Chereads / Three Second / Chapter 2 - 2 — Melihat, dengan erat

Chapter 2 - 2 — Melihat, dengan erat

Setiap hari, manusia pasti membutuhkan makan. Bagi kaum bergelimang harta, urusan makan adalah kebutuhan nomor dua setelah nafsu. Terkecuali kaum berkulit cokelat setengah matang yang mengharapkan upah di bawah terik matahari siang. Francy menggali pasir, mengangkutnya ke kereta dorong dan anak-anak lainnya menjajakan pasir ke beberapa saudagar.

Tambang pasir memang menjadi salah satu kekayaan besar di negeri panas ini. Pemerintah menggunakan tenaga rakyat jelata sebagai penambahan jumlah ekspor ke beberapa negara. Tentu saja rakyat mendapat tiga dolar setiap empat jam. Lumayan. Setidaknya, Francy masih mampu untuk makan dua kali sehari.

"Ini gaji kalian hari ini, terimalah!"

Seorang pria berpostur pendek nan gemuk dengan jenggot hitam yang melapisi janggutnya, berdiri di tengah-tengah lahan tambang sembari memekik sepatah kata. Orang-orang di sana kemudian berbaris tertib. Setiap kali melihat tangan rakyat yang kotor menghitam akibat menggali tanah, pastilah pria itu terpaksa menggunakan ujung jari jempol dan telunjuknya untuk memberikan uang tak seberapa itu dengan pandangan jijik.

Bagi Francy, tangan-tangan para pejabat yang duduk di kursi empuk setiap hari lebih kotor daripada rakyat dengan modal keringat di bawah sinar matahari bekerja di dan bergelut dengan tanah. Alasannya hanya satu, korupsi.

"Ayah, suatu hari nanti aku pasti akan mengabulkan keinginan ayah untuk memiliki mobil," celetuk Francy ketika sedang membersihkan tangannya di keran air.

Norce menoleh pada anaknya dengan tatapan membulat. Konyol, pikirnya. Anak-anak memang terkadang ingin mewujudkan keinginan orang tuanya selama garis hidup masih berjalan.

"Jangan terlalu serius, Fran. Ayah tidak memaksakan kau ingin membuat mimpi ayah menjadi nyata, tetapi utamakan cita-citamu!" seru Norce memeluk anaknya sedikit erat.

"Ah, sebaiknya ayah segera mandi!"

Sore hari itu berlalu dengan canda tawa.

Francy terbangun setelah mendengar jam beker yang berdering, satu jam lebih cepat dari biasanya. Maklum, hari ini ada tes matematika. Bukan Francy namanya kalau tidak makan sejumput roti sebelum pergi ke sekolah dan menyisakan remah-remahnya saja diatas meja.

Sekolah Burniest lebih ceria dari biasanya, anak-anak berlarian melewati pepohonan rindang yang menutup celah bagi sinar matahari untuk melewati cabang-cabang kayunya. Derap sepatu terdengar sana-sini, dengan keriuhan dan gejolak emosi. Lebah dan burung mengitari langit dalam cakrawala luas. Sekumpulan laki-laki botak mengeluh lelah setelah olahraga bulu tangkis terdengar beberapa meter.

Segerombolan siswa menggunakan jalan tikus di belakang halaman sekolah untuk menghindari penyergapan dari petugas keamanan yang acap kali membentak keras. Tentu saja Francy ikut menjadi salah satu tikusnya. Jam pelajaran berdentang dan Francy kini menarik napas lega, dia tidak terlambat.

"Tes matematika akan dinilai langsung hari ini, apabila ada nilai kalian dibawah rata-rata maka kalian harus menceritakan cita-cita saat besar nanti ya!"

Francy menggigit pensil setiap membaca satu pertanyaan matematika dan mencoretnya langsung tanpa berpikir sejenak. Oh, dia memang sangat pintar. Pintar dalam hal menyontek diam-diam. Telapak tangannya telah banyak ditulis rumus-rumus matematika dengan pena hitam yang kini telah memudar. Ia hampir tertawa lepas, pastilah nilai besar telah berada di genggaman tangan.

