"Eomma, apalagi ini?" Yong Jin melambaikan sepucuk surat pada wanita paruh baya yang tengah asyik menonton televisi.
"Ah, itu, honormu bulan ini sudah keluar, kan? Kau bisa transfer sebagian ke rekening itu. Eomma baru saja pinjam uang ke Nyonya Min."
"Eomma pinjam uang ke rentenir lagi?" Yong Jin terkejut. "Pinjaman sebelumnya baru saja lunas. Setidaknya beri waktu aku menikmati kerja kerasku."
Nyonya Park menggebrak meja. Telunjuknya menuding anak satu-satunya. "Aku membesarkanmu dengan susah-payah. Saat ayahmu kabur dengan uang tabungan kita, aku tak lantas menempatkanmu di panti asuhan. Sekarang ini balasan pada wanita yang sudah melahirkanmu?"
"Eomma, jangan marah-marah. Sakit jantungmu nanti kambuh."
"Kalau tak ingin ibumu ini masuk rumah sakit, bayar hutangku!"
Yong Jin menghela napas panjang. Ditariknya kertas dari dalam amplop. Seketika matanya melotot. "Dua juta won perbulan? Eomma, Nyonya Min berniat merampokmu? Berapa yang kau pinjam?"
Wanita paruh baya itu bergeming. Jemarinya menekan tombol volume. Suara aktor tenar Lee Min Ho mengisi kesunyian apartemen mungil itu. Sekali lagi Yong Jin mengalah. Akan sulit mengorek keterangan dari ibunya sendiri jika sikap wanita itu masih sekeras batu.
"Aku keluar dulu." Yong Jin menyambar tas.
"Yaa, jangan lupa transfer ke rekening Nyonya Min!" teriak sang ibu.
Yong Jin tak menggubris. Dibantingnya pintu keras-keras. Luapan emosi pengganti kemarahannya pada sang ibu. Langkah lelaki itu panjang-panjang menuju kedai minum di seberang gedung apartemen. Sambil merapatkan jaket, dia menyeberang jalan dan langsung menerobos masuk kedai.
"Tiga soju dan samgyeopsal, Bibi."
Pesanan datang diiringi rentetan omelan bibi penjaga kedai. "Aigoo, masih sesore ini kau sudah mau mabuk-mabukan?"
"Ini jam 11 malam." Koreksi Yong Jin ketus. "Dan bukan urusan Bibi aku mau mabuk atau tidak."
"Apa ibumu berulah lagi?"
Yong Jin langsung menenggak soju dari botol. Melupakan seluruh tata krama. Otaknya sedang mendidih. "Gosip cepat menyebar rupanya."
"Ibumu juga berhutang di sekitar sini." Lapor bibi tua itu. "Kami semua tahu kerepotanmu membayar hutang-hutang ibumu."
"Kalau begitu traktir sebotol soju ini."
Bibi tua tersenyum cerah. "Hari ini kau dapat ekstra samgyeopsal. Hadiah dariku."
Yong Jin mengangguk murung. Dia menandaskan satu botol minuman keras dalam waktu singkat. Tangannya lincah membolak-balik lembaran daging babi di pemanggang. Lemak mendesis saat bertemu dengan panas. Aromanya dengan cepat menerbitkan air liur.
Dia sedang membuka botol kedua saat pandangannya bertabrakan dengan ujung sepatu lancip bergaya feminin. Kepalanya mendongak dan tertegun.
"Nona Jung?" sapanya sedikit kaget.
"Sudah kubilang panggil Sora saja." Perempuan elegan itu meletakkan tas tangan mahalnya di atas meja. Cukup jauh dari panggangan samgyeopsal Yong Jin. "Boleh aku bergabung?"
"Silakan." Yong Jin berteriak memesan minuman lagi. Lalu menuang segelas soju strawberry untuk Sora.
"Kau tak bertanya mengapa aku ada di sini?"
Yong Jin mengangkat bahu. "Aku tahu ada jadwal pemotretanmu di sekitar sini. Kita satu agensi sekarang."
