Dengan lahap Si Gelandangan menghabiskan berbagai macam makanan yang ia santap pagi ini, ia duduk di kursi makan bagian utara dengan balutan pakaian yang biasa Immanuel pakai saat tidur. Meja makan sepanjang lima meter itu tak terhidang jajaran makanan sampai setengahnya, hanya ada tiga jenis masakan yang Si Gelandangan pesan dari restoran terdekat.
Marylin sendiri masih setia di sampingnya, ikut menemani Si Gelandangan sarapan suatu makanan yang tak pernah ia makan ketika bersama Immanuel. Ia cukup senang berada di samping Si Gelandangan sehingga ia jarang memprotes apapun.
Penjaga-penjaga yang semula penuh di tiap titik rumah itu sudah Marylin pecat 'atas nama' Immanuel. Tapi anehnya tak ada yang merasa dirugikan, mereka justru tampak lega kala Marylin mengatakan kalau 'Immanuel' sudah tidak membutuhkan mereka lagi.
"Wajah mereka justru senang," ucap Marylin di sela memakan sarapannya. "Itu merupakan keuntungan bagimu."
Si Gelandangan hanya mengangguk karena mulutnya sedang penuh, sementara matanya menelisik tiap angka di tablet yang berada tak begitu jauh dari menu makannya, sudah tiga pekan itu ia masih tekun mempelajari bisnis yang dijalankan oleh anak pemilik perusahaan besar, tapi sayang anak yang ini tak pernah diaku karena hasil dari hubungan gelap.
"Lalu para pembantu pun tak ada yang 'kepo' seperti kebiasaan mereka, mungkin karena mereka lelah atau ada hal lain. Hal itu sedikit membuatku curiga, tapi karena aku tak punya bukti jadi kubiarkan saja untuk sementara waktu."
"Mungkin kita harus mengirim pengawas untuk mereka, aku tidak mau identitas asliku terbongkar." Si Gelandangan meminum air seteguk dan kembali melanjutkan. "Walau aku tak yakin mana identitas asliku itu, mereka hanya tahu wajah 'kan?"
"Tahu dari mana? Apa kau sempat berpapasan dengan mereka?"
"Tidak juga."
Marylin mengangguk menanggapi perkataan Si Gelandangan, dia melanjutkan makannya tanpa banyak berbicara lagi, keheningan mengambil alih suasana, saat itu pula Si Gelandangan bersyukur karena tak lagi mendengar mulut cerewet Marylin.
Tiga pekan belakangan ini terasa luar biasa bagi Si Gelandangan, karena bukan hanya harta yang ia miliki tapi juga tanggung jawab yang seketika terpikul ke pundaknya, dia harus turut mengurusi bisnis Immanuel yang sebagian besar menyangkut kemanusiaan, ketenagakerjaan dan juga sebuah bisnis gelap yang langsung Si Gelandangan tolak begitu mereka meminta 'jatah'. Si Gelandangan tak peduli akan ancaman mereka yang jelas dia tak bisa asal mengorbankan orang tak dikenal dan masih mudah hanya untuk sesenapsu belaka.
Dan dia bersyukur Marylin yang hadir di saat setelah ia membunuh Immanuel, karena jika wanita lain yang datang tentu mereka akan berbuat macam-macam, sementara wanita itu hanya menangis sesaat dan menuruti semua perintah. Bahkan dia bisa dijadikan teman diskusi, entah mengapa wanita secerdas ia memilih menjadi pelarian Immanuel dari perempuan yang pertama.
"Jadi kapan pertemuan dari undangan yang kau sebut itu?" Tanya Marylin sambil membereskan meja makan dari piring-piring yang sudah tandas isinya. Sesekali ia melirik ke arah Si Gelandangan yang sedang mengingat-ingat.
"Malam ini kurasa, sekarang tanggal 3 Januari, kan?"
"Iya. Kalau begitu kita berangkat pakai apa?"
"Apa Immanuel memiliki jet pribadi, atau sebuah helikopter?"
"Kurasa kalau untuk jet pribadi dia memilikinya, tapi kalau helikopter kuncinya dipegang Rebecca."
"Hmm, sulit juga ya ..."
"Mengapa harus dengan helikopter?"
"Karena hanya pesawat itu yang bisa kukendarai, di undangan tidak disebutkan nama lokasi, hanya titik koordinat garis bujur dan garis lintang."
