Aku menghampiri gadis yang masih saja sesegukan menangis, tapi sedikit tertahan karena mungkin dia malu ada aku di samping nya. Aku menyentuh bahu nya, sembari ku elus lembut mencoba untuk membuatnya lebih tenang dulu.
Dia menatapku dengan netra yang berkaca-kaca seakan menusuk begitu dalam di hatiku. Dia terlihat seperti sedang memohon kepadaku tentang sesuatu yang dia inginkan.
Ku buat bibir ini tersenyum kepadanya, semoga saja dia ikut tersenyum juga. Aku harus buat dia tenang dulu sebelum aku berbicara kepada nya supaya dia tidak sungkan terhadap ku.
"Kau boleh nangis dulu, keluarkan apa yang kau pendam! Setelah itu kau boleh cerita kepadaku!" Pintaku sambil kugandeng tubuhnya di pelukan.
Punggung nya ku usap-usap lembut, dan kuberikan dia kesempatan untuk mengeluarkan semua unek-unek nya.
Dia merangkulku dengan kuat, tubuhnya bergetar seakan-akan sedang menahan amarah yang begitu mendalam. Tangisannya kini terdengar semakin nyaring, hingga air mataku ikut jatuh menemani desahan nya.
Pilu rasanya melihat gadis ini. Umurnya lebih muda dengan ku, mungkin dia seumuran Ara, adikku. Dia seharusnya ada di sekolah saat ini, bukan di tempat penuh dosa seperti ini.
Kenapa dia bisa sampai ada di sini? Siapa yang telah tega membuatnya masuk ke tempat kejam dan tidak berkeprimanusiaan ini? Aku tidak boleh bersedih, aku harus bisa kuat di hadapannya! jangan sampai menambah beban yang kini sedang dia rasakan.
Air mata yang tidak hentinya membasahi pipiku, ku usap dengan cepat agar dia tidak tahu kalau aku ikut menangisi kehidupan yang saat ini dia alami.
Ku genggam erat tangan nya, untuk mencoba bertanya tentang apa yang telah terjadi kepadanya.
"Sekarang kau sudah merasa tenang? Katakan kepadaku, jika ada yang mau kau bicara kan! Aku akan menjadi pendengarmu yang baik!" Ku buat air matanya tidak lagi membasahi pipi tambun nya, dengan mengusap nya secara perlahan.
"Aku Reina kak. Aku dari kampung mau cari kerjaan! Ayah tiriku meminta ku untuk ikut om Fredy, katanya dia akan membuat aku jadi artis terkenal." Gadis itu mulai memberi tahu ku dengan apa yang telah terjadi kepadanya.
"Untuk apa kamu mencari pekerjaan? Sedangkan sekolahmu belum selesai. Aku tahu kau masih sekolah, karena terlihat seumuran dengan adikku." Tanya ku dengan sedikit terkejut.
"Aku sudah tidak sekolah lagi setahun yang lalu. Setelah aku lulus SMP, ibuku meminta aku berhenti sekolah. Mungkin karena kami tidak punya biaya, apa lagi melihat ayah tiriku tidak mempunyai pekerjaan. Yang dia lakukan hanya berjudi dan bermain perempuan." Jawab gadis yang kini makin memeluk tubuhku tanpa mau melepaskan nya.
Mendengar cerita dia, jadi teringat dengan masa laluku yang tidak beda jauh dengan nya. Bedanya, bukan orang tuaku yang membuat aku berada di tempat ini. Mereka mengira aku bekerja di sebuah restoran, atau Cafe di Jakarta, bukan di tempat seperti ini.
Sengaja aku tidak memberi tahu mereka tentang pekerjaan ku, supaya mereka tidak menolak uang yang aku berikan kepada nya. Kalau sampai mereka tahu aku bekerja begini, sudah pasti tidak akan mau berbicara dengan ku lagi.
Jangankan ku kirimkan uang, mungkin bertemu pun mereka tidak akan pernah mau sekalipun aku tidak pulang mereka tidak akan pernah peduli.
Aku hela nafas berat ku, untuk membuang rasa sedihku dan mendengarkan kembali perkataan Reina.
"Aku tidak tahu kak, kalau ayah tiriku menjual aku ke om Fredy. Apa lagi untuk bekerja seperti ini, ini bukan yang aku inginkan. Tidak apa kalau aku tidak diterima di kantoran, sebab aku sadar dengan pendidikan yang aku selesai kan. Tidak mungkin aku diterima di sana, dengan hanya mengandalkan ijazah SMP setidaknya jadikan aku sebagai asisten rumah tangga saja itu tidak apa-apa, kak!" Suara Reina terdengar sedih sekali, seakan dadaku sesak hingga sulit untuk bernafas serasa terpukul sesuatu yang kuat sekali.
