"Dasar bodoh! Kalau si Riswan sayang, peduli, dan mampu memenuhi segala kebutuhan keluarga, itu baru pantas dipertahanin. Nah, ini ... laki cuma bisa nyakitin, nggak bisa nyukupin. Kerja pun cuma berkebun, masih saja disayang-sayang. Kamu itu dulu di sekolahin orang tua, bukan makin pintar, malah otakmu semakin tumpul!" sentak Bapak, dengan penuh emosi.
"Bang Riswan sayang, Pak, dengan Risma," jawabku." Bang Riswan juga tidak pernah menyakiti hati Risma." Sembari terus memotong daun kangkung.
"Dengan hidup susah bersamanya, itu sudah nyakitin, Risma!" bentak Bapak lagi.
"Kamu lihat tuh, hidup kedua kakak dan adik-adikmu. Mereka terlihat senang, gak hidup susah macam kamu. Kamu memang nggak sakit, hidup susah terus," sindir bapak. Aku tertunduk diam saja, tidak lagi membantah. Kata-kata menyakitkan seperti ini sudah sering kali kudengar, dan bukan hanya dari bapak saja.