Chereads / Get Out From Universe / Chapter 2 - 2- Besi, Lumpur, dan Darah

Chapter 2 - 2- Besi, Lumpur, dan Darah

Sekali lagi, Willy merasakan sensasi tenggelam dalam lautan dalam. Kali ini sensasi dingin membungkus kulitnya. Serasa terjebur dalam kolam es. Setiap bagian tubuhnya merasakan dingin, tapi tidak menggigil.

'Dasar Dewa sialan!'

Matanya menyaksikan kegelapan yang tak berujung. Jantungnya berdetak tidak karuan. Dia tidak tahu sampai kapan ini terus berlanjut, hanya bisa berharap agar cepat berakhir.

Cemas, takut, gelisah, perasaan Willy campur aduk. Perasaan yang sama dialami setiap orang ketika menemui hal baru dan asing. Tidak berapa lama kemudian, dari kedalaman kegelapan, terlihat secercah cahaya putih. Mata Willy terbuka lebar menyaksikan itu.

'Itu....'

Semakin Willy mendekat, semakin besar cahaya itu. Kehangatan mulai dia rasakan. Matanya menghadapi silau cahaya. Berlahan, cahaya itu mulai berada di jangkauan tangan Willy.

*Wuung*

Gelap. Willy tidak bisa membuka mata. Seolah kelopak matanya terasa berat. Namun indera perabanya berfungsi. Willy merasa berbaring di tempat yang lembab. Jari-jarinya menyentuh sesuatu yang familiar. Willy terus meraba-raba, berusaha mencari tahu.

'Basah, becek? Lumpur? Rumput? Rumput kotor?'

Satu per satu indera Willy mulai kembali. Dia mulai bisa mendengar. Suara teriakan, benturan besi, dan langkah-langkah berat memasuki telinganya. Kemudian indera penciumannya kembali. Willy menghirup nafas. Tercium bau tanah basah dan khas besi.

Kelopak mata Willy berkedut, kemudian terbuka. Hal pertama yang Willy lihat ialah langit. Namun bukan langit biru dengan awan putih yang menyambutnya, melainkan langit mendung nan suram.

Seketika Willy langsung bangkit, dan langsung melihat sekeliling. Matanya membelalak, menyaksikan pemandangan mengerikan. Pemandangan yang hanya pernah dia lihat di film-film dan video game.

Pemandangan perang.

Terlihat lautan manusia mengenakan zirah berwarna perak dan hitam. Mereka bertempur, membantai satu sama lain, tidak peduli meski padang rumput tempat mereka berpijak berubah menjadi tanah berlumpur. Kuda-kuda tergeletak dalam kondisi terpotong. Mayat manusia berserakan terinjak-injak.

'Tidak, tidak, tidak!'

Kengerian dan ketakutan merambat ke seluruh tubuh Willy. Lebih ngeri dari pada saat tenggelam dalam kegelapan tak terhingga.

"Hoek!"

Seluruh isi perut Willy keluar.

'Menonton dari film dan melihat langsung benar-benar beda jauh.'

Saat muntah, Willy tersadar, dia mengenakan zirah hitam. Tangan kanannya memegang sebilah pedang.

'Hah? Sepertinya aku di-isekai ke medan perang langsung. Orang tua sialan itu memang sinting. Bagaimana bisa ada orang sinting menjadi Dewa?'

Tiba-tiba Willy mendengar suara jeritan dari kejauhan. Jeritan itu semakin terdengar mendekat. Willy menoleh, seorang prajurit berzirah perak menerjang ke arahnya dengan mengancungkan pedang. Kegilaan tergambar di wajah prajurit itu.

'Sialan!'

Ketika orang itu berjarak satu langkah dari Willy, tanpa sadar, tubuhnya bergerak spontan. Willy berputar, tubuhnya meliuk, lalu tangannya yang memegang pedang mengayun.

*Slas*

Cairan merah menciprat ke wajah Willy. Darah segar berkucuran. Sebuah kepala menggelinding ke tanah.

Wajah Willy berubah pucat pasi.

*bruk*

Lututnya lemas, tak kuasa menopang. Willy benar-benar terkejut hingga tubuhnya bergetar. Ini pertama kali bagi dirinya membunuh seseorang. Seumur hidup, tidak pernah terpikirkan sama sekali dia akan membunuh. Bahkan ketika dirundung selama 3 tahun di SMA, sekalipun dia mencapai batas kesabaran, tidak pernah terbesit di benaknya sama sekali.

Pedang Willy berlumuran darah. Dia menyentuh wajah. Kemudian melihat dalam-dalam jarinya yang terdapat noda merah.

'Apa yang baru saja aku lakukan.'

Masih dalam kondisi shock dan kebingungan, seorang prajurit perak lain sudah berdiri di belakang Willy. Prajurit itu sudah siap untuk menebas kepala Willy. Willy menyadari ada orang yang berdiri di belakangnya, tapi dibiarkan.

'Lebih baik aku mati saja. Seharusnya aku terima tawaran Dewa sinting itu.'

Willy memejamkan mata. Bersiap menerima kematiannya.

"Aaarrgh!"