Sora memamerkan senyum tercantiknya. "Ah, apa kau sudah mengatakan pada sahabatmu tentang kontrak barumu di agensi yang sekarang?"
Yong Jin tak menatap Sora. Dia masih sibuk membalik daging panggang. "Itu tujuanmu datang ke sini?"
Sora tergelak. "Kau sangat lugas. Aku suka sikapmu. Mohon jangan terlalu ketus padaku. Setidaknya tunjukkan sedikit kebahagiaan senang saat berada di hadapanku."
Yong Jin meneguk minumannya lagi. "Aku sudah berterima kasih untuk bantuanmu. Kurasa itu cukup."
Sora menelengkan kepala. Dia tak berkata lagi. Sumpitnya menjepit daging berlumur saus dengan lemak menetes-netes.
"Aku belum memberitahu Hee Young," kata Yong Jin setelah keheningan cukup lama di antara mereka.
"Mengapa?"
Ya, mengapa? Yong Jin pun bertanya pada diri sendiri. Saat di Busan, seseorang yang mengaku manajer Jung Sora datang menawarkan kerjasama menarik. Saat bertemu Hee Young, dia serasa ingin berjingkrak kegirangan memberitahu kabar membahagiakan itu. Namun, yang keluar justru topik remeh seperti tato barunya.
Saat itu lidahnya terasa kelu untuk bercerita. Perhatiannya terbetot pada ekspresi bahagia sang sahabat. Air muka yang sangat langka ditemuinya di wajah cantik Hee Young. Hal yang membuatnya tak tega mengusik kegembiraan Hee Young dengan cerita sepele soal perpindahan agensinya.
"Apa tujuanmu ke sini?" Akhirnya Yong Jin bertanya demi membelokkan obrolan.
Sora lagi-lagi tersenyum lebar. Dia mengeluarkan dompet dari tas tangannya dan mengulurkan selembar kartu magnetik.
"30 juta won cukup untuk membayar hutang ibumu kali ini."
Yong Jin menatap bergantian kartu dan wajah seputih porselen Sora. "Sogokan untuk apa ini?"
Sora menyeringai. "Akan kuberitahu persyaratannya nanti. Sangat mudah. Sekarang lebih baik kau kembali ke apartemenmu."
"Kenapa?"
"Ponselmu bergetar. Mungkin ibumu butuh bantuan?"
Yong Jin segera merogoh saku celana. Tak ada jejak panggilan apapun. Namun, matanya dengan cepat terbeliak saat benda berukuran enam inchi itu bergetar. Nomor tetangga apartemennya berkedip di layar.
"Yeoboseyo?"
Yong Jin seketika memucat. Nanar dipandanginya Sora. Perempuan itu mengangguk kecil dan bangkit. Tanpa suara dia pergi meninggalkan kedai. Deru mobil terdengar seiring kepergiannya.
Lelaki itu juga menyusul pergi, tapi tujuannya pulang ke apartemen. Suara histeris tetangganya menyambut Yong Jin di atas.
"Yong Jin, cepat panggil ambulans! Ibumu kena serangan jantung!"
***
Lelaki itu berjalan hilir-mudik memutari ruang tunggu Unit Gawat Darurat. Hampir sepuluh menit dia menunggu di luar, tapi belum ada tanda-tanda paramedis memperbolehkannya masuk.
"Keluarga Nyonya Park Young Soon?"
Yong Jin berderap datang. "Bagaimana ibu saya, Dokter?"
Wanita cantik berambut sebahu dengan tampilan wajah lelah itu membaca tablet di pelukannya.
"Aliran darah ke jantung Nyonya Park tersumbat total karena pecahnya plak yang menyumbat pembuluh darah koroner. Arteri harus dilebarkan agar fungsi jantung kembali normal."
Dokter di hadapan Yong Jin memperbaiki letak gagang kacamata yang melorot. "Nyonya Park harus menjalani operasi pemasangan ring. Prosedur operasinya tak terlalu lama, hanya satu sampai tiga jam. Kami perlu persetujuan Anda untuk melakukan tahap pembedahan."
