Clara seolah di tampar halus dengan kata-kata Saga baru saja. Bukan teman bahkan siapapun apalagi kekasih. Ada benarnya apa yang Saga katakan itu membuatnya sadar diri.
"Saga," suara Clara setengah melemah, ia tidak boleh menangis hanya butuh di kasihani. Tidak. Karena harga dirinya sebagai primadona sekolah di hadapan Salsa pasti akan terlihat murahan mengemis cinta seorang laki-laki.
"Kenapa? Sekarang lebih baik kamu masuk kelas dan jangan ganggu aku dan Salsa lagi," Saga menarik tangan Salsa menuju ke kantin, tak memperdulikan Clara yang meraung meneriaki Salsa tidak tau diri dan merebut miliknya. Ah terlalu lucu, padahal Salsa menjalin hubungan dengan Saga sekedar pura-pura, bukan sungguhan. Demi kejayaan Morgan Group.
"Saga? Clara berisik banget ya," selama kakinya bersejajar melangkah bersisian bersama Saga, Salsa membuka obrolan. Bibirnya merekah menunjukkan senyuman bahagianya. Entah mengapa akhir-akhir ini ia jauh lebih nyaman dengan Saga di bandingkan Arsen, kekasihnya sendiri.
"Biarin aja. Aku males berurusan sama dia," jawab Saga acuh.
Namun langkah Salsa berhenti kala melihat satu meja diisi oleh teman-teman Arsen, juga cowok itu tentunya.
Menyadari langkah Salsa tak lagi menyamai kakinya, Saga menoleh. "Kenapa? Bentar lagi bel istirahat. Nanggung kalau kita balik ke kelas lagi."
Salsa menggeleng. "Bukan itu Saga."
"SALSA SAYANG?" suara Arsen terlalu lantang itu membuat bulu kuduk Salsa merinding.
Kaki Salsa mundur beberapa langkah, tubuhnya gemetar takut kala Arsen menghampirinya semakin dekat.
"Kamu masih ngeyel ya sayang? Aku udah bilang jangan deket-deket sama Saga tapi di depan mataku sekarang ini? Kamu berani jalan bareng sama dia," jari Arsen menunjuk Saga, cowok itu pantas di salahkan. Beraninya ngerebut Salsa dari genggaman gue, batin Arsen menahan amarahnya.
"Arsen, aku ke kantin sendirian. Kamu liat kan? Aku jalannya di belakang Saga. Kamu saja yang salah liat," Salsa mengelak, sebentar lagi Arsen pasti akan menyudutkannya. Masalah kecil tapi di besar-besarkan.
'Benar kata ayah, Arsen itu laki-laki yang gak pantas buat aku,' dalam hati Salsa begitu amat menyesal karena terlalu mencintai Arsen sepenuhnya. Sifat asli Arsen terbilang cukup tempramental tentu membuatnya menciut.
"Ikut aku. Seharusnya kamu itu istirahatnya bareng aku Salsa bukan dia," tak hentinya Arsen memberikan pengertian agar Salsa menjauhi Saga sepenuhnya. Ia takut Salsa justru berpaling darinya dan lebih memilih Saga yang punya segalanya.
Salsa menggeleng. "Gak mau!" tolaknya lantang. Lagipula perasaannya terhadap Arsen sudah mati.
"Jangan kasar. Atau wajah lo berakhir buruk rupa," Saga menyingkirkan tangan Arsen yang hendak menarik paksa Salsa. Sontak terlepas. Dan Saga menyembunyikan Salsa di belakang tubuhnya. Berjaga-jaga kalau Arsen bertindak lebih kasar lagi.
Arsen tidak ada pilihan lain kecuali diam tak berkutik membiarkan Salsa dan Saga kembali berjalan bersisian lalu makan bersama. Perasaan hancur serta hati cemburu menjadi satu.
'Liat aja, gue pasti bisa naklukin Salsa lagi kayak dulu pertama kalinya dia kenal gue,' batinnya sangat percaya diri sekali.
***
Bel pulang sekolah baru saja berbunyi. Nisa dan Putri paling pertama keluar kelas, sebelumnya Salsa sudah mengatakannya pada mereka akan pulang bersama Saga.
Seperti biasanya, Saga pasti menunggu di parkiran.
"Saga asik juga ya," selama kakinya melangkah, Salsa berujar sendiri sembari memamerkan senyumannya.
Tapi dari arah belakang, tiba-tiba tas Salsa di tarik paksa oleh Arsen. Salsa yang tidak siap akan hal itu pun hampir berteriak kalau Arsen membekap mulut Salsa.
