Chereads / Black Invitation / Chapter 3 - IX

Chapter 3 - IX

Kapal pesiar kembali menurunkan jangkar dan berlabuh ke dermaga yang terbuat dari besi kokoh. Satu persatu penumpang turun dan dituntun menuju ke sebuah villa besar yang berada di pesisir pulau utama. Villa itu lebih terlihat seperti gedung perkantoran, tingginya yang mencapai lima ratus meter dengan arsitektur modern penuh kaca pemisah dibanding dinding membuatnya lebih terlihat elegan.

Si Gelandangan memperhatikan bentuk bangunan dan merasa sedikit takjub, walau entah mengapa firasatnya merasa tidak enak kemudian. Ia mengedarkan pandangannya ke sekitar villa demi menemukan sumber dari firasat tersebut.

Suara musik dan hidangan makanan mewah menjadi sebuah sambutan yang disenangi oleh sebagian besar penerima undangan. Mereka segera memenuhi bagian hidangan yang tak mereka dapatkan di kapal pesiar, beberapa dari mereka bahkan langsung mengambil banyak makanan walau tidak mereka habiskan juga akhirnya, makanan itu terbuang percuma tanpa ada yang peduli.

Dalam segala keriuhan pesta Si Gelandangan memperhatikan dalam waswas. Ia sendiri mengambil berapa macam makanan yang memang benar ingin ia makan. Matanya fokus menelisik setiap sudut Villa dan mencari seseorang yang menjadi penanggung jawab atau siapapun yang membuat pesta itu, tapi anehnya hanya ada pemusik di atas sebuah panggung dan beberapa drone yang berseliweran di atas kepala-kepala.

Meski suasana sedang sangat ramai, hal itu tak dirasakan oleh Si Gelandangan, pasalnya apa yang ada di undangan tak sesuai dengan kenyataan di sini saat ini, yang mana seharusnya pemenuhan undangan itu adalah rapat kerja sama, tapi yang kini tampak di depan mata justru sebuah pesta.

"Hei." Suara itu membuat Si Gelandangan terperanjat, segera pria itu menoleh dan menemukan Marylin yang setengah mabuk. "Ayo kita pergi dari sini."

"Kemana?"

"Ke kamar, kemana lagi?"

"Sepertinya lelaki itu lebih cocok denganmu." Si Gelandangan menunjuk ke sebuah arah, tepat ke kepala seorang pria berumur yang begitu haus menatap tubuh Marylin.

"Hah~ aku ingin denganmu." Marylin menggeliat manja sambil menarik lengan Si Gelandangan, lelaki itu tentu masih bertahan di tempatnya. "Ayolah."

"Tidak, tujuan kita ke sini bukan untuk itu." Si Gelandangan melepas pelukan Marylin, di satu sisi hatinya semakin resah. "Apa kau tidak menyadari sesuatu?"

"Sesuatu apa?"

"Pesta ini, dan undangan yang kuterima tak sesuai dengan apa yang kini kita lihat."

Mata sayu Marylin segera berganti, otaknya yang sedikit terlena akhirnya dapat berpikir setelah ditanyai oleh Si Gelandangan, perlahan ia melepas pelukannya pada lengan Si Gelandangan dan memperhatikan sekitar.

"Apa isi undangan itu?"

"Rapat kerja sama."

"Mana rapatnya?"

Marylin dan Si Gelandangan saling pandang kemudian bergegas berjalan ke pintu keluar, begitu mereka tiba di dermaga kapal pesiar yang mengantar mereka sudah tidak ada di tempat.

"Gawat." Si Gelandangan meremas rambutnya dengan frustrasi, ia tatapi luasnya lautan yang tampak hitam itu dalam kegundahan. "Lalu bagaimana kita bisa keluar dari sini?"

"Di sini juga tak ada sinyal." Marylin mengutak-atik gawainya yang seketika tak berguna, kini rasa panik mulai menguasai dirinya yang sempat terlena sebelumnya.

"Sial, ini artinya ..."

"Ada masalah apa Tuan?"

Suara berat milik orang itu sontak mengalihkan kepanikan Marylin dan Si Gelandangan, tampak VantaBlack berdiri tak jauh dari mereka.

"Ada yang bisa kubantu?"

Sejenak Si Gelandangan melirik ke arah Marylin dan kembali memandang pria bertopeng itu.