"Operasi pemasangan ring jantung?" Yong Jin membeo linglung.
"Ya, harus dilakukan secepatnya. Nyonya Park memiliki riwayat penyakit jantung koroner. Semakin cepat prosedur pemasangan ring dilakukan, semakin baik untuk kesehatan beliau."
"Apa tidak bisa diobati secara biasa, Dokter?" tanya Yong Jin penuh harap.
Dokter kurus itu menggelengkan kepala. "Penyumbatan sudah mencapai 80%. Akan sangat berbahaya untuk keselamatan Nyonya Park jika harus ditunda lagi."
Yong Jin lemas. Dia mengangguk pelan pada dokter yang pamit pergi. Biaya pemasangan ring jantung tidak murah. Belum ditambah biaya perawatan rumah sakit. Juga hutang ibunya yang masih bertumpuk.
Lelaki itu meremas rambut. Kesal. Saat itulah, dia teringat kartu yang diberikan Sora. Ragu-ragu Yong Jin mengeluarkan lembar magnetik itu dari dalam dompet. Nominalnya lebih dari cukup untuk membayar biaya pengobatan ibunya. Sangat menggiurkan di tengah kondisi genting seperti sekarang.
Seandainya karierku lebih cemerlang dibanding saat ini. Yong Jin sedikit meratapi nasibnya yang tak terlalu bagus. Dia hanya aktor figuran yang numpang tenar dari drama-drama populer. Penghasilannya tentu saja kalah jauh dengan para aktor kelas A yang menjadi pemeran utama.
Cepat Yong Jin mengeluarkan gawai, lantas menekan nomor Sora di salah satu daftar kontaknya.
"Nona Jung? Ah, ya, ini aku. Begini, jika aku mengambil tawaran yang kau berikan, apa imbal balik yang harus aku lakukan?"
***
Hee Young langsung duduk tegak!
Kantuknya menghilang secepat pusaran badai taifun. Meninggalkan suasana berantakan sama persis seperti otaknya sekarang. Refleks dia memukul-mukul kepala.
"Bodoh! Bodoh! Bodoh!" Hee Young memaki diri sendiri. "Astaga, bagaimana aku bisa berkata seperti itu pada Shou?"
Matanya melirik bagian kiri ranjang, tempat seharusnya suaminya berada sekarang. Namun, lelaki itu sudah bangun sejak subuh tadi untuk melakukan olah vokal di taman apartemen. Hee Houng melipat kaki dan membenamkan wajah di antara dua lututnya.
"Kim Hee Young, mengapa mulutmu sangat tak bisa diatur? Kau bahkan tak mabuk sama sekali!" Hee Young mengomeli diri sendiri.
Ingatan akan percakapannya semalam dengan Shou berputar lagi di kepala. Pipinya memanas saat teringat rasa syukur yang keluar dari bibir karena menikahi makhluk non manusia.
Ya Tuhan, aku seharusnya sudah mati saja sekarang! Hee Young meratap malu.
"Kau kenapa?"
Hee Young membeku. Suara maskulin Shou terdengar aneh di telinganya. Jantung Hee Young berdebar-debar.
"Kupikir kau masih tidur. Ini belum jam makan siang, Hee Young."
"Kau meledek atau menyindir, sih?" Hee Young sontak terpancing emosi. "Aku tak tidur seperti orang mati. Semalam aku hanya kelewat ngantuk saja."
"Tak seperti orang mati," kekeh Shou geli. "Aku membanting pintu pun kau tetap tidur nyenyak."
"Aku begitu?" Hee Young tak percaya. Dia hendak protes, tapi aktivitas Shou selanjutnya membuat perempuan itu menjerit kencang. "Shou, apa yang kau lakukan? Pakai bajumu lagi!"
