Angin sepoi-sepoi yang begitu menyegarkan meniup pelan helaian anak rambut Yuna. Ada beberapa orang di halte bus yang menyaksikan ia terjatuh bersama seorang pria yang tadi menabrak nya. "Aduhh, ponselku mana." ia berputar mencari-cari ponsel yang tadi ia pegang saat berlari.
"Ahh, ini ya? terimakasih. Aku harus segera pergi karena ada sesuatu yang mendesak, aku juga minta maaf karena berlari terlalu kencang, sampai jumpa." Yuna tidak ingin menghabiskan banyak waktu lagi sebelum ayahnya berdiri didepan pintu sambil membawa sandal sebelah kirinya untuk memukul badan Yuna.
"Ta-tapi.. ah baiklah." ucap pria itu, ia merasa tidak enak dan sepertinya ada sesuatu yang mengganjal. Tapi melihat Yuna sangat terburu-buru hingga membungkukkan badannya berkali-kali padanya membuat pria itu setuju begitu saja saat Yuna berpamitan.
••
"Kenapa lama sekali?" ucap sang ayah, memang ia tidak sampai menenteng sandalnya demi memukul putrinya. Tapi lihat ekspresi seram itu, ditambah kedua tangannya yang bersedekap seperti sudah siap untuk menerkam Yuna.
"Astaga memangnya sudah lewat berapa jam? tidak sampai lima belas menit juga aku sudah sampai appa." Yuna tau ayahnya sengaja menggoda nya, memang ia datang sedikit lebih lama dari perkiraan karena insiden tadi.
"Lima belas menit apanya, selalu saja melebih lebihkan." jawab sang ayah, jika di tempuh dengan berjalan tidak mungkin secepat itu juga. "Ya sudah sekarang aku harus membantu apa?" tanya Yuna tidak sabar, ia ingin segera menyelesaikan tugas tambahan dari ayahnya agar bisa segera istirahat.
"Karena kafe appa baru saja pindah kemarin, jadi kita harus mengantar kue tteok pada tetangga." ayah Yuna berjalan ke dalam dapur dan mengambil beberapa kue tteok yang harus mereka bagikan. "Padahal aku ingin sekali menolak, tapi karena aku anak yang baik maka aku akan mengantarnya." bibir Yuna sudah manyun sepanjang lima senti sekarang.
"Benar, anak appa yang baik yang cantik kamu harus segera membagikan ini. Cepat kita sudah terlambat, seharusnya dari kemarin kita sudah membagikan nya." dengan entengnya ia memberikan berbungkus-bungkus kue pada Yuna. "Ahh, awas saja kalau aku tidak mendapat uang saku tambahan." wajahnya bertambah sayu, melihat betapa banyaknya yang harus ia antar.
"Dasar anak ini." ucap ayah Yuna kesal, bagaimana bisa kebiasaan anaknya menyukai uang tidak berubah. "Lalu mau appa buatkan juga latte kesukaanmu?" lanjutnya. Kalau kalian kira keluarga Yuna penuh kekerasan atau kekakuan antar keluarga, kalian salah. Ayah dan anak ini penuh dengan candaan dan kasih sayang yang jarang ditemukan di generasi ini.
Setelah adu bibir antar keduanya, sekarang mereka sudah tertawa terbahak-bahak entah apa saja yang mereka tertawakan. "Yasudah cepat pergi antarkan kuenya, jangan sampai kau makan di tengah jalan." sindir ayah Yuna, sembari menyiapkan beberapa pesanan dari para pengunjung.
Kafe Y n A, itulah nama kafe ayah Yuna yang diambil dari nama anaknya. Ia bukan baru membuka kafe, tapi hanya berpindah tempat saja. Dulu beliau membuka kafe di daerahdaerah gongjin, karena sewanya yang semakin mahal maka berpindah lah kafe tersebut tepat di kota seoul. Selain dekat dengan tempat sekolah anaknya, disana juga dipastikan akan ramai pengunjung karena tempatnya yang strategis.
Yuna hanya tinggal berdua dengan ayahnya, selama ini ia tumbuh tanpa kasih sayang dari ibunya. Jadi jangan heran jika kelakuannya lebih kasar dibandingkan gadis-gadis feminim diluaran sana.
