"Maafkan aku, Erina. Aku tidak tahan untuk tertawa ketika membayangkan hal itu." Suara tawa kembali terdengar dari mulut di balik telapak tangan Revan saat ini.
Seakan tidak mengindahkan apa yang dikatakan Erina sebelumnya, dia semakin menjadi dalam tertawa sejak tadi. Bahkan suara tawa yang keluar dari mulutnya lebih besar dan kencang daripada sebelumnya.
Aarav yang berada beberapa langkah di depan Revan, hanya menghela napas panjang. Berpikir jika sesuatu yang buruk akan segera terjadi pada Revan, karena dia tidak dapat mengontrol emosi hatinya dengan baik. Apalagi ketika Erina baru saja merasakan kejadian yang cukup menjengkelkan.
Perasaan jengkel yang ditahan di dalam dada, tidak dapat dibendung lebih lama oleh Erina hingga saat ini. Kemudian tanpa berpikir panjang, dia menyingkirkan tangan Aarav yang masih menempel di atas bahunya. Tatapan matanya dipenuhi dengan kebencian, tetapi senyuman justru terlihat lebar pada mulut.