"Anak-anak, nilai terbesar, 80 diraih oleh Francy ..." tepukan tangan riuh terdengar, tetapi si guru menahannya, "dengan pengurangan nilai ke sekolah lewat jalan tikus-5 dan contekan di tangan-10 maka hasil akhir 65."

Sontak, seluruh siswa tertawa. Francy terdiam dalam lamunannya. Kemudian, si guru menyuruhnya untuk maju ke depan kelas dan menceritakan cita-citanya.

"Cita-citaku ada dua, pianis dan programmer ... aku ingin menjadi salah satu murid terbaik dan mendapatkan sekolah bagus di Murikki dan ...."

"Hei, dia itu mulai berguyon ya?"

"Lucu sekali, cita-cita itu hanya boleh dipilih satu!"

"Kau yakin, Francy? Bagaimana caramu mendapatkannya? Ibu ingin dengar,"

"Tentu saja dengan genggaman saya sendiri. Saya tahu, bahwa saya sesungguhnya masih sebuah batu karang tak berguna di lautan luas dibandingkan dengan batu karang lain yang diambil karena kecantikannya dan melihat dunia luar sana. Tetapi saya yakin, bahwa semua dimulai dari bertumbuh!"

Ketika melangkah keluar kelas, seorang anak lelaki botak mendorong kepala Francy berambut kecil dengan sangat keras seraya meneriakkan kata-kata seloroh, "Hei, kau harus bermain jangan menjadi kutu busuk!" serunya berlalu semenit kemudian.

"Tunggu. Kau menyuruhku bermain, 'kan? Ayo kita main. Kalau menang, maka berikan uang dua dolar. Kalau kalah, maka hukumannya menggendong."

"Menarik. Siapa takut? Ayo, mulailah!"

Francy tersenyum tipis, "Dua kuadrat dikali dua, ditambah sembilan dan dikurangi tujuh belas. Berapa?"

Rupanya, Francy menggunakan teka-teki matematika. Jika saja pembully itu tahu dulu siapa yang sedang diajak bermain, tentu saja dia akan mundur.

"Susah sekali! Tidak ada yang lain?"

"Bagaimana kalau ini? Ada sepuluh ekor bebek, di kali dua. Berapa sisanya?"

"Dua puluh! Itu mudah—"

"Salah. Jawabannya delapan. Ingat, aku bertanya "sisa" jadi tentu saja ada yang berkurang. Kali itu adalah kata lain dari sungai. Haha!"

Mendengar jawaban remeh nan lelucon dari mulut Francy itu, siapa yang tidak bisa menahan emosi bogem di tangan? Francy sudah mengetahui gerak-gerik si pembully, wajahnya memerah darah dan secepat angin di jalan raya, Francy merogoh saku celananya dan mendapatkan dua lembar dolar.

"Terima kasih! Kapan-kapan main lagi! Oh, hukumannya tidak usah, aku kasihan sekali melihatmu!"

Francy memang sering mengalami bullying, tetapi itu tidak membuatnya masalah. Tidak juga meluapkan emosi di lubuk hati. Untuk melawan balik, Francy menggunakan cara keren yang lebih adil. Tidak perlu menggunakan kekerasan, tinggal memakai pikiran. Ah, otaknya benar-benar masih encer.

Di sela-sela perjalanan pulang, Francy menemukan sebuah brosur berwarna merah tua. Isinya hanya sebuah kafe yang sedang mencari pegawai baru. Namun, ada satu hal yang menarik perhatiannya. Pianis. Gaji sebagai pemain piano terbilang cukup besar.