"Kami ingin keluar dari sini," ujar Si Gelandangan dengan hati-hati. "Apa kau bisa?"

"Tentu saja Tuan."

Si Gelandangan yang mendapati balasan seperti itu semakin tidak enak hati, terutama kala VantaBlack hanya berdiri diam di tempatnya.

Sekejap suara tembakan memekakkan telinga Si Gelandangan dan juga Marylin, selanjutnya rasa panas terasa menyengat keduanya di bagian tubuh atas dan melumpuhkan syaraf mereka. Keduanya mendadak lumpuh dan terjatuh begitu saja, kesadaran Si Gelandangan perlahan mulai memudar kala VantaBlack justru berjongkok tepat di depannya.

"Tentu saja kalian tidak bisa, hahaha."

Di detik berikutnya hanya ada kegelapan dalam pandangan Si Gelandangan.

***

Suara ramai dari orang-orang sekitar menyadarkan Si Gelandangan dari ketidaksadarannya. Suasana pertama yang ia dapat adalah pengap dan qberimpitan juga tangan diikat kebelakang. Di depannya tampak sebuah layar plasma raksasa, podium kecil dan beberapa orang berseragam putih dan abu. Di tengah mereka VantaBlack berdiri dan menatap kesemua penerima undangan di bawah podium.

"Selamat pagi semua. Selamat datang di pulau kami." Suara VantaBlack yang berat seketika menghentikan racauan orang-orang sekitar. Tak lama ia melanjutkan. "Apa kalian tahu mengapa kalian menjadi yang terundang dari perusahaan kami?"

Tak ada yang menjawab langsung pertanyaan tersebut, justru cacian dan serapah yang keluar dari mulut tiap-tiap orang di sini. Kebanyakan dari yang berkata adalah manusia kaum elitis yang merasa diri mereka tak pantas terikat seperti itu.

"Baiklah, akan kumulai permainannya." VantaBlack kembali berbicara tanpa menghiraukan ucapan orang-orang di bawah podium, ia berbalik dan menatap layar plasma yang masih menampilkan warna hitam, beberapa detik kemudian tertayang sebuah video asusila yang dilakukan oleh empat orang terhadap seorang gadis belia.

Semua orang yang menonton video itu terkejut, juga menyumpahi tindakan bejat tersebut. Si Gelandangan ikut menyaksikan itu dengan dahi mengkerut, bukan atas isi videonya, tapi pada alasan mengapa video tersebut ditayangkan.

Kemudian terdengar teriakan seorang pria yang digiring secara kasar oleh seorang prajurit berpakaian berwarna abu. Topeng khas Doctor Black Plague menutupi setengah wajahnya, mata hitamnya menatap lurus ke depan sementara tangannya tanpa merasa dosa menjambak rambut pria itu, ia giring si pria tersebut ke depan podium sampai bertatap dengan VantaBlack.

Si Gelandangan menyadari lelaki yang dibawa itu merupakan pelaku pemerkosaan di video yang masih ditayangkan. Lelaki itu menangis dan memohon ampun jika ia diberi hukuman mati.

"Lucu sekali," komentar VantaBlack tak acuh. "Lalu apa yang kau rasakan saat melakukan itu? Enak?"

Seorang prajurit berpakaian putih datang membawa besi panas dengan ujung berangka, sebuah respirator mask menutupi wajahnya dan tidak menunjukkan identitas. Secara keseluruhan pakaian ia tak begitu jauh berbeda dengan prajurit berpakaian abu. Yang ia lakukan selanjutnya adalah mencap pipi kanan si pria pelaku pemerkosaan dengan angka tertera 59 tanpa meminta permisi sekalipun.

"Kau sudah membuang banyak sekali makanan, bermain dengan gadis-gadis di sini, mabuk, bahkan melakukan judi. Maka kau harus menggali tanah dan mengumpulkan berlian sejumlah angka di pipimu itu." Kemudian VantaBlack menyuruh prajurit abu lain untuk menyingkirkan pria yang sudah diberi cap tersebut.

Sontak hal itu membuat riuh bergemuruh di ruangan yang entah apa itu, ruangan yang terasa sempit juga tanpa ventilasi udara. Si Gelandangan celingukan mencari Marylin yang entah ada di mana, ia juga mencoba mencari jalan keluar lain selain pintu di belakang VantaBlack.