Gelak membahana di kamar luas itu. Hee Young menutup muka rapat-rapat dengan kedua tangan. Melihat suaminya melepas kemeja dan bertelanjang dada, itu masih bisa diatasi oleh jantungnya. Namun, memergoki suaminya juga berniat membuka celana panjangnya tepat di depan mata, jantung perempuan itu mulai berontak keras.
"Kita bahkan sudah melewati fase saling melihat bagian tubuh, tapi kau masih juga malu-malu." Suara Shou terdengar mendekat. Diturunkannya tangan Hee Young yang menutupi muka. "Lihat aku."
Hee Young patuh. Jarak mereka sangat dekat. Aroma feromon Shou menerjang hidung. Jantungnya mulai kewalahan ditatap seintens itu oleh sang suami.
"Hee Young, kau takut padaku?"
Refleks kepala berambut hitam itu menggeleng. "Kenapa aku harus takut padamu?"
"Karena itulah yang terjadi pada orang-orang yang mengenalku," bisik Shou.
Hee Young mengerjap. Kesadaran mengaliri benaknya. "Para asistenmu?"
Shou mengukir senyum prihatin. "Ya, mereka tertarik padaku, mencari cara agar bisa mendekatiku. Lalu, saat mengetahui siapa diriku sebenarnya, mereka lari ketakutan. Beberapa bahkan mengancam akan menyebarluaskan jati diriku dan memanfaatkan peluang yang ada."
"Kau ceroboh sekali sampai terpergok mereka," cela Hee Young. Lalu dia membekap mulut rapat-rapat, sadar telah salah bicara.
Shou tertawa, "Baru kali ini ada yang mengataiku bodoh." Pria itu bersandar ke meja kamar. Suaranya kalem saat membeberkan fakta. "Tidak, aku memberitahu mereka. Hanya untuk lelucon karena bagaimana pun mereka tetap akan melupakan siapa kami."
"Kami?"
"Jangan salah, ada banyak malaikat turun ke bumi selama berabad-abad lamanya," kata Shou enteng.
"Apa yang kau lakukan dengan para asisten itu?" Mungkin ini waktunya Hee Young mengorek informasi yang tak pernah bisa diperoleh dari Manajer Park.
"Kami memodifikasi ingatan mereka. Lebih tepatnya, menghapus ingatan-ingatan itu. Lalu memecat dan mencari pengganti baru."
"Seperti aku," gumam Hee Young pelan.
"Tidak, kau berbeda." Shou menyentuh dagu perempuannya.
Hee Young mendongak. Sungguh, saat itu yang diinginkan Shou adalah mencecap rasa manis bibir merekah di hadapannya. "Aku yang mendekatimu, bukan sebaliknya."
Hee Young memandang lekat-lekat pria yang berjarak hanya dua jari darinya. Hangat napas Shou terasa di kulit. Perempuan itu menggigil, tapi tidak karena dingin. Sedikit linglung mencerna perasaan aneh yang membuncah di dada, Hee Young menangkup dua pipi Shou.
"Kenapa aku tak takut padamu, Shou?" kata Hee Young lirih. "Padahal kau makhluk astral, menyebalkan, selalu membuatku kesal."
"Wow, itu pujian berlebih di pagi hari," tawa Shou tanpa melepaskan diri dari istrinya. "Aku senang membuatmu bersemangat."
"Kau sering membuatku marah," ralat Hee Young. "Anehnya, aku suka itu."
Shou tertegun. Hee Young mengerjap. Perlahan ditariknya wajah Shou dan mendaratkan ciuman ringan di bibir lelaki itu. Tubuh Shou tegang, tapi dengan cepat merileks. Lengannya menarik Hee Young ke pangkuan lalu memperdalam ciuman mereka.
"Kau melanggar aturan dua dunia, Haes-sal!"
Shou terbelalak. Dia menjauhkan diri dari Hee Young. Perempuan itu menatapnya bingung.
"Shou, ada apa?"
Shou disorientasi. Nanar dibalasnya tatapan Hee Young.
"Apa kau baru saja bicara denganku?"