"Astaga, mereka sebenarnya hendak menjalin kerja sama atau main tebak-tebakan, sih?"
"Sudahlah, kau hubungi saja maskapai tempat parkir pesawat jet Immanuel berada. Kita akan berangkat pukul sebelas."
"Baik."
Marylin berlalu sambil tangannya penuh membawa semua piring, sementara Si Gelandangan kembali membaca cara-cara mengemudikan pesawat jet pribadi. Tentu ia tak mau sembarangan karena mengendarai kendaraan terbang dengan kendaraan darat berbeda jauh meski dasarnya sedikit sama. Dia pun tak berniat menyewa pilot pribadi sebab pesan dari intel Immanuel yang menyarankan dia pergi seorang diri.
Waktu yang sudah menunjukkan jam sembilan pagi itu membuat Si Gelandangan bergegas untuk berkemas dan juga memilih pakaian yang pantas, dia memperhatikan setelan di kamar ganti Immanuel dengan heran, pasalnya ia memang tidak pernah tahu soal fesyen.
Berbagai macam mode lelaki yang sedang trend kala itu terpajang di depan mata Si Gelandangan, membuatnya lebih kepada pening dibanding merasa tertarik. Satu persatu baju ia ambil dari gantungan dan mencocokkan dengan tubuhnya di depan cermin besar, dari pakaian casual sampai hanya kaos oblong putih ia coba berdasar keterkaitannya hingga akhirnya ia merasa pusing sendiri.
"Sedang apa?" Suara lembut Marylin sedikit membuyarkan lamunan Si Gelandangan. Marylin masuk ke kamar ganti dan menemukan raut depresi di wajah pria itu, sontak ia terkekeh. "Pusing soal baju?"
Si Gelandangan membuang muka dengan wajah mepadma, dia tentu tak mau kalau sampai wanita yang ia suruh-suruh sesuka hati mengetahui kelemahannya. Marylin sendiri mulai memilah setelan tuxedo dan juga kemejanya, sepatu pantofel serta dasi.
"Nih, kau tak perlu lelah mencari lagi." Marylin memberikan setelan pilihannya pada Si Gelandangan, pria itu hanya menerima tanpa memprotes kemudian pergi ke sisi lain kamar ganti untuk mencobanya.
Hanya dalam waktu lima menit Si Gelandangan sudah siap dalam balutan tuxedo berwarna granit, celana dengan warna senada, kemeja hitam, dan dasi yang belum diikat sebab pria itu tak tahu bagaimana caranya, Marylin kembali terkekeh dan membantu Si Gelandangan dalam merapikan ikatan dasi itu. Wajahnya yang terlalu dekat dengan Si Gelandangan membuat pria itu kembali membuang muka.
"Kau ini benar-benar payah, untung ada aku yang bisa membantumu." Ucap Marylin. Ia menyentuh dada bidang Si Gelandangan yang sudah lebih baik dalam perawatannya selama tiga pekan ini, ia ingat betapa buluknya penampilan pria itu, wajah yang penuh debu, kumis dan jambang yang sangat tak terurus serta tubuh yang amat kurus. Kini penampilannya pantas seperti seorang boss.
Si Gelandangan menepis tangan Marylin yang berusaha menggodanya, ia berjalan keluar kamar ganti dan membiarkan Marylin di situ seorang diri. Ia tentu tak akan tergoda dengan wanita ular macam dia, masih ada yang lebih baik untuk diperhatikan daripada sekadar napsu.
Jadwal keberangkatan sudah tiba pada waktunya, Si Gelandangan mengendarai mobil Bugatti bersama Marylin yang sudah berpenampilan begitu menawan, gaun merah dengan dada terbuka begitu contrast di kulit putihnya, rambut hitam tergerai dan sedikit bergelombang di ujungnya. Wajahnya sendiri dirias tak begitu berlebihan, membuatnya tampak simple tapi elegan.
Jarak dari rumah Immanuel menuju maspakai tidak begitu jauh, hanya butuh setengah jam sampai mobil itu tiba di lahan parkir, beberapa petugas bandara langsung menyambut Si Gelandangan yang mereka kira sebagai Immanuel dan menawarkan jasa pilot pribadi, tapi dengan lembut Si Gelandangan menolak dan berjalan cepat menuju landasan pacu, dimana pesawat jet pribadi milik Immanuel sudah siap untuk dikendarai.