*Klang* *Slas* *Bruk*

Willy membuka mata.

'Aku masih hidup?'

Willy menoleh ke belakang. Sesosok pria berzirah hitam berdiri di atas mayat prajurit berzirah perak. Wajahnya kasar. Kulit terlihat kecoklatan karena terbakar matahari. Rambut dan janggutnya berwarna hitam, dengan sedikit helai putih. Usianya menyentuh angka 40an.

*Plak*

Pukulan keras mendarat ke kepala belakang Willy.

"Dasar bocah dungu! Bangun, Nak! Kau ingin kepalamu melayang," bentak prajurit itu. Willy tidak mengeluh ketika kepalanya dipukul.

"Aku lebih baik mati," jawab Willy tanpa semangat.

*Plak*

Sekali lagi pukulan keras mendarat di kepala belakang Willy.

"Omong kosong. Sepertinya kepalamu terbentur keras sampai otakmu hilang. Sudah, angkat pedangmu dan bantai para elf keparat itu. Kalau kau tidak tahu alasan hidup, hiduplah demi orang lain. "

'Ah.'

Mendengar perkataannya, membuat Willy teringat sang ibu.

'Mama. Aku harus tetap hidup demi Mama. Kalau aku mati sekarang, aku tidak bisa kembali. Mama akan menderita sendirian. Kenapa aku melupakan hal sepenting ini?'

Air mata mengalir melewati pipi Willy.

'Apa aku memukulnya terlalu keras?' Prajurit berzirah hitam itu bertanya-tanya dalam hati.

Tiba-tiba, dua orang prajurit elf berzirah perak menerjang ke arah mereka berdua. Prajurit berzirah hitam itu langsung sigap, dia menangkis serangan kedua prajurit elf, setelah itu menebas mereka berdua satu per satu.

*Slas* *Slas*

"Keuk!"

"Dasar bocah brengsek! Waktu melankolis nanti saja. Sekarang bantu aku membantai mereka, atau kau yang aku bantai!"

Willy meraih kembali pedangnya yang tergeletak di tanah dan berdiri.

"Siap, Pak!" seru Willy.

Prajurit itu tertawa keras mendengar jawaban Willy, terdengar lucu di telinganya.

'Sepertinya omong kosongku sangat memotivasi'

"Bagus! Sekarang ikut aku! Panggil aku Braun."

Mereka berdua bergerak, menerjang musuh. Willy yang tidak tahu harus berbuat apa memutuskan untuk mengikuti orang yang baru menyelamatkan nyawanya. Braun melirik Willy, tangannya yang memegang pedang terus bergetar. Braun merasa ada yang aneh dengan Willy, tapi kemudian tidak dihiraukan. Braun pikir, mungkin ini perang pertama Willy.

'Apa anak ini belum pernah ikut perang sebelumnya?'

Braun menembus kerumunan musuh, membantai semua musuh tanpa keraguan. Sedangkan Willy hanya mengekor dari belakang, menangkis setiap serangan tanpa melukai mereka. Dia masih terkejut setelah membunuh seorang elf. Tapi yang lebih mengejutkan ialah kemampuan berpedangnya.

Tubuh Willy leluasa memegang pedang. Setiap ayunan pedang yang dia lontarkan, terasa sangat wajar. Seolah sudah pernah belajar berpedang sebelumnya.

'Aku tidak pernah memegang pedang sebelumnya. Tapi, entah kenapa sangat mudah sekali. Aku pikir Dewa sinting itu tidak memberiku privilege?'

Banyak sekali pertanyaan yang muncul di kepala Willy.

'Tenang, pikirkan dulu. Dewa sinting itu seorang otaku. Dia mengirim orang ke dunia lain untuk memulai hidup baru. Sudah jelas dia suka isekai. Berarti apa yang aku alami seharusnya sama persis dengan anime-anime atau novel isekai.Terlahir dari keluarga bahagia, punya cinta teman semasa kecil, punya kekuatan overpower. Tapi aku tidak punya semua itu.

Malahan aku terbangun di medan perang lengkap dengan senjata. Bahkan aku punya skill berpedang. Jangan-jangan ... aku masuk ke tubuh orang lain?'

Tebakan Willy benar. Saat ini Willy sedang menggunakan tubuh orang lain. Deus mengirim roh Willy ke tubuh seorang prajurit bayaran yang sedang bertempur melawan pasukan elf.

Tapi, ada sebuah kenyataan pahit lain yang Willy tidak ketahui.

Willy terus menempel dengan Braun sepanjang pertempuran. Tubuhnya basah kuyup oleh keringat. Dia juga sempat beberapa kali terkena tebasan, beruntung zirah hitam melindungi tubuhnya.

"Kalau masih ingin bernafas, pakai matamu, Nak!"

Braun membentak Willy sepanjang pertempuran.

"Siap!"

Jam demi jam, momen demi momen. Waktu terus berlalu, begitu juga dengan nyawa yang melayang. Pasukan berzirah perak banyak yang terbantai. Dengan begitu pasukan berzirah hitam mendominasi pertempuran.