"Ugly Is Beauty" begitulah tulisan yang terpampang pada tampilan depan kafe antik nan kuno itu, sebagian besi-besi pondasinya telah berkarat. Lantai kayu jati tampak menganga lebar sana-sini akibat banyak orang melompat ria untuk berdansa. Aroma kentang dengan cuka menusuk hidung Francy ketika melangkah masuk dan bel berbunyi saat dirinya membuka pintu.

Dari luar, kafe ini terlihat tak terawat. Namun, dibandingkan dengan para pelayan wanita cantik di sini, mereka mungkin tak cocok untuk bekerja di tempat yang tak sesuai dengan passion mereka. Oh, kembali lagi ke awal. Nama kafe telah menjadi identitas mereka, kafe ini mengusung tema antik dengan pelayannya yang cantik.

Cukup lama bagi Francy untuk beradaptasi, selain berdiri memandang kesibukan pria-pria bertato yang sedang adu panco. Terlihat guratan sangar di pipi mereka, tetapi tanpa hiasan rambut justru mereka menjadi sedikit imut. Kemudian di deretan meja sebelah kanan, sepasang wanita berpakaian lengan pendek sedang menghirup cerutu. Di bagian depan kafe, sekumpulan pemuda sedang duduk di atas kursi bundar sembari menonton pertunjukan minuman kocok dari bartender.

Seorang wanita berambut pendek datang menghampiri, menepuk pundak Francy. Dia memandangnya dari atas kepala hingga bagian kaki. Lalu mengambil brosur daro tangan Francy dan menyipitkan matanya.

"Perkenalkan, aku Luxes. Panggil saja aku Lux." Ucapnya singkat. Francy mengulurkan tangannya, berniat untuk berbicara dengan sopan pertama kali.

"Hei, perkenalan semacam itu sudah sangat klasik. Kau akan bekerja di sini bukan? Menjadi bartender? waiters?" tanyanya sedikit tegas.

Francy menelan ludah, "Aku Francy. Ingin menjadi pianis ...." sahutnya sembari menunjuk sebuah piano besar di sudut kafe.

Luxes tertawa cekikikan melihat seorang lelaki lebih memilih memainkan tuts-tuts nada lembut ketimbang beratraksi lewat gelas minuman kaca.

"Tidak buruk juga. Kemari, aku akan jelaskan cara menekan tombol nadanya agar semua orang tertarik."

Francy terduduk di atas kursi mungil, dihadapannya piano berbingkai kayu mahoni itu sedang menunggu untuk disentuh. Luxes mengajarkannya gaya posisi kaki dan tangan sebelum menekan piano. Meskipun ia cukup tegas, rupanya wanita setinggi 167 senti itu juga ramah.

"Nah, sekarang mainkan. Frant—"

"—Francy. Itu namaku." potong Francy, membenahi kalimat Luxes.

"Ah, namamu sedikit rumit. Baiklah, Francy, apa musik atau lagu yang akan kamu mainkan? Melihat seorang lelaki kecil menjadi pianis pasti banyak orang yang akan mengenalmu di sini. Lagi pula, setiap minggu kau bisa membawa pulang seratus dolar!"

Mendengar pujian itu, justru Francy menjadi was-was. Tangannya bergetar hebat. Urat-urat tubuhnya seolah menolak apa yang sedang ia lakukan. Melihat itu, Luxes dengan mudah mampu menebaknya.

"A ... ajarkan aku memainkan piano ini ..."

"Hahaha! Aku sudah tahu sebelum kau menyentuh nada-nada ini. Baiklah, ayo ke atas. Akan aku ajarkan satu lagu."

"Hei, pigura foto wanita tua ini adalah ibuku. Aku ditugaskan bekerja di sini sebagai pengganti. Ah, kehidupan kuliahku di Murikki harus tertunda dengan pekerjaan ini."

"Ya, ya, aku bisa merasakan keluhanmu itu. Jadi, kau masih orang awam di sini?"

"Orang awam? Dari kecil aku sudah tinggal dan makan di sini. Tetapi, sekarang semua wanita berambut pendek! Gaya kecantikan di sini memang cukup berbeda."

