Ribuan anak panah berterbangan di langit. Willy yang menyaksikan itu langsung berteriak, berusaha memperingati prajurit lain. Tapi teriakan Willy tidak berguna.
Tanpa pikir panjang, Willy langsung berbaring dan menarik salah satu mayat di sebelahnya, menjadikan mayat itu sebagai perisai daging. Willy memejamkan mata saat serbuan anak panah menghunjam. Jeritan para prajurit yang menghadapi maut menggema di telinganya.
'Sialan!'
Suara anak panah yang menembus angin dan menusuk daging terus terdengar. Seluruh tubuh Willy bergetar. Dia berharap agar semuanya cepat berlalu.
Ketika suara anak panah yang berjatuhan berhenti, Willy memberanikan diri membuka mata.
Ratusan prajurit tewas seperti bangkai landak, dipenuhi duri dari anak panah yang menancap tubuh. Sebuah keberuntungan bila mereka langsung tewas. Ada beberapa prajurit yang masih bernafas meski sekujur tubuhnya tertancap puluhan anak panah. Mereka tidak bisa bergerak, hanya bisa menangis dan menahan kesakitan sampai ajal menjemput.
Braun masih berdiri dengan kokoh dengan cahaya biru muda menyelubungi tubuhnya. Tidak ada satu pun anak panah yang menancap. Meski demikian, nafasnya tidak beraturan dan wajahnya tampak pucat. Seolah dia telah menggunakan energi dalam jumlah besar.
Sedangkan prajurit yang baru menghampiri mereka berdua, tewas dalam kondisi mengenaskan. Jasadnya telentang dan ada delapan anak panah yang menancap di wajah. Mata prajurit itu terbuka lebar, menyorotkan ketakutan. Willy bergidik ketika mata mereka saling bertatapan.
Willy segera menyingkirkan mayat yang ada di atas tubuhya, lalu dengan cepat menghampiri Braun.
"Braun! Kau tidak apa?" Willy menangkap Braun yang hampir roboh.
"Apa kau meremehkanku, Nak? Aku sudah melewati berbagai pertempuran. Ini bukan apa-apa." Perkataan Braun berbanding terbalik dengan kondisinya.
"Kau terlalu baik untuk seorang prajurit bayaran. Yah, walaupun kita tidak sepenuhnya seorang prajurit. Ngomong-ngomong siapa namamu?" Braun melihat Willy dengan wajah pucat.
"William," jawab Willy.
"Willam, hah? Hmm, 'Willy' mungkin lebih cocok denganmu."
'Memang itu nama panggilanku.'
*Puuuuuuud*
Bunyi sangkakala menggema di medan tempur. Sebuah tanda untuk memulai serangan. Pasukan berzirah hitam yang baru saja menerima serangan anak panah panik, mereka tidak siap. Separuh lebih dari mereka mengalami luka berat dan tewas akibat serbuan anak panah.
*Wuoooooghhh*
Terdengar raungan ribuan prajurit. Dari arah timur, tepat pada garis belakang pasukan berzirah hitam, ribuan pasukan kavaleri yang ditunggangi prajurit elf berbondong-bondong menyerbu. Seketika moral pasukan berzirah hitam turun drastis.
Fustrasi melanda pikiran mereka. Banyak prajurit yang kebingungan. Beberapa ada yang marah, sadar telah dijebak. Beberapa ada yang memilih melarikan diri setelah menyadari situasi. Dan ada pula yang pasrah menerima kematian.
Meski jatuh ke dalam jurang keputusasaan, masih ada prajurit yang memiliki keberanian.
Seorang prajurit dengan muka kusam berdiri di tengah-tengah kekacauan. Wajahnya tampak tenang. Dia memandang langit yang mendung segelap zirah yang dia kenakan. Setetes air jatuh mengenai dahinya. Kemudian, tetesan air hujan mulai berjatuhan. Hujan mengguyur medan tempur. Petir menggelegar di angkasa.
Prajurit itu tersenyum ketika tetesan air membasahi wajahnya. Dia berkata, "Hujan deras."
Dia mengeluarkan liontin berbentuk hati yang disematkan di dalam zirahnya. "Maaf sayang, hari ini aku tidak bisa pulang."
Kemudian dia ikut menyerbu bersama sisa prajurit yang memiliki keberanian.
"Arrrrgh!"
Di sisi lain, Willy masih memegangi Braun yang sudah kehabisan tenaga setelah menangkis ribuan anak panah yang menghunjamnya.
"Braun! Beberapa prajurit ada yang kabur. Sebaiknya kita juga!" seru Willy. Dia harus bersuara keras agar terdengar, karena bunyi deras air hujan dan sambaran petir.
"Hahaha! Kalau kau ingin pergi, pergi saja, Nak. Tapi perlu kau tahu, kita ini ada di wilayah Alfheim. Tidak ada jalan keluar bagi kita. Satu-satunya jalan keluar di garis belakang kita, hutan yang ada di sebelah timur. Dari arah sana tiba-tiba muncul pasukan kavaleri elf.
