Chereads / Flashback On : 2017 / Chapter 4 - 1 years later

Chapter 4 - 1 years later

Sudah setahun lebih aku berada di angkara, banyak hal yang cukup membuatku kaget selama setahun lebih itu. Entah dari segi watak mereka yang berbanding terbalik dariku, atau hal-hal baru yang tidak pernah ku ketahui selama ini. Tapi terlepas dari semua itu, kami berada di angkara ini karena takdir dan aku telah terbiasa akan perbedaan yang ada.

Selama setahun lebih itu pula satu misteri terungkap. Termasuk Salah satunya Azuura, seorang anak yang dulu terjerembab di lantai dengan muka ketakutan karena dikejar serta sempat dikatai stres itu ternyata anak indigo, anugerah yang jarang dimiliki manusia umumnya. Hal itu memunculkan spekulasi kami sekelas bahwa yang mengejarnya waktu itu adalah mahluk dimensi lain. Sampai sekarang 'si pengejar' itu masih menjadi misteri.

***

Pagi itu aku membaca rentetan kata yang dirangkai apik oleh penulisnya, sebelum memasuki kelas aku menyempatkan diri berkunjung ke majalah dinding. Seperti biasa-- sudah setahun lebih, biasanya aku ke sini hanya untuk membaca puisi atau quote harian juga berita terhangat minggu ini.

Jadikan aku pena

Akan kutuliskan sempurna dirinya

Aku bahagia ...

Jadikan aku imajinasi nya

Agar aku tahu isi pikirannya

Dan menyesal ...

Di sana bukan diriku

11 Juni 2020.

Puisi yang ditulis dalam sticky note hijau, tidak terlihat mencolok dari yang lainnya, tetapi mampu menarik perhatianku. Sepertinya sang penulis sedang patah hati karena cintanya bertepuk sebelah tangan, itu dugaanku.

Dan untuk kabar terhangat minggu ini, masih dengan team sepak bola sekolahku yang mampu menyabet piala di pertandingan sepak bola antar sekolah se-provinsi kemarin. Hebat, aku acungi jempol, walau masih ada sedikit rasa kecewa sebab dulu aku tidak diterima dalam team sepak bola itu. Entah apa alasannya. Sudahlah, lupakan!

Kabar kemenangan team sepakbola itu masih hangat diperbincangkan saat aku menyusuri koridor, beberapa kalimat pujian dilontarkan, anggota-anggota nya pun semakin tenar di kalangan anak Angkara. Aku kemarin ikut menonton pertandingannya walaupun tidak sampai selesai, memang benar Jojo (kapten team) dan yang lainnya bermain sangat cantik kemarin.

"Embun di pagi buta ... "

Ku dapati Lano yang bersenandung ria di sampingku, entah sejak kapan anak itu berada di sana. Aku tidak terlalu peduli, fokusku hanya pada kelas paling ujung dari koridor ini, kelasku.

"4√10x√2. berapa hasilnya?"

Alano menyikut lenganku membuat aku ikut menoleh, Aku mengikuti Alano yang terhenti. Sejenak kami ikut menyimak soalan matematika yang diberikan laki-laki itu, aku melirik sebatang coklat yang tersaji di hadapan seorang perempuan. Ternyata itu reward jika berhasil menjawab soalan itu.

"Hasilnya 8√5. Ah, lama." Melihat reaksi anak perempuan itu aku terkekeh, dia menggaruk pelipisnya yang tidak gatal. Belum tahu saja siapa Alano.

Alano merobek lembaran buku milik anak perempuan itu--sepertinya, lalu mencoret coret angka-angka dengan pulpen yang ia ambil dari saku celananya.

4√10 x √2 = 4 √10x2

= 4 √20

= 4 √ 4 x 5

= 4. 2 √5 = 8 √5

Kurang lebih seperti itu yang dapat kuingat dari tulisan Alano sebab dia langsung menyerahkannya pada dua orang remaja tadi.

"Mudah. Anak esdeh juga bisa," ucap Alano pongah.