Yuna memiliki paras yang manis dan cantik, bibirnya yang mungil dan esung pipi di bagian kiri benar-benar menggemaskan. Hanya saja banyak orang yang menutup mata karena ia tidak terlalu memperhatikan penampilan. Jika teman-temannya memakai pakaian trendy dan berlomba-lomba untuk pamer body sexy nya, berbeda dengan dirinya.
Gadis ini lebih terkesan bodo amat dan tidak ingin mengikuti trend apapun mengenai gaya berpakaiannya. Ia hanya akan mengenakan pakaian yang menurutnya nyaman saja, toh tidak ada pria yang harus ia tarik perhatian nya. Apalagi ia sangat suka memakai celana jeans dengan hoody oversize.
••
"Yuna kemana? aku tidak melihat batang hidungnya sedari bangun tadi." Hyejung mengucek matanya yang masih sembab hasil ia mengebo tadi. "Kau pikir kau sudah bangun berapa lama? belek mu saja masih ada dua kilo disana." jawab Sunyeong, tangannya menunjuk-nunjuk mata Hyejung di depannya.
"Hei mana ada dua kilo." ia langsung berlari kearah kaca besar disamping pintu kamar untuk mencari bukti bahwa matanya benar-benar tidak memproduksi belek sebanyak itu. " entah betapa randomnya dua sobat ini.
"Hyejung-ah kamu lihat bandanaku yang biasa kupakai?" itu sera, dia anggota ke empat di dalam kamar ini. Jadi bukan hanya tiga kembar nakal inilah yang menempati kamar seluas ini, melainkan ada enam anggota.
Dengan ruang kamar yang luas, tiga kasur dipan tingkat dua mengelilingi dinding kamar. Lalu meja panjang berwarna putih menjalar memenuhi tengah-tengah ruangan. Memang terkesan membuang tempat, namun itu lebih baik di bandingkan semua anggota kamar memiliki mejanya masing-masing yang pasti akan lebih menyita tempat.
"Tidak tau, mungkin di pinjam Yuna?" jawab Hyejung, ia sudah lebih segar sekarang setelah membasuh mukanya dengan air dingin. Aneh bukan pada jam delapan malam kebanyakan orang akan lekas tidur dan meninggalkan aktivitas mereka, namun kali ini berbeda.
Hampir seluruh anggota kamar tertidur sore tadi hingga sekarang, kemungkinan besar dialami juga oleh mahasiswa lain di asrama ini. Ujian tadi sungguh menguras tenaga, ditambah harus berkumpul mendengar kan ceramah dari dekan antar jurusan.
••
"Ahh, capek sekali. Mana minum ku appa, tenggorokan ku kering dan hampir mengelupas." rengekan Yuna terdengar hingga dapur kafe, tak sedikit pengunjung penasaran mencari darimana kah asal suara rengekan tadi.
"Aissh anak ini, kenapa kau teriak-teriak. Kau mau mengadakan pertunjukan disini?" ucap ayah Yuna sambil mengangkat kain lap ditangannya, bertujuan untuk mengancam putrinya agar tidak berteriak lebih keras lagi.
Ahirnya Yuna menutup mulutnya rapat-rapat dan mengambil latte favoritnya yang sudah disiapkan oleh sang ayah di dalam kulkas. Beginilah kelebihan sebagai anak dari pemilik kafe, kapanpun ingin minum latte atau kopi tinggal minta saja, dijamin kalau terlalu sering minta maka sendal akan melayang tepat di atas kepala.
"Sepertinya aku akan tidur dirumah saja malam ini, dimana ponselku?" Yuna merogoh setiap saku yang ada di bajunya, dan ketemu di saku celana sebelah kanan. Tapi Yuna merasa ada yang aneh dengan ponselnya, bentuk dan warnanya sama bahkan merk nya pun sama.
Tapi anehnya Yuna merasa asing dengan ponsel itu, seperti baru memakainya beberapa kali padahal ponsel itu sudah menemani nya dari tiga tahun lalu. "Hah kenapa ada sandinya? seingatku aku tidak pernah memasang sandi apapun di ponselku." Yuna semakin dibuat bingung dengan teman kotaknya itu, ia membolak-balikan ponsel ditangannya memastikan benar bukannya benda itu adalah miliknya.
"Astaga tidak mungkin tertukar dengannya kan?"