Kita telah terpancing bertempur di wilayah mereka. Pasukan lemah yang kita lawan tadi sekedar umpan, agar seluruh pasukan kita berkumpul di satu tempat. Bahkan mereka bukan elf, melainkan manusia. Pasukan utama mereka memutar, lalu menyerbu kita dari belakang. Kita sudah masuk perangkap, Nak."
Willy menggigit bibir. Kepalanya berpikir keras berusaha mencari jalan keluar.
"Apa tidak ada perintah khusus dari komandan? Saat situasi seperti ini?" tanya Willy.
"Apa yang kau harapkan dari orang itu? Yang jadi komandan cuma bandit gunung. Punya pengalaman apa dia soal perang. Sejak awal Midgard menyewa kita bukan untuk menang. Aku sudah tahu ini sejak awal, tapi siapa yang tahu akan separah ini. Andai aku tidak terlalu serakah."
Willy baru terjun ke dunia ini, jadi tidak paham dengan situasi sekarang.
Pertempuran ini merupakan perang antara Midgard dengan Alfheim. Atau lebih tepatnya Midgard menginvasi Alfheim. Pasukan Midgard, pasukan berzirah hitam, merupakan pasukan yang terdiri dari sekumpulan prajurit bayaran dan kriminal yang dipaksa berperang. Pasukan yang menyerang saat ini bukan pasukan Midgard sesungguhnya.
Willy tidak memahami perkataan Braun. Dia juga tidak peduli sebetulnya, satu-satunya yang dia pedulikan sekarang ialah keluar dari neraka pembantaian ini. Baru beberapa saat lalu Willy ingin mati, sekarang dia malah berpikir keras agar bisa selamat.
Seratus meter lagi, pasukan kavaleri elf akan tiba dan menghabisi mereka semua.
"Bagaimana kalau kita pura-pura mati?" Bibir Willy menggigil karena dinginnya hujan.
"Ternyata benar, ini perang pertamamu. Aku beri tahu, Nak. Ras kita punya sejarah panjang dengan mereka, aku yakin mereka tidak akan membiarkan kita hidup. Setelah pertempuran usai, mereka akan mengirim orang memburu yang melarikan diri, dan menusuk jasad-jasad di bekas medan tempur. Sekalipun kita ditangkap hidup-hidup, nasib kita sama seperti pasukan yang kita bantai sebelumnya."
Willy semakin putus asa mendengar jawaban Braun.
'Apa benar-benar tidak ada jalan keluar?'
Hujan semakin deras. Suara petir menggelegar. Udara dingin mulai menusuk tulang. Willy masih berdiri, berusaha mencari jalan keluar. Sedangkan Braun yang sudah pasrah menerima takdir, berbaring di antara mayat-mayat. Braun tersenyum, menikmati tetesan air yang memijat wajahnya. Braun sudah tidak memiliki kekuatan lagi setelah menggunakan Aura.
Willy melihat puluhan prajurit melarikan diri dari pertempuran. Kemudian dia menoleh ke arah timur. Di sana dia melihat pasukan berzirah hitam nekad menerjang pasukan kavaleri elf. Meski dia tidak mengenal mereka, Willy merasa bersalah tidak ikut bertempur. Tapi di saat yang sama itu memberi Willy sedikit waktu.
Pasukan kavaleri elf dengan mudah menggilas pasukan Midgard. Tombak prajurit kavaleri menusuk dan menghancurkan tiga prajurit sekaligus. Para prajurit Midgard terinjak oleh kaki-kaki kuda. Jeritan mereka terdengar di antara bunyi derap kuda dan gemericik air hujan. Darah mereka yang tumpah menyatu dengan genangan air. Padang rumput yang semula berwarna hijau, kini berubah menjadi merah keruh.
Entah kenapa, hati Willy remuk menyaksikan kejadian itu. Kesedihan. Rasa bersalah. Keputusasaan. Fustrasi. Semua campur aduk di hati Willy. Padahal ini bukan perang Willy.
Willy mendongak, mencoba menikmati tetesan air hujan yang menyentuh wajahnya. Dia mencoba meniru Braun.
'Apa benar-benar sudah berakhir?'
Kemudian dia kembali melihat sekitar. Melihat mayat-mayat kuda dan manusia yang berserakan.
Tiba-tiba, sebuah ide muncul di kepala Willy.
'Itu dia!'
Segera dia membangunkan Braun yang sudah pasrah dan menikmati masa-masa terakhirnya.
"Hei, Braun! Bangun! Bangun! Cepatlah, waktu kita tidak banyak," seru Willy.
"Waktu kita memang tidak banyak," jawab Braun. Dia masih memejamkan mata sambil menikmati tetesan air hujan, seperti anak kecil.
Kesal melihat kelakuan Braun, Willy memukul perut Braun.
"Aw! Kau ini kenapa, Nak?" Braun kemudian bangkit.
"Kita punya jalan keluar!"