Wajah anak itu cengo. Memang bukan untuk kami, tapi dengan mudah pertanyaan itu di jawab Lano. Tanpa menunggu persetujuan, Lano meraih sebatang coklat itu lalu pergi dari hadapan mereka setelah mengucap 'terimakasih'.

"Bikin soalan kek gituan, lumayan dapat coklat gratis." Dia menoleh ke arahku sembari mengunyah sepotong coklat.

"Yang ada tekor gue." Aku merotasikan mata, tidak setuju atas usulnya itu.

"Ya kalo gue enggak bisa kan coklatnya bisa lu makan sendiri," ucapnya.

"Yakin enggak bisa? Lagian gue enggak suka coklat." Ragu, pasalnya yang mengatakan itu pernah menjuarai olimpiade matematika nasional.

Dari Lano yang menjawab soalan tadi, memperhatikan setiap kunyahan dia, serta aku yang menaruh rasa tidak suka pada coklat membuatku tidak sadar bahwa kami sudah sampai pada kelasku.

Seperti biasa teman-temanku sudah duduk manis di teras kelas, samar-samar suara mereka yang mengobrol dari jauh belum bisa ditangkap baik oleh indra pendengaranku. Tanpa alas apapun, aku mendaratkan bokongku-- rasanya cukup dingin.

"Pagi-pagi udah makan coklat aja, nyolong di mana?" sambut Rando saat melihat Lano tidak berhenti mengunyah.

"Stok uang gue masih banyak, nanggung nyolong ginian buat hancurin image gue!" sarkas Lano.

"Iyaa, Tuan muda." Memang pada dasarnya Rando tidak suka memperpanjang masalah.

Hal yang aku hindari dari dunia ini adalah berdebat dengan Lano, kata-kata sarkas yang keluar dari mulutnya beberapa kali cukup membuatku spechless, terdiam, beku, nge- frezze--- atau apapun itu namanya. Pasalnya aku terlalu malas beradu mulut dengan manusia seperti Alano.

Banyak hal yang dibicarakan pagi itu. Waktu lima belas menit sebelum masuk kelas pertama sangat cukup. Topik obrolan kami tidak jauh dari piala bergilir sepak bola hingga pupuk subsidi yang tidak dibagi secara merata. Miris.

Sudah seperti bapak-bapak komplek yang pagi-pagi sarungan ngomongin kinerja pemerintah.

Setiap guru mempunyai cara mengajarnya masing-masing, berbagai metode dilakukan agar ilmu yang disampaikan dapat diserap dengan baik. Termasuk pak Din, guru ekonomi yang kerap menggunakan metode 'game' dalam proses belajar mengajar, bermain sambil belajar. Tapi entah kenapa hari ini Pak Din tidak menggunakan metodenya, kami hanya disuruh mengerjakan beberapa soal yang susahnya setengah mati.

"Pak soalnya susah banget!" jengah juwita.

Aku menggelengkan kepala, kalau sudah berurusan dengan angka-angka aku angkat tangan. Kelemahan dalam bidang hitung-hitungan lah yang membuatku memilih masuk jurusan Ips. Walaupun ada hitung-hitungannya, tapi setidaknya lebih sedikit dibanding jurusan sebelah yang matematikanya pun ada dua.

"Lihat! Romeo aja bisa," ucapnya sembari menunjukan lembar kerja Romeo dengan nilai 98 tertulis dibagian atas--samping kanan kertas.

"Romeo emang suhu, tapi apalah daya kami, pak." Rando berucap dramastis di belakang sana.

"Kalau Romeo bisa kenapa kalian tidak? Itu membuktikan kalau kalian tidak belajar!" jelasnya.

"Bapak saya suruh ngerjain soal bahasa inggris. Bisa enggak, pak?" Terdengar tidak sopan, tapi nyata itu langsung keluar dari mulut sahabatku.

"Jangan bertanya diluar pelajaran kita, cepat selesaikan soal," kelit Pak Din.

"Pertanyaan macam apa itu?" decitnya.

"Bilang aja enggak bisa, pak," ucap Lano.

"Kalau miss sumirna bisa, kenapa bapak tidak? Itu menandakan bahwa bapak belum pernah ke luar negeri," timpal Juwita yang langsung mendapat tawa dari teman-temannya.