"Itu yang terakhir! Bunuh!" seru salah satu prajurit berzirah hitam.

*Slas* *Bruk*

Satu prajurit berzirah perak terakhir tumbang. Menandai akhir sebuah pertempuran.

"Woaaaahhhh!"

Sorakan kemenangan bergemuruh, seluruh medan tempur bergetar. Kemenangan bagi pasukan berzirah hitam!

Willy yang mendengar gemuruh kemenangan langsung tergeletak. Tidak peduli meski terbaring di atas lumpur.

'Akhirnya selesai.'

Nafasnya masih terengah-engah, tapi paling tidak jantungnya bisa sedikit tenang, setelah berpacu kencang seharian. Pakaiannya basah oleh keringat. Zirah hitam yang dia kenakan dihiasi lumpur dan darah. Dia sudah tidak peduli lagi.

Willy mengangkat tangan, seolah meraih langit. Tangannya sudah berhenti bergetar.

'Apa aku seberani ini?'

Tiba-tiba sebuah layar panel transparan muncul.

[CHARACTER INFO]

William Butcher

Race : Human

Title : Ungrateful Bastard

Class : Swordman

AP : 17

Rating : F

---

[ABILITY]

Basic Swordmanship (F) - Lv. 1 (+1)

Mental Strength (F) - Lv. 5 (+16)

---

Setelah melihat layar panel yang muncul, daripada terkejut, dia malah naik pitam.

'Title macam apa ini?'

Willy tidak terkejut kalau Deus akan membuat dunia yang hampir mirip dengan game. Game dan anime, dua hal yang sulit dipisahkan.

'Dia membuat dunia ini seperti game MMORPG. Tapi tidak HP, MP, stat, atau level. Apa itu AP?'

Williy mengacungkan jari tengah ke arah langit.

Seluruh prajurit berzirah hitam merayakan kemenangan. Beberapa prajurit saling merangkul, ada yang duduk di atas tumpukan mayat, ada juga yang mengumpulkan rampasan perang. Tapi ada satu prajurit yang matanya masih waspada.

Orang itu ialah Braun.

Dia masih waspada, menatap ke arah barat, menatap pinggiran hutan rimbun yang berada tidak jauh dari padang rumput. Matanya menyipit mengamati bayangan hutan.

'Ada yang tidak beres,' kata Braun dalam hati.

Willy melihat Braun yang berdiri melihat hutan. Dia sadar, ada yang mengganggu Braun.

"Kenapa, Pak? Ada masalah?" tanya Willy. Sekarang dia duduk.

Tanpa menoleh, dengan wajah yang masih waspada, Braun menjawab dengan datar,

"Sudah kubilang, panggil aku Braun. Dan sebaiknya kau bangun, pegang pedangmu. Jangan melepasnya sebelum kita kembali perkemahan." Nada ucapan Braun terdengar serius.

Willy terheran mendengar jawaban Braun.

"Bukankah pertempuran sudah selesai?"

"Semoga saja begitu. Tidak ada yang tahu bagaimana jalan pertempuran. Apa saja bisa terjadi saat perang."

Melihat sikap Braun yang waspada, Willy jadi ikut waspada.

"Apa yang mengganggumu, Braun?" tanya Willy.

"Pertempuran kali ini ... terasa sangat gampang. Gerakan mereka, lebih buruk dari seorang amatir. Bahkan lebih buruk dari berpedangmu. Mereka cuma berteriak sana-sini, seperti orang gila yang memegang senjata. Selain itu, tempat kita bertempur, berada di tempat lapang yang dikelilingi hutan. Posisi kita rawan terkena serangan."

"Aku setuju."

Terdengar suara orang lain.

Seorang prajurit lain datang dan bergabung dengan percakapan mereka berdua. Suaranya serak basah. Willy menoleh ke arah suara itu.

"Ada yang aneh dengan pertempuran ini. Seperti perkataanmu, terlalu gampang. Sepengetahuanku, Prajurit Alfheim salah satu yang paling tangguh dari Lima Kerajaan," kata prajurit yang baru datang.

"Lihatlah." Prajurit itu menendang kepala mayat prajurit elf.

"Wajah elf ini mengerikan sekali. Aku pernah bertemu budak elf sekali di Arcadia. Wanita elf, dia sangat cantik. Bandingkan dengan mereka, seperti langit dan bumi."

"Benar," sahut Braun.

Ketika menendang mayat, helmnya terlepas. Mata prajurit itu sekilas menangkap sesuatu. Ada yang menarik perhatiannya. Dia berlutut, menyikap rambut yang menutupi telinga mayat prajurit elf.

"Sialan!"

"Ada apa?" tanya Braun. Dia menoleh ke arah prajurit yang baru datang itu.

"Yang kita bantai ini manusia."

Nafas Braun terhenti.

"Dasar elf keparat! Sudah kuduga ada yang tidak beres." Braun menoleh ke arah Willy. "Nak! Bangun angkat senjatamu!"

Sayangnya, peringatan Braun terlambat. Mata Willy membelalak. Dengan Mulut ternganga, Tangannya menunjuk ke langit.

Willy menjerit, "A-Awas!"