Aku mendengar Ara menjawab telepon dari ku, sehingga buru-buru aku berbicara kepada Ara untuk memastikan jika keadaan mereka baik-baik saja.
"Ara? Bagaimana dengan keadaanmu?" Tanya ku kepada Ara dengan tak sabar mendengar suara nya untuk berkata bahwa dia tidak apa-apa.
"Ini mamah nak, bukan Ara! Kau sendiri bagaimana?" Suara wanita yang sudah lanjut usianya, terdengar gemetar ketika menjawab ku.
Yah. dia ibuku, Claudya. Wanita yang telah melahirkanku, dan merawatku hingga dewasa sekarang ini. Sebenarnya bukan tidak mau aku bicara dengan nya, aku selalu tidak kuat dan pasti menangis kalau menghadapi mamah.
Aku berharap jika bukan dia yang menjawab telepon ku, takut membuat dia merasa sedih hingga kesehatannya drop lagi akibat dia merindukan aku.
Suaranya tak begitu jelas, lidahnya seakan kaku jika mau bicara. Mungkin karena dia tidak sekuat dulu kesehatan nya pun mulai menurun, dari awal kejadian itu sampai sekarang.
Apa lagi melihat keadaan papah yang sudah hampir tak bisa bergerak lagi, karena seluruh urat nadinya sudah hampir setengah mati. semakin membuat mamah lebih syok hingga sakit.
Sebenarnya sudah beberapa bulan ini aku tidak pulang ke rumah, maklum Mamy tidak selalu mengizinkan aku kalau aku mau pulang.
Mamy akan marah jika aku minta izin pulang. apalagi saat banyak pelanggan di klub yang selalu minta aku yang temani mereka, pasti Mamy selalu banyak cara agar aku tidak pulang.
Kami selalu bicara di telepon kalau sudah merasa rindu atau sekedar ingin berbincang hangat dan menanyakan kabar papaku.
Walaupun itu tidak mengobati perasaan rinduku, yang penting kami masih bisa bertegur sapa melalui pesan suara atau pesan singkat.
Saat ini aku sedang berbicara dengan mamah di sambungan telepon, rasanya sakit sekali bagai tersayat oleh sembilu yang merobek-robek hatiku.
Bukan karena ucapannya yang menyinggung perasaan ku, tapi karena aku tidak bisa menemuinya, menjaganya dengan baik, saat usianya kini tak muda lagi bahkan tidak sekuat dulu.
Aku harus bicara kali ini, aku harus kuat menghadapi semua ini! Demi keluarga ku, harus bisa membuang sikap manja dan cengeng ku jika mau membuat mereka tidak mengkhawatirkan ku.
Ku sapu air mata yang kini membasahi pipiku, ku hembuskan nafas panjang dengan doaku ikut mengiringi supaya aku bisa lebih kuat menghadapi nya.
"Aku baik mah. Bagaimana dengan mamah, papah juga Ara? Kenapa tak menghubungi ku? Apa uang untuk berobat masih ada?" Seruku sambil menahan tangis yang kini tidak mau diajak kompromi.
"Maafkan mamah! Akhir-akhir ini Ara sedang kurang sehat sehabis dia pergi kemping bersama teman sekolah. Mungkin terlalu kecapean hingga membuat tubuhnya drop." Tutur mamahku mencoba menjelaskan tentang apa yang sedang terjadi saat ini kepada Ara.
Aku sedikit terkejut mendengar itu, bagaimana ini? Seluruh keluarga ku sedang tidak baik, mereka membutuhkan kehadiran ku, dan aku hanya santai-santai saja di tempat ini.
Aku harus pulang sekarang. akan ku temui Mamy untuk meminta izin pulang dulu menjenguk mereka, takut terjadi sesuatu yang tidak aku harapkan.
Aku terbangun dari tempat dudukku, sambil melangkahkan kaki keluar dan segera pergi dari tempat ini.
"Aku akan pulang sekarang juga. Mamah tidak usah khawatir, jangan melakukan apa-apa! tunggu saja aku di rumah!"
