Chereads / Flashback On : 2017 / Chapter 3 - Hari pertama

Chapter 3 - Hari pertama

Aku bergidik ngeri, sepuluh meter dari tempatku berdiri sebuah kerumunan menjadi obyek yang cukup menyita perhatian. Dapat dibayangkan sesaknya berada di antara manusia-manusia itu. Tanpa mau berdesak-desakkan di sana, aku dan Alano lebih memilih menunggu sambil bersandar pada tembok.

Aku berdecak kesal mendengar beberapa gerutuan keluar dari mulut Alano, tak bisakah anak itu mengemut permen lolinya dengan tenang?.

"Wiss! bro. Dirgahayu yaa, haha. Udah gede aja anak mama."

Bams dan Alif-- teman semasa Smp kami dulu yang baru saja keluar dari kerumunan menyesakan itu langsung menepuk bahu Alano.

"Selamat hari brojol ya, bro," ucap Alif.

Mereka ber-tos ria ala lelaki, Alano yang tadinya menggerutu kini tersenyum simpul.

"Kok tau ulang tahun gue?" tanya Alano.

"Dari postingan instagram nyokap lo," jawab Bams.

"Tadi malam ada pesta kan ya? Parah sih kita enggak diundang," canda Alif.

Alano menggaruk tengguknya yang tidak gatal, raut mukanya tampak tidak enak pada dua orang itu. "Sorry, gue aja enggak tau ada acara kek gituan, mama yang rencanain," ujarnya.

"Nanti gue traktir deh," lanjut Alano.

Bams dan Alif tertawa, "Kita bercanda kok, tapi kalo mau traktir gue tunggu ya," kelakar Alif.

Setelah itu Alif dan Bams pamit masuk kelas, mereka ternyata sekelas, X Ipa dua. Aku memandangi punggung mereka yang semakin menjauh dan berakhir pada belokan koridor.

"Ma, gue ke toilet bentar ye," pamit Alano yang langsung diangguki aku.

Aku melirik jam yang melingkar di pergelangan tangan, tujuh menit waktu yang cukup lama untuk menunggu kerumunan itu berhamburan, aku melangkah mendekat pada mading. Tanganku mulai menyusuri kolom nama yang tertempel di sana, tak lupa netra yang ikut berkeliaran mencari. Mataku terhenti ketika menangkap nama Okto Gema Putra terdaftar dalam barisan anak Ips tiga.

Aku berdecak, kelas itu berada paling ujung dari koridor. Jaraknya cukup jauh, tetapi mengeluh tidak akan membuatku sampai di sana. Aku pun melangkahkan kaki menuju kelas baruku tanpa menunggu Alano kembali dari toilet-- biarlah dia mencari kelasnya sendiri, saat menyusuri koridor suasana tahun ajaran baru begitu terasa pagi itu.

"Mungkin anak-anak lain bakal takut sama lo, tapi jangan harap gue bodoh kek mereka!" Suara itu terdengar sangat tegas, penuh penekanan saat aku sampai pada kelas baruku.

Aku menoleh, suara yang sangat familiar di telingaku. Alano, mata anak itu terlihat nyalang menatap lawan bicara, kulit putihnya kini memerah menahan amarah, jarinya kuat menunjuk seorang anak.

Tunggu dulu, bukankah dia tadi pamit ke toilet dan tiba-tiba sekarang sudah ada di kelas X Ips tiga dengan posisi sedang berkelahi.

"Kenapa diam? Sini lawan gue! nyali lo segitu doang?" berang Alano.

Aku tertegun, amarah anak itu meledak pagi hari sekali.

"Bangsat!" teriak seorang anak yang berakhir dengan pukulan yang mendarat di pipi Alano.

Bukan Alano namanya kalo diam saja ketika di perlakukan seperti itu, pada dasarnya dia yang tidak mau mengalah membalas pukulan anak tersebut. Jual beli pukulan pun terjadi, tidak peduli baju baru yang sudah kotor akibat guling-gulingan di lantai, membuktikan siapa yang paling hebatlah lebih utama.

Beberapa anak mulai menyoraki, adapula yang berusaha melerai walau hanya beberapa anak, mungkin mereka terlalu takut terkena pukulan nyasar. Tak ingin membuat sahabatku mati konyol karena dihajar habis-habisan, aku masuk membelah kerumunan.

"Lo pikir topeng monyet ditonton kek gini. Cih!" aku berdecih.

Aku berusaha menarik sahabatku yang tengah beradu pukulan itu, cukup kewalahan saat melerai sebab tubuh Alano yang lebih besar dariku juga berontakannya yang cukup kuat sehingga membuat tenagaku saja tidak cukup.

"Bantuin, anjing!" teriakku.

Salah seorang maju memegang tubuh lawan Alano, sedangkan seorang lagi membantuku memegangi Alano, dadanya naik turun karena emosi. Mengerti suasana aku langsung membawa Alano di keluar dari kerumunan itu.

"Ada masalah apa? Mau jadi jagoan? Lo mau nama lo masuk Bk di hari pertama, lo gak bodoh 'kan? " cercaku dengan berbagai pertanyaan. Aku merasa sedikit kesal padanya .

Alano hanya terdiam menetralkan emosinya. Aku membawanya ke pojok ruangan, Memberinya ruang untuk bisa berpikir jernih, tak heran sebenarnya-- Alano anak yang tempramental jadi hal semacam ini mudah saja terjadi padanya.

"Dia yang mulai duluan!" ucapnya.

Entah siapa yang memberi tahu, dua orang guru bimbingan konseling langsung menarik kerah keduanya tanpa permisi. Alano dan anak itu hanya bisa menurut dengan kerah yang ditarik paksa.