Video demi video terus ditayangkan dan pelaku dari video tersebut digiring dengan kasar ke hadapan VantaBlack, kemudian pipi mereka diberi cap dari besi panas sesuai jumlah harga makanan yang mereka makan atau buang. Si Gelandangan kini paham dengan apa yang terjadi di sekitarnya, ini merupakan judgement day di sebuah pulau antah berantah yang dilakukan oleh perusahaan yang entah apa juga tujuannya.

Sampai kemudian tibalah giliran video Immanuel yang sedang mengacungkan sebuah pistol kemudian menembak orang-orang yang ada di sekelilingnya, tanpa diduga seseorang tiba-tiba menjambak rambut Si Gelandangan dan menyeretnya ke hadapan VantaBlack. Si Gelandangan tak banyak melawan dan membiarkan prajurit berpakaian abu tersebut menariknya hingga ke tempat tujuan.

VantaBlack terdiam menatap mata Si Gelandangan, kemudian ia berjongkok menyejajarkan posisinya dengan posisi Si Gelandangan. Bahkan ia sentuh dagu Si Gelandangan agar dapat melihat wajahnya dengan jelas.

Tanpa disadari seorang prajurit berpakaian putih sudah menempelkan cap di pipi kanan Si Gelandangan, angka tunggal 2 tertera di situ tanpa ada teman. VantaBlack masih menyentuh dagu Si Gelandangan dan menatap matanya dalam-dalam.

"Menarik, kau datang ke sini atas suruhan?" Tanya VantaBlack, tapi segera kemudian ia menjawab sendiri. "Ah, barangkali kau hanya orang yang tersesat."

VantaBlack bangkit dan saat itu pula Si Gelandangan kembali digiring keluar dari ruangan tersebut. Ternyata ruangan tadi berada di bawah tanah yang langsung menghubungkan ke bagian sebuah lahan pertambangan. Si Gelandangan dilempar begitu saja dan diberi sebuah beliung tanpa ada alat-alat yang lain.

Pertambangan tampak begitu mengerikan oleh penyiksaan dan pemerkosaan, jeritan kesakitan begitu pilu memasuki gendang telinga, udara panas amat menyengat bumi di tanah tandus itu. Si Gelandangan melihat bagaimana pakaian mereka yang compang camping bahkan ada yang sampai tak berbusana sekalipun.

Di sudut-sudut pertambangan terdapat beberapa orang ada yang membentuk kelompok untuk mengumpulkan berlian sesuai jumlah yang sudah ditentukan. Tampang mereka begitu kotor oleh debu.

Sebuah sengatan menusuk Si Gelandangan dan memaksanya untuk bangkit.

"Cepat kerja, bodoh!!" Seorang prajurit putih membentak keras. Dia kembali menusuk Si Gelandangan menggunakan tongkat listrik tersebut.

Terpaksa meski tak memiliki keahlian menambang ia mulai mengais tanah di depannya. Ia gali tanah itu dengan asal sampai membentuk lubang. Berjam-jam ia lakukan itu tanpa henti, jika saja dia mengambil rehat sejenak sengatan listrik akan kembali menghujamnya.

Suara pecut dan juga tembakan tak ayal menjadi hal yang harus terbiasa didengar di situ, Si Gelandangan melihat bagaimana cara kerja prajurit putih menyiksa penambang yang menurut mereka 'malas' juga langsung menyerbu wanita yang sudah kehilangan seluruh pakaiannya. Namun, begitu ada yang mendapat berlian akan mendapat tempat yang bagus dan diberi makan, hanya saja untuk mendapatkan berlian itu amatlah sulit, jadi akan lebih banyak penyiksaan dibanding penghargaan sebagai sesama manusia.

Penyiksaan mereka tidak hanya pada fisik tapi juga pada psikis para penambang, ketika seseorang mencoba membantu kawannya yang terkulai lemas, maka prajurit abu akan menembak kepala dengan senapan tactilite dan juga shotgun, bahkan tak jarang kepala yang ditembak itu meledak di depan wajah seseorang.

"Cepat kerja!!" Prajurit putih kembali memberi sengatan listrik ke tubuh Si Gelandangan yang terlalu asik memperhatikan sekitarnya, sebisa mungkin ia menjaga sikap agar tidak diberi serangan macam-macam dari para penjaga.