Semakin dia menceritakan apa yang dia rasa, semakin aku mengingat kejadian kelam ku saat pertama aku berada di tempat ini.
Suatu ketika aku turun dari sebuah mobil yang mengantarku ke suatu tempat, dimana aku akan menjadi seorang TKW di luar negeri. Ya, ceritanya hampir sama dengan gadis ini.
Aku dijemput om Fredy kerumah, karena katanya mendengar kalau aku sedang mencari pekerjaan untuk membayar utang papah sehabis dari rumah sakit. Kami mempunyai hutang kepada juragan Somad, orang terkaya di kampung ku.
Awal nya dia memberikan keringanan untuk membayar utang papah. bahkan akan membuat hutang itu lunas tanpa dibayar sedikit pun, asal aku mau dia jadikan istrinya yang ke empat.
Siapa yang mau dijadikan istrinya si tua bangka sialan itu, orang tuaku juga menolak keras permintaan nya. Juragan Somad marah, sehingga utang papah yang tadinya cuman sedikit dia buat menjadi bertambah karena mematok bunga yang lebih besar dari sebelumnya.
Semakin hari bukanya berkurang meski kami cicil setiap bulannya hasil dari jualan kue juga gorengan, serta buruh cuci mamah. Sehingga aku memutuskan untuk pergi mencari pekerjaan di kota.
Bukannya berhasil, aku malah terjerumus ke tempat ini. mungkin nasibku saja yang kurang baik, aku harus bertemu seorang mucikari yang ku anggap sebagai penyalur tenaga kerja ke luar negeri.
Dia mengiming-imingi gaji yang besar, dengan bekerja sebagai pelayan sebuah Cafe di Malaysia. Akan tetapi nyatanya aku dia jual kepada laki-laki hidung belang, yang tidak puas menahan hawa nafsunya.
Saat itu aku tidak menaruh curiga kepada om Fredy, karena rayuan manis dari mulut berbisanya membuat aku percaya akan apa yang dia katakan kepadaku.
"Om akan membuat kamu membayar semua utang mu, termasuk membiayai pengobatan papah mu!" Ujar pria yang telah menipu ku habis-habisan.
Dia membusungkan dadanya di hadapan ku, mengaku jika dia orang paling hebat di kota ini. Kalau hanya untuk mencarikan ku pekerjaan, menurut nya itu tidak susah. Hanya aku mengikuti nya, pasti aku akan mendapatkan nya dengan mudah.
Memang ini mudah, tapi tidak semudah apa yang orang pikir tentang ku. Aku di cerca habis-habisan, tidak di terima lagi di hadapan orang-orang termasuk orang tuaku nantinya.
"Kerja apa itu, om?" Tanya ku penuh semangat tanpa ada kecurigaan terhadap dia.
"Kau harus berdandan cantik, dan tinggal duduk saja menunggu orang yang datang menghampiri mu!" Tegas nya sambil mendekat kepada ku.
"Semudah itu, om? Aku tidak harus melakukan apapun, mana mungkin dapat uang? Om ngaco, deh." Lontar ku dengan polos. Aku sedikit mengejeknya dengan apa yang di katakan nya, karena menurut ku itu tidak mungkin.
"Kau tidak percaya om? Dengarkan! Om, tinggal di kota ini sudah lama, bahkan sudah berpuluh-puluh tahun. sudah pasti mengenal semua orang di sini termasuk semua pemilik perusahaan besar juga Cafe ternama. Tinggal datang, meminta mereka menerima mu, selesai kan?" Pria gila. Jika ingat ucapan nya yang sok terkenal ini, ingin sekali aku merobek mulut besar nya itu.
Sungguh be*o nya aku saat itu. Mau-mau nya percaya begitu saja kepada orang ini, bisa-bisanya aku terperdaya dengan bujuk rayunya. Tidak ada terlintas di benakku, kalau dia mau menjual ku ke mucikari pincang ini.
Kalau saja waktu itu otakku lebih cair dikit, mungkin tidak akan seperti ini. Mungkin aku sedang berada di rumah menjadi asisten rumah tangga, atau menjadi pelayan sebuah toko bagiku tak apa yang penting halal meski gajinya tidak seberapa.