winarsih itu tersenyum padanya.
"AAAAAAA!" teriak Nona dan dia membuang surat kabar itu ke lantai.
Ian yang melihatnya langsung kaget melihat Nona sudah keringatan dan pucat pasif sambil menunduk menutupi wajahnya di lipatan kedua pahanya.
"Non, kenapa lu? Kayak lihat setan aja. Pakai acara buang nih surat kabar lagi. Ini kita harus usut. Karena di sini, pembunuhnya tidak di ketahui sama sekali. Aneh kan?" tanya Ian sambil menarik Nona untuk bangun.
"Kamu serius? Pembunuhnya tidak dapat? Kok bisa? Pihak berwajib apa tidak mencarinya?" tanya Nona.
Ian menggelengkan kepalanya. Dia juga tak tahu, kenapa bisa tidak ada penyelesaiannya. Ian membaca kembali surat kabar itu sambil duduk di kursi.
Krekkk!
Kursi ditarik sama Ian. Dia duduk di kursi sambil membaca teliti koran itu.
"Aku tahu Non, ini karena letak desanya jauh, dan juga tidak ada sidik jarinya, baik itu di benda yang membuat keduanya meninggal ataupun benda yang lain. Lagian, pihak keluarga mengikhlaskan," kata Ian lagi.
"Tapi aku tidak Mas," jawab seseorang.
Ian yang sedang membaca langsung kaget dan melihat kearah Nona yang tertunduk. Dia kaget suara Nona berubah lembut tidak cempreng kayak kaleng kerupuk kulit.
"Non, eh jangan bercanda lu Non. Jangan akting gitu lah, buat gue takut aja lu," kata Ian.
Nona hanya diam tak bersuara, lingkar mata Nona sudah menghitam, dan wajahnya pucat pasif. Ian menghindar dari Nona, dia menjauhi Nona. Lampu ruangan Ian dan Nona bergerak kesana kemari dan lampu nyala padam begitu seterusnya.
"Kalau seperti itu bisa mati aku di sini. Non, sadar Non. Aduh, gimana ini," kata Ian.
"Ian, lo kenapa?" tanya teman Ian.
"Dino sahabatku, tolong aku. Nona, lihatlah dia Dino, matanya hitam aku sungguh takut," kata Ian pada Dino.
Dino melihat kearah Nona yang matanya hanya biasa saja, malah kelihatan seperti tak bersalah. Ian menunduk, dia tak berani melihat kearah Nona.
"Non, kenapa dengan si Ian? Lu apakan dia?" tanya Dino.
"Lah mana aku tahu Din, tanya sendiri saja. Lagian, dari tadi aku panggilin dia hanya teriak, dan ngaco. Ya udah, aku diamin aja," kata Nona lagi.
Dino melihat surat kabar lama yang sedikit usang, dia mengambil dan membaca surat kabar itu. terlihat judul besarnya "Pembunuhan Pasutri", tahun 1965. sekarang tahun 1995 jadi sekitar 30 tahun lalu. dan tak ada yang mencurigakan atas pembunuhan itu dan juga pelakunya tak di temukan, duh kok bisa gumam Dino lagi.
"Ian, sudah lah, tak ada yang mencurigakan sama sekali. Kamu mah kurang minum, nah minum dulu. baca itu di tempat yang aman dan jangan di ruangan ini. Dan malam pula, dasar kalian ini. Lagian kalian ngapain sih di sini?" tanya Dino.
Ian menoleh dan melihat sekeliling, dan benar saja sudah aman, sedangkan Nona hanya mengejeknya. Ian kesal karena Nona malah menggodanya.
"Awas lo, pulang sendiri lo nanti," kata Ian.
"Aku bisa pergi sama Dino. Lagian, lo juga numpang juga sama Dino, sok-sokan bilang jangan numpang," ejek Nora.
"Dino, lu tahu tidak. tadi itu gambar senyum ke gue, dan gue takut Dino," kata Nona lagi.
Ian mendekati Dino dan duduk kembali di kursi tadi.
"Benar sekali Dino. Dan kamu lihat, wajahnya sama kayak Nona, dan duh dia mirip kayak kembar mereka Dino," kata Ian lagi.
Dino sang ketua Persatuan Remaja Teladan khusus membidangi surat kabar lama dan baru itu melihat gambar usang itu.
"Kok bisa mirip ya?" tanya Dino.
Dino melihat dengan teliti dan benar, senyum Nona dan semuanya mirip sekali. tak ada yang tidak serupa. Bak kata orang bagai pinang dibelah dua.
"Apa ini nenek lo Non? Kok sama kali. Udah kayak adik beradik, dan kisahnya tragis benar. Aku jadi ingin mengusutnya dah. Kalau kita cari tahu mau tidak?" tanya Dino.
"TIDAK!" teriak keduanya.
"Cihh, dasar penakut. Kita itu harus tahu kenapa dan siapa yang membunuh dia. jangan biarkan dia tidak tenang," kata Dino.
"Bukan masalah tenang atau tidak bro, masalahnya ini alam lain, kalau alam mimpi bisa ke bangun. Sedangkan alam lain, bangun pas sangkakala berbunyi, dan kalian pada bangun dah tuh," kata Ian.
"Ia, itu sama saja kita sudah metong alias meninggal. beda cerita kali. Kalian mau ikut apa tidak ke Desa Salak?" tanya Dini.
"Bukan tak mau, cuma takut aja ke sana. dan itu desa tidak mau di datangi orang kayak kita," kata Ian lagi.
Baik Dino dan Nona mengangga mendengarnya. Di mana-mana yang namanya orang berkunjung pasti di terima bukan ditolak.
"Alah alasan klasik, drama kan lo. Bilang saja ke kita, Dino gue takut, jadi maap ne ye, gue nggak bisa ikut kalian. Kan mudah, ini nggak mutar-mutar udah kayak. komedi putar," sindir Nona.
Dino mencibir mulutnya dan dia kesal karena kedua sahabatnya itu tidak mau ikut.
"I ...."
Gubrakkk! Prang!
"Apa tuh, dari mana suaranya bro?" tanya Ian.
"Mana gue tahu, awas dulu tangan kalian. Kita lihat dulu ke luar kalian buat aku susah jalan tahu," sungut Dino.
Nona dan Ian memeluk tangan Dino. Dino hanya bisa pasrah, dia menyeret keduanya agar bisa melihat kearah pintu dan tentunya mencari sumber suara.
Ceklek!
"KAMU!" pekik ketiganya.
Yuk singgah yukk.. Jangan lupa kasih komentar dan simpan di rak kalian ya Mauliate Godang.