"Tapi, nak! Hallo, Anes?" Teriak Mamah terdengar mengkhawatirkan. mungkin karena hari sudah larut malam dia ingin melarang aku untuk pulang sekarang, hingga mencoba untuk tidak menutup dulu teleponnya.
Aku tahu kalau mamah akan melarang ku pergi, maka dari itu aku segera menutup teleponnya untuk tidak mendengarkan rintihan suaranya yang akan membuat aku mengikuti keinginan nya.
Aku gegas berlari menuju pintu depan untuk segera keluar dari rumah ini, tanpa aku sadari kalau aku belum pamit kepada pemilik rumah ini.
Aku berada di halaman rumah, ku buka gerbang dengan perlahan pikirku takut mengganggu penghuni rumah ini kalau aku membuat kegaduhan meski dengan suara yang dihasilkan ketika membuka pintu gerbang.
Sedikit demi sedikit gerbang itu mulai terbuka, kucoba agak kuat ketika membuka nya ternyata gerbang itu masih terbuka sedikit. mungkin karena aku terlalu pelan hingga gerbang itu lama kebukanya.
padahal aku sudah tidak sabar ingin pergi mending gerbang ini aku buka sedikit keras saja untuk mempercepat tujuan ku.
Tinggal dorong sedikit lagi pasti gerbang terbuka dengan sempurna lalu aku pasti bisa keluar tanpa mengganggu orang. Itu ide bagus, aku harus bisa melakukannya Batinku bicara.
Aku dorong kembali dengan tenaga yang ku tambah kan sedikit hitungan, di dalam hati mulai mengarahkan ku untuk mulai semoga saja tidak membuat kebisingan.
"Satu, dua, dan tig." Dalam hitungan ketiga ku dorong, bukan nya terbuka sempurna suara bising yang tidak aku harap malah berbunyi hingga aku merasa kesal sekali.
Aku merasa sudah di permainkan sama benda macam gerbang begini, bisa-bisanya cewek cantik seperti ku tidak bisa membuka gerbang.
Kini aku mulai kesal hingga sikap ku yang emosional keluar kepada si gerbang sialan ini.
Ku simpan kedua tangan ku di pinggang, dengan mulutku yang sedikit ku majukan juga kaki yang siap dalam kuda-kuda.
Ku tendang pintu yang terbuat dari besi tersebut sembari bibirku tak berhenti ngomel sendiri seakan aku bicara dengan seseorang.
"Sialan kau, mau menantang ku? Aku sudah bilang, jangan berisik! eh ini malah sebaliknya. Kau rasakan tendangan ku ini, hah!" Gerutu ku sambil menendang gerbang itu dengan begitu keras.
Makin ku tendang, makin berisik seakan dia menantang ku. Jika dipikir dengan akal yang sedang sehat, bagaimana tidak berisik ini besi yang aku tendang. meski benda mati tapi pasti dia akan mengeluarkan suara, saking kesalnya hingga aku tidak menyadari itu.
"Ada apa dengan gerbang nya? Apa dia melakukan kesalahan padamu, hingga membuat kamu marah?" Celetuk orang yang ada di belakang ku.
Aku menghentikan omelan ini, ku buat kakiku turun dengan menginjakkan nya ke tanah meski sedikit malu badan kubuat memutar menoleh ke arah asal suara tersebut.
Aku tertegun dengan mata yang ku buat terbelalak menatap nya penuh rasa bersalah karena telah membuat kegaduhan di tempat nya.
"Aku bertanya, kenapa tidak kau jawab? Mengapa kau menganiaya gerbang ini, apa salahnya?" Tanya pria tampan yang mungkin sedari tadi berdiri di belakang ku menyaksikan tingkah ku.
"Tidak ada. Aku hanya sedang mengajaknya bermain, kita sedang bercanda." Jawab ku cengengesan. Aku menggaruk tak gatal karena rasa malu yang tak bisa ku sembunyikan lagi.
"Oh, hanya bermain? Benar-benar aneh. ngajak main sama orang kali, jangan sama benda mati!" Ejek tuan muda yang bernama Alexa itu.
Dia memberikan tatapan dengan perasaan anehnya, hingga membuat aku semakin malu dan salah tingkah di hadapannya.