"Emang kamu pernah ke luar negeri?" tanya Pak Din yang membuat Juwita spechless.

"Belum, hehe." Ini lebih lucu dari ucapannya tadi, Pak Din berhasil membungkam Juwita.

Pak Din dilawan hahah.

Aku tertawa kecil melihat kelakuan teman-teman. Seperti itulah suasana kelas setiap hari kecuali dengan guru-guru tertentu. Seperti Bu Linda guru Geografi yang kejamnya tiada tandingan, juga Pak Jaya yang jika berisik saat pelajaran ancamannya pada nilai.

Kulihat Lano sudah menemukan jawabannya, bagiku menemukan kata balance dalam hitungan ekonomi sudah seperti mencari harta karun. Susah sekali. Langsung saja kuraih lembar kerja Alano dan tidak tahu malu aku menyalin jawabannya, inilah salah satu keuntungan punya teman yang pintar.

***

Setelah pak Din keluar dari kelas, tak lama setelahnya kami pun ikut keluar. Selain area belakang sekolah, tempat pelarian kami sudah tentu kantin sekolah. Dan di sini lah kami sekarang, duduk di area paling pojok-- dekat dengan tembok pembatas.

Seluruh aktivitas kantin dapat terpantau dari pojok ini, termasuk kedatangan segerombolan most wanted sekolah ini. Anak-anak ipa, tajir melintir, koneksi orang tua di mana-mana, lalu-lalang di organisasi sekolah, dan sedikit dibantu oleh fisik membuat mereka cukup terkenal di Sma Angkara. Ralat-- dikalangan siswi-siswi lebay.

Kurasa bukan hanya kami, mungkin beberapa siswa lainnya sedikit merasa tidak suka dengan mereka. Menurutku mereka hanya sekumpulan anak-anak sok jago yang mengandalkan ketenaran. Bukan merasa tersaingi, hanya saja cara mereka memandang murid lain yang membuatku dan teman-teman tidak suka.

Lebih-lebih lagi kami anak jurusan Ips, yang notabenenya selalu dipandang sebelah mata. itu hal biasa. Mereka masuk dengan tatapan permusuhan, siapa yang mau mengajaknya perang di sini?

"Dih!" Rando berdecih.

Salah seorang dari mereka sekejap menatap kami remeh, tetapi teman-temanku terlihat tidak peduli akan hal itu. Kami hanya tertawa, lalu melanjutkan obrolan tadi. Buang-buang waktu meladeni mereka.

Brak!

Suara meja terdengar dipukul dengan begitu kerasnya membuat kami terlonjak, Rando yang melatah membuatku tertawa. Namun, fokusku dan semuanya sekarang ada pada meja seberang kami, seorang anak hendak dipukuli ramai-ramai.

Tanpa basa-basi Lano mendekati mereka, berusaha menyela di antara mereka. Ia berdiri membelakangi sorang anak yang wajahnya telah pias karena ketakutan itu. Ah, seharusnya sahabatku itu tidak bersikap sok pahlawan di sana.

"Ada apa, bro?" tanya Lano, ia bersikap se-enjoy mungkin.

"Enggak usah ikut campur, minggir!" hardik salah seorang dari mereka.

Aku masih berdiam diri menyaksikan sahabatku yang tengah meleraikan keadaan, Lano masih mencoba bersikap tenang dan mencoba berbicara pada segerombolan anak-anak itu.

"Ini bukan masalah ikut campur, tapi yang lo lakuin udah keterlaluan!" tegas Lano.

Dapat aku lihat tangan anak yang tengah berbicara dengan Lano itu terkepal kuat, dia menyalurkan rasa amarahnya pada tembok di samping mereka. Beberapa murid perempuan sontak memekik kaget akan hal itu.

Aku merasa was-was pada Lano, takut-takut anak itu terkena pukulan, tetapi perasaan itu tidak berlangsung lama ketika segerombolan anak-anak tadi melangkah keluar meninggalkan kantin. Wow, mantra apa yang diucapkan Alano pada mereka.

***

TERIMAKASIH...