Si Gelandangan bersiap untuk lepas landas setelah diberi arahan oleh operator, ia membawa pesawat itu menukik ke arah langit dengan begitu sempurna, walau sebenarnya ini percobaan pertamanya dalam mengendarai kendaraan terbang, tapi ia masih bisa tenang tanpa merasa terbebani sekalipun.
"Titik koordinat yang diberikan ada di pulau ini. Marylin menunjukkan sebuah titik di peta pada layar gawai, ia perhatikan lagi deskripsi di peta dan sedikit merasa heran. "Itu pulau mati, lalu bagaimana mereka membuat sebuah pertemuan?"
"Kita coba saja dulu, tak ada salahnya juga 'kan?" Si Gelandangan mengubah mode manual pesawat ke mode auto kemudian meraih gawai Marylin. "Ini bisa menjadi liburan buat kita."
"Ya, kalau kau mau kita bisa bermain di bagian belakang."
"Ada apa di bagian belakang?"
"Ikut saja."
Marylin beranjak dari kursi co-pilot sambil menarik paksa tangan Si Gelandangan, begitu mereka melewati sebuah pintu yang dibuat menggunakan kayu jati, Si Gelandangan menghela napas lelah begitu melihat bagian belakang pesawat yang hanya ada ranjang besar dan empuk. Ia tahu apa yang ada dipikiran Marylin.
"Kau saja yang di sini, aku akan ke depan."
"Hei, kita bahkan belum pernah berciuman?"
"Apa itu penting saat ini?"
Marylin sedikit tersinggung dengan perkataan Si Gelandangan, setelah ia begitu manut terhadap segala perintah pria itu, saat dia menuntut apa maunya, Si Gelandangan bisa menolak sesukanya.
"Sudahlah, kau pasti akan menemukan pria yang lebih baik di ranjang daripada aku." Si Gelandangan segera berlalu meninggalkan Marylin, lagi. Membuat wanita itu cemberut sendiri.
Pulau yang dituju sudah tampak di depan, setelah dua jam perjalanan dan Si Gelandangan yang melihat hamparan laut juga awan putih ia segera mengambil alih mode pesawat dan menukikkan pesawat ke arah pulau. Sebuah landasan pacu terlihat jelas dengan kelap-kelip lampu penunjuk jalan yang sebenarnya tidak begitu berguna di bawah sinar matahari. Dnegan mulus Si Gelandangan dapat mendaratkan pesawat itu dan berhenti sebelum jalan aspalnya habis.
Marylin muncul dari belakang. "Kita sudah sampai?"
"Ya." Si Gelandangan mematikan turbulensi pesawat dan beranjak dari kursi pilot. "Ayo, kuharap kita bisa cepat menyelesaikan undangan itu."
Si Gelandangan dan Marylin turun dari pesawat dan disambut oleh seorang pria berpakaian serba hitam, topeng ulir sidik jari itu mengingatkan Si Gelandangan pada undangan vantablack yang diterima oleh Immanuel.
"Tuan Immanuel?" Tanya pria itu dengan sedikit menundukkan tubuhnya.
"Ya."
"Selamat datang, Tuan dan Nyonya. Saya VantaBlack akan menuntun anda sekalian menuju kapal pesiar yang akan mengantar kalian menuju pulau utama."
"Oh, jadi pulau ini hanya transit?" Kali ini Marylin yang bersuara.
"Ya Nyonya," VantaBlack menjawab dengan sedikit melangkah. "Mari, kapalnya sebelah sini."
Pulau yang tak begitu luas dan hanya ada hamparan pasir itu terasa begitu panas, menyengat kulit Si Gelandangan dan Marylin. Untungnya letak kapal tak begitu jauh sehingga mereka tak perlu merasakan panas itu berlama-lama. Setelah keduanya naik ke kapal, sebuah pesta menjadi hal pertama yang mereka temukan di situ. Sontak saja Marylin memisahkan diri dengan Si Gelandangan dan berbaur bersama manusia 'normal' dalam versinya.
Kapal pesiar mulai lepas jangkar dan berlayar. Si Gelandangan yang tak begitu menyukai pesta berjala. ke dek dan memandangi lautan. Perjalanan dari pulau yang memakan waktu sampai setengah hari itu sungguh membuat Si Gelandangan jenuh, sampai ketika senja sudah menyingsing ke ufuk barat, barulah sebuah pulau utama terlihat di depan sana.
"Untuk sekalian yang terundang. Selamat datang di pulau kami."