'Apa-apaan sih Arsen? Kayak mau culik aku aja,' gerutu Salsa dalam hatinya.
Salsa berontak, namun Arsen menarik tangannya menuju ke tempat belakang sekolah.
"Aww! Salsa! Jangan gigit tanganku!" jeritan Arsen merasakan sakit karena Salsa tiba-tiba mengigit telapak tangannya. Tapi Arsen tidak langsung melepaskan Salsa begitu mudahnya, ia tetap menggiring Salsa ke tempat warung tongkrongannya bersama teman-temannya yang lain.
"Rasain! Salah siapa main tarik-tarik tasku. Aku ini mau pulang Arsen!" protes Salsa emosi. Ia tak ingin membuat Saga menunggunya terlalu lama.
Akhirnya sampai juga di warung tempat Arsen dan teman-temannya berkumpul.
"Duduk!" titah Arsen tegas, terpaksa akhirnya Salsa duduk.
Berbagai pandangan dari remaja seusianya yang entah namanya siapa, apakah mungkin mereka juga bagian dari teman Arsen?
Dari segi penampilannya saja menyeramkan. Dasi di ikat di kepala sebagai bandana, beberapa dari mereka menghisap rokok dengan bebasnya sampai asap memenuhi setengah warung. Salsa sendiri mulai terbatuk-batuk.
Arsen berdecak kesal kala Devano paling suka merokok. "Matiin itu. Salsa jadi batuk."
Devano memasang raut terkejut. "Wow! Matiin rokok?" ia menolak perintah Arsen.
"Kemarin kan Cla-aduhh!" Devano meringis kala kakinya di injak oleh Arsen untuk diam menutup mulutnya.
Salsa mengernyit. "Ngapain kemarin Clara disini. Ketemu kamu?" ada nada tidak suka serta cemburu yang terselip.
Arsen terkekeh melihat wajah Salsa yang memerah marah. "Clara bertemu sama aku cuma kenalan aja. Gak lebih dari itu sayang," jawab Arsen mencoba lemah lembut agar Salsa tak salah paham. Ia terpaksa berbohong soal dimana kemarin dirinya memangku Clara sejenak sebelum Devano merusak suasana panasnya.
"Gak lebih dari itu tapi kenalan sama kamu pasti ada maunya," sungut Salsa kesal, ia tidak suka Arsen dekat dengan wanita lain kecuali dirinya saja.
Arsen mendekat, tangannya merangkul pinggang Salsa kemudian berbisik. "Aku hanya milikmu Salsayang," bibirnya mencium pipi Salsa singkat.
Perlakuan manis ini membuat Salsa baper tak karuan, kedua pipinya merona. Menunduk menyembunyikan warna merah itu, bisa-bisanya Arsen semanis ini.
"Dev, pesenin seblak buat Salsa," seakan faham Devano protes karena beli juga pakai uang bukan daun, Arsen memberikan selembar uang berwarna merah. "Sisanya lo ambil aja," ujarnya enteng.
Kedua mata duitan Devano berbinar. "Makasih banyak bos! Otw kalau kayak gini. Sering-sering ajak Salsa kesini ya?" kedipan penuh arti Devano itu membuat Arsen mengerti ke arah mana kode Devano kalau bukan uang.
"Aku nanti pulang naik apa?" sekarang yang Salsa bimbangkan adalah siapa mengantarkannya pulang. Memang hatinya menduga pasti Arsen dengan senang hati memberikan penawaran tumpangan tanpa perlu ia minta.
Arsen menyelipkan helai rambut yang tergerai menutupi sebagian wajah cantik Salsa. "Pulangnya bareng aku. Itu udah kebiasaan kita sayang."
Pulang bersama Arsen sama saja cari mati dan ribut dengan sang ayah. Namun selama ia menjalin hubungan ini, Arsen tidak mengantarkannya sampai di depan pagar rumah, melainkan menurunkannya di depan gang kompleks cukup jauh dimana rumahnya berada.
"Inilah seblak yang di persembahkan untuk Salsa tercinta. Silahkan di cicipi," bak waiters dramatis Devano meletakkan semangkuk seblak di hadapan Salsa.
"Aku suapi ya?"
Salsa menurut, ia hendak menolaknya. Tapi rasa rindunya terhadap perlakuan manis nan romantis ini sudah lama ia nantikan semenjak Arsen tau mengenai hubugannya dengan Saga seminggu yang lalu.
***