"Kau belum tahu?"

"Aku hanya malas mencari informasi."

"Lagu apa yang akan kita mainkan?"

"Yang termudah saja. Kau tahu "Someone Like You" itu? Aku harap kau tidak tahu ya, haha!"

Luxes yang asyik mengajari Francy bermain piano, buru-buru pergi ke wastafel kamar mandi.

"Hei, aku ingin mencuci tangan sebentar."

Francy menekan tuts nada piano yang kedengarannya agak kurang baik. Netra matanya lalu menoleh ke arah kamar mandi. Di sana, Luxes tampak merapikan rambutnya. Tunggu, dia mengeluarkan ikat rambut.

Luxes ternyata memiliki rambut panjang! Ia rupanya hanya menggulung rambutnya ke belakang supaya terkesan pendek. Padahal, seluruh perekonomian yang dilakukan oleh rakyat Eastern harus menaati peraturan rambut botak dan pendek. Kalau saja ada yang melanggar, maka hukuman potong rambut paksa dan diseret ke tanah berbatu akan dilakukan tanpa segan.

Terdengar suara pintu yang dibuka dengan keras. Semua orang di kafe lantai satu berubah menjadi hening dan sunyi. Francy mengintip di balik celah tangga. Rupanya, ada dua tentara yang sedang mengecek rambut semua orang disitu dengan membawa gunting. Napas mereka terdengar begitu berat.

Luxes yang baru saja datang dari kamar mandi kemudian tersadar akan kafenya yang sangat sepi.

"Kebetulan sekali tidak ada keributan di bawah. Apa orang-orang sudah pulang?" gumamnya menggaruk tengkuk sembari berlari kecil.

Francy melihat wanita itu ingin pergi ke lantai satu, tangannya terkepal erat. Tidak, di bawah itu berbahaya. Tentara pasti belum pergi. Secepat kilat ia menghentikan langkah Luxes dengan menarik kedua kakinya dan menghasilkan suara jatuh.

"Lux! Sebaiknya kau jangan pergi ke sana!"

"Apa maksudmu? Ini kafe milik ibuku, jadi aku memiliki otoritas. Aneh sekali pelanggan ibuku semua terdiam seperti patung. Ada apa di bawah sana?"

"Di sana ada ..."

Seketika Francy terdiam, melihat bayang-bayang hitam terukir jelas di dinding dengan decitan kecil akibat gesekan tangga, tentara itu sedang pergi ke arah mereka! Buru-buru Francy menarik tangan Luxes dan mereka bersembunyi di dalam laci besar penyimpanan rempah-rempah dan menahan napas.

Pandangan mata Francy gelap, maklum saja mereka berdua bersembunyi dalam laci dengan aroma menyengat dari bawang putih di pijakan kaki mereka.

"Tentara! Tentara itu sedang pergi ke sini. Kau harus tahu, bahwa sebenarnya wanita harus berambut pendek."

"Aku baru tahu aturan itu! Dasar ibuku yang sinting tidak memberitahu dengan anaknya yang tidak penting ini, ." Luxes berbisik agak keras.

Satu menit. Dua menit. Tidak ada apa-apa. Francy mendengar samar-samar suara langkah kaki. Kemudian hilang lagi.

"Luxes, sepertinya sudah aman. Mau keluar?"

Tidak ada sahutan. Francy meraba di kegelapan, merasakan rambut Luxes yang agak kering.

"Luxes, mau keluar? Di luar aman." Ucap Francy dengan nada meyakinkan.

"Ya, ayo keluar."

Ketika Francy hendak membuka pintu laci berukuran besar itu, ada satu tangan yang menahan tangan kanannya. Siapa lagi kalau bukan Luxes, seraya berbisik dengan sedikit serak.

"Francy ... suara tadi itu bukanlah suaraku ... asalnya dari luar ..."

Francy membeku. Persembunyian mereka telah diketahui.