"Lahh! Kalo gitu lo ikut main aja sana sama mereka!" usul Kaila.
"Hah? G-gue? Tapi gue ga jago-jago amat loh mainnya. Trus ... gue juga punya sedikit trauma."
"Trauma? Trauma kenapa, Kar?" tanya Kaila, namun Karina hanya diam saja.
Tak lama kemudian, tiba-tiba anak tim voli yang tadi bermain di lapangan menghampiri mereka.
"Loh, kenapa? Udah selesai mainnya?" tanya Kaila pada mereka.
"Nggak ... itu, ada kakak kelas yang rebut lapangannya dari kami, padahal sekarang bukan jadwal mereka," tunjuk Aya pada segerombolan siswi yang sudah menguasai lapangan.
Mereka bukanlah anak sekolahan ini, namun mereka juga memiliki akses dalam menggunakan lapangan. Tapi seperti yang diberitahukan Aya tadi, sekarang bukanlah jadwal mereka untuk olahraga.
"Mereka juga ngerebut raket kami," lanjut Aya lagi. "Kalo harus nunggu mereka sampai selesai main itu ngeselin banget, sih."
"Ih, apa-apaan, sih? Sok berkuasa banget mereka!" cecar Kaila. Padahal mereka bukan anak sekolahan ini, tetapi hanya mereka kakak kelas, bukan berarti mereka bisa seenaknya saja.
Tak lama setelah itu, bola tenis tersebut menggelinding di depan mereka, dan cewek-cewek yang tadi merebut lapangan pun menghampiri mereka.
"Woi, kalian, ambil bolanya sini!" perintahnya tak tahu malu. Padahal mereka bisa mengambilnya sendiri, tetapi malah menyuruh orang lain seperti babu.
Kaila mengehela napas kasar, kemudian mengambil bola tersebut dan melemparkannya ke arah siswi itu.
"Hm? Sepertinya gue pernah liat cewe berambut panjang yang ada di sana," ucapnya dan melihat ke arah Karina.
Karina berusaha memalingkan wajahnya, namun sepertinya itu hanya sia-sia belaka. Raut wajah Karina berubah masam seketika.
"Loh, Karina? Karina, 'kan?" ulangnya lagi.
Mau tak mau, Karina pun terpaksa menyapanya. "Kak Sisi, lama ga ketemu!"
"Oh, ternyata beneran Karina, ya! Jadi bikin nostalgia aja!" ucapnya sambil menepuk pundak Karina dengan keras.
Karina bisa merasakan pedihnya bahu yang ditepuk barusan. Apa-apaan tenaga cewek ini? batin Karina.
"Gue sampe ga bisa ngenalin lonlahi gara-gara rambut lo udah panjang." Karina hanya diam saja dan tersenyum kecut. Setelah itu, mereka langsung kembali lagi ke lapangan.
Semua orang menatap heran ke arah Karina. Lalu, Aya mendekati Karina dan berbisik pelan, "Lo kenal mereka, Kar? Raket itu kami pinjem dari klub tenis, jadi bisa ga kalo lo minta mereka buat balikin?"
"W-what, gue?" Bukannya tidak mau, akan tetapi Karina memiliki kenangan yang tidak mengenakkan dengan kakak kelasnya itu.
Namun, di satu sisi temannya juga sedang kesusahan. Sulit untuk mengabaikannya. Akhirnya, dengan segala keberanian yang terkumpul di mulut, Karina berusaha untuk meminta raket itu kembali.
"K-kak Sisi! Jadi gini ... raket itu milik anak klub tennis. Gimana kalo Kakak kembaliin raket itu ke mereka?" tawar Karina. Ia sudah mencoba setenang mungkin. Mengingat tubuh kakak kelasnya yang tinggi menjulang itu.
"Hm ... raket?"
"Iya, mereka pinjem reket itu dari anak tennis."
"Raket ini, ya? Tentu aja bakal gue balikin kalo kalian bisa ngalahin kami," tantangnya dengan sok hebat. Yang benar saja!
"What?"
"Maksud gue, kalo lo dan ketiga teman lo bisa ngalahin kami, maka raket ini akan kami kembalikan," ulangnya.
Emy merasa sangat jengkel dengan nadanya yang terdengar congkak di telinganya.
"Gak ... kami ga bisa main tennis. Bukannya itu ga adil?" Emy merasa jika hal ini hanya akan menguntungkan sebelah pihak saja.
"Memangnya kenapa? Lo punya masalah? Dan yang kalah harus jadi babunya si pemenang," pungkas cewek yang bernama Sisi tersebut.
Ini bakal merepotkan, batin Karina. Jujur saja, Sisi itu memang tipe cewek yang suka mencari masalah. Dan itu membuat Karina kewalahan saat SMP dulu.
"Kalian tentuin aja urutan mainnya. Peraturannya sederhana aja, yang menangis double dialah pemenangnya."
Double adalah permainan yang dimainkan oleh dua orang dalam satu kelompok.
Karina ingin protes, namun rasanya perkataannya hanya akan memicu timbulnya masalah lain lagi.
"Oh, ya, asal kalian kalian tau aja, kami ini semua mantan anggota klub tennis," akhiri Sisi sambil tersenyum miring.
Oh, lihatlah tingkahnya itu! Dia berlagak bak seorang profesional sekarang. Dan itu benar-benar sangat menyebalkan, bahkan menyakitkan mata.
"Childish banget ga, sih!"
"Iya, ga adil!" gerutu teman-teman Karina.
"Ya ampun, gue minta maaf, ya!" ucap Karina merasa bersalah.
"Itu bukan salah lo, kok! Santai aja!"
"Dia Kakak kelas lo pas SMP dulu