"Murid baru banyak tingkah," geram salah seorang guru.

Aku menggeleng, kalau sudah berkelahi seperti ini apa dia tidak kasihan dengan diri sendiri?

***

Lupakan kejadian tadi, akan jadi apa mereka di ruangan bimbingan konseling itu tidak perlu dipikirkan. Aku bergeser dari dudukku menghindari sinar matahari yang menyilaukan mata, sejenak menghirup napas dalam-dalam. Sungguh bosan berada di sini.

Mataku terpejam menikmati lagu yang sedari tadi mengalun lembut dari headset hitam, di hari baru itu tidak ada yang menarik selain lagu iwan fals berjudulkan 'pesawat tempurku'.

Tanpa sadar suasana semakin ramai, kursi-kursi kosong telah diisi. Aku tidak peduli, rasanya ingin cepat-cepat pulang dari berbaring tenang di kasur empukku. Telinga, otak, serta tubuhku masih terfokus pada lagu klasik milik iwan fals, tetapi tak lama teralihkan oleh seorang anak.

Gadis kacamata terjerembab di lantai, rambut yang dikuncirnya sedikit berantakan, bulir-bulir keringat mengucur di sekitar pelipis, raut ketakutan sangat kentara di wajahnya. Hal itu mengundang tanya dari seisi kelas, aku sontak mencabut headset dari telingaku.

Suasana kelas seketika senyap, semua mata memperhatikan setiap gerak-geriknya termasuk aku.

"Ada apa, sist?" tanya Kiko, laki-laki berambut cepak dengan proporsi badan yang pas.

"Ada yang ngejar," jawabnya takut-takut.

Dahiku mengernyit, kami semakin dibuat bingung. Karena rasa penasaran, benar-benar kami tunggu si pengejar tersebut, tetapi nihil-- tak ada siapapun.

"Gelo sia." Seorang anak berbisik dari arah belakang dengan logat sunda yang kentara.

Kutolehkan wajahku pada anak yang dikatai gila tadi, biasa saja-- tidak ada tanda-tanda bahwa anak itu memiliki gejala gangguan jiwa. Aku mengedikkan bahu, tidak mau terlalu pusing memikirkan hal samacamnya. Lagipula jika dia terkena gangguan jiwa, tidak mungkin dia bisa diterima di sekolah ini.

Kupandangi wajah baru itu, aku sedikit merasa de Javu. Rasa-rasanya banyak yang penasaran tetapi mereka memilih acuh, hingga akhirnya hanya bisa bergelut dengan isi kepala yang membuat mereka terlihat lugu dengan diamnya.

Tak berselang lama, seorang guru masuk lalu menyuruh kami memperkenalkan diri. Ageng, Kiko, Gibran, Azzura, nama-nama yang mampu aku hafal dalam waktu sekejap. Itulah nama-nama yang akan menjadi temanku tiga tahun ke depan.

"Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam," jawab kami serentak.

Itu sahabatku bersama Rando-- anak yang berkelahi dengannya tadi. Mereka datang bersama dengan wajah yang tidak bersahabat.

Entah ini kebetulan atau memang jodoh aku dan Alano ternyata satu kelas.

"Ini yang berkelahi tadi? Belum apa-apa udah kayak gini, gimana ke depannya? Mala petaka!" sindir guru itu.

Alano dan Rando tidak terlalu peduli demgan sindiran itu, lalu mereka dipersilahkan duduk, mau tak mau mereka duduk berdua di belakang sana karena bangku yang tersisa hanya itu.

Hari itu berjalan flat menurutku, semua masih terasa asing, semua terlihat canggung untuk sekedar berkata hai saja-- itu wajar. Tidak ada interaksi lebih selain perkenalan diri tadi yang hanya sebuah formalitas saja.

Rasa bosanku semakin bertambah.

Momen aneh itu berlangsung hingga bel pulang berbunyi. Aku tersenyum senang, ini yang ditunggu-tunggu. Aku dan Alano pun berjalan beriringan menuju parkiran.

***

"Masuk kelas apa?" tanya Abangku Adnan.

Aku yang baru saja mendaratkan bokongku pada sofa menjawab, "Ips tiga."

"Weh, seru tuh." Entahlah aku tidak terlalu yakin dengan ucapan abangku. Lagipula dari mana dia tahu bahwa kelas baruku itu seru?itu sangat jauh dari ekspektasinya.

"Seru apaan? Suasananya aneh gitu masa," ucapku sembari menggulir layar handphone.

Abangku terkekeh kecil.

"Namanya juga baru kenal, gimana ceritanya bisa langsung akrab. Adaptasi, Gem," ujar Abangku.

Aku mengangguk, memang benar ini masih tahap adaptasi. Itulah yang aku tidak suka dari bertemu orang baru, yaitu beradaptasi dengan lingkungan baru, padahal sudah dapat teman satu frekuensi eh harus ketemu lagi dengan yang baru, harus paham kebiasaan baru, kenal karakter-karakter baru, belum lagi lelucon yang kita buat tidak sesuai dengan orang baru.

"Capek ah ketemu orang baru. Adaptasi susah cuy," keluhku. Aku melorotkan bahu.

"Kalo ketemu orang baru yang terpenting adalah attitude, Gem. Jaga attitude, karena beda orang beda cerita," pesan Abangku.

***

Hai-hai selamat datang dalam ceritaku, harap-harap kalian suka, jangan sungkan buat kritik ataupun saran. Tinggalkan jejak untuk kejutan berikutnya><

salam hangat, Mootia 🙏