"Aduh, pelan-pelan Pak!"
Seorang lelaki berusia tujuh belas tahun tampak mengerang keras di atas kursi kayu yang sudah reot, sembari tangannya menggenggam erat paha kaki untuk menahan rasa sakit. Kepalanya yang ditumbuhi oleh semak-semak belukar kehitaman yang kini dipangkas sampai si tukang cukur beberapa kali mengganti pisau cukuran agar mampu memangkasnya tak bersisa, sesuai pesanan dari sang anak sendiri, cukur sampai botak. Sementara ayahnya hanya tertawa kecil disampingnya sambil melihat tingkah anak semata wayangnya yang tak bisa diam seperti macan tutul.
"Hei, rambutmu keras seperti sapu pembersih lantai! Apa kau tidak pernah memakai sampo?"
"Ya, jika aku adalah anak orang kaya yang tidur di kasur bermotif bunga, sudah pasti aku membeli sepuluh botol sampo! Tetapi ..."
Si tukang cukur mengulangi kata terakhir, "Tetapi?"
"Aku hanyalah anak pasir hitam yang tidur di ranjang dengan motif harimau! Ah, Anda tidak dengar bahwa harga sampo dinaikkan tiga kali lipat hari ini? Haha, konyol sekali!"
Tukang cukur itu tertawa garing mendengarnya, setelah menyemprot rambut Francy dengan cairan mirip busa deterjen, dia melepas ikatan kain yang melapisi sebagian tubuhnya dan Francy bangkit dari duduk seraya batuk-batuk akibat menelan rambut miliknya yang beterbangan sana-sini. Sang ayah meletakkan uang dua puluh dolar di atas meja dan menggendong Francy keluar bersamaan dengan keriuhan dari pria-pria yang sedang mengantre panjang untuk mendapatkan giliran. Oh, kota ini masih mengalami kekurangan dalam profesi tukang cukur rambut yang upahnya pun cukup menggiurkan, tetapi harus siap untuk mendapatkan potongan pajak.
Kota Eastern, kota yang berada di sisi sebelah barat bagian Eropa. Kalau di peta, deretan warna hijau mengukir sebagian wilayah ini yang artinya hijaunya hutan masih dijaga, itupun hanya beberapa. Ketika siang hari, percayalah orang-orang akan menyerbu toserba dan membeli minuman.
Suatu kota tidak akan muncul jika tak memiliki keunikan. Begitulah yang Francy pikirkan. Bagi seorang lelaki yang baru merasakan indahnya masa muda, ia ingin mengetahui lebih banyak tentang dunia dan tempat tinggalnya sendiri. Daerah utara di sana, itu wilayah kota Destrey. Terkenal akan susu sapinya yang terasa manis. Kalau di ujung selatan sana, berbatasan langsung dengan pegunungan Alpens, berdiri Kota Murikki yang menyimpan keberadaan berlian di dasar sungai terdalam.
Nah, bagi Francy keunikan kota kelahirannya sendiri itu ... para pria botak. Itu saja. Yah, mungkin pemandangan batu-batu bermuka dua dan berhidung besar di sekitaran perbukitan masih bisa menjadi ciri khas tersendiri, tetapi tentu saja para pendatang dari belahan negara melihat orang-orangnya dahulu pertama kali. Tertawa? Ya! Mereka langsung menoleh ke langit, lalu di dalam benak mereka berpikir, "Apakah aku sedang berada di wilayah alien? Lelaki di sini Tidak punya rambut!" Namun, wanita berambut pendek menjadi pembongkar stigma aneh itu. Pendatang masih punya logika, jadi mereka akan mencari-cari penyebab kaum botak di sini dan setelah tahu akan sejarahnya pun mereka akan tetap tertawa hingga masa tiket wisata habis. Memalukan!
Francy cukup risih akan kenyataan ini, dimana ia harus botak. Ayahnya pun mengatakan kalau sejarah munculnya aturan itu singkat-singkat saja.
"Kota Eastern adalah salah satu kota yang memiliki banyak kepala keluarga! Anak-anak tak dapat dibatasi karena emosi dari seluruh pesan buyut yang menyuruh untuk melahirkan empat anak. Nah, anakku! Kau sudah puas soal materi ini?"
Francy mengangguk, "Terima kasih, Ayah."
Pertanyaan Francy semacam itu yang djawab oleh Norce, ayahnya, bukan sekali atau dua kali, dia sudah berkali-kali bertanya untuk mendapatkan jawaban pasti. Menurut penjelasan ilmiah, pemerintah menggunakan aturan cukur sampai botak untuk kaum pria dan model rambut pendek bagi wanita. Alasannya tentu saja karena ekonomi di sini sangatlah buruk dan banyak orang miskin melahirkan banyak anak. Pemerintah kemudian mengambil langkah untuk membuat aturan ini dan menggratiskan cukur rambut, dimana penampilan terbaik lebih dibutuhkan daripada makanan. Ah, sudahlah. Lebih baik ia segera pulang dan bertemu dengan Terre, ibunya dan sepasang adik kembarnya.
Sandal jepit Francy meninggalkan rongga besar akibat tekanan dari kaki anak lelaki itu yang berlari melewati teriknya matahari. Seperti biasa, Puf dan Sants merengek ingin mencari kakaknya.
"Mommy! Aku pulang!" celetuk Francy sembari menjepit pipi gembul adiknya.
"Berikan adikmu susu bubuk di atas meja! Dari tadi mereka menangis terus, jangan lupa cuci tangan!"
Sore hari yang meninggalkan garis-garis kemerahan di penghujung cakrawala dengan polesan awan menghitam, menandakan bahwa sebentar lagi akan turun hujan. Francy bersiap-siap pergi ke sekolah Burniest, sebagai keikutsertaannya dalam program belajar selama sembilan tahun. Sekolah itu menerapkan aturan bebas bagi siswanya, pada jam kehadiran. Mereka bebas memilih untuk pergi ke sekolah entah siang atau sore hari, yang terpenting selalu hadir selama dua minggu dalam sebulan.
Francy melahap biskuit gandum, menyisakan remah-remahnya saja di atas meja kemudian menuliskan "SILAKAN DINIKMATI" pada kertas putih dan meletakkannya di sebelah piring biskuit. Francy memang terkesan usil, tetapi otaknya lumayan juga. Dia memang sering berbuat begitu, agar ibunya naik darah. Oh, hampir terlambat.
Di sekolah, Francy sangat santai. Dia tidak peduli dengan teman atau mencari teman pun rasanya tak begitu penting. Lagi pula, rupa-rupa wajah teman prianya tampak seperti sekumpulan alien dengan kepala plontos. Jelek sekali di mata Francy, ia sendiri lebih suka melapisi kepala dengan jaket hangat. Mereka tidak tahu malu, memang untuk apa malu dengan aturan pemerintah yang sudah dibuat? Rakyat pun harus tetap mengikuti segala perintah.
Seorang guru wanita datang bersamaan dengan bel berbunyi, tanda pelajaran pertama dimulai. Namun, sebelum membuka buku, seorang tentara militer akan masuk terlebih dahulu ke dalam kelas. Tujuannya? Tidak, dia tidak sedang berjaga, mana ada sekolah yang menjadi incaran teroris kan? Justru tentara itu mengamati apakah ada anak lelaki yang belum dicukur rambutnya. Memang sepele, tetapi bagi Francy ini bukanlah peraturan main-main. Sekali lagi, cukur botak juga diterapkan di sekolah.
Di saat sang guru sedang menerangkan materi, mata Francy menoleh ke arah jendela luar. Dia mendengar suara. Tangisan. Pekikan. Jeritan. Hingga, tampaklah seorang tentara yang menyeret dua anak lelaki yang berambut pendek, kemudian si tentara memangkas rambut kedua anak itu dengan gunting besi. Rasanya tangan Francy memanas melihat peristiwa itu.
"Kurang ajar ...."
Satu pukulan dilancarkan oleh sang guru setelah melihat salah satu anak didiknya tidak memperhatikan pelajaran.
"Fokus, Francy! Atau nilai matematika akan Ibu kurangi dari lembar kerjamu kemarin." Ancamnya.
Begitulah, pihak sekolah tidak akan melakukan apa-apa selain diam dan tenang. Francy mengigit jari-jarinya dengan menggenggam tangan.
Dunia ini keras dan kejam. Meskipun kelihatannya aneh dan lucu, aturan tetaplah aturan. Saat itulah Francy tidak bisa melakukan apa pun.
Francy menatap wajahnya yang sembab di cermin kelas. Andai ia memiliki kesempatan untuk bisa melihat bagaimana rupa tampannya dengan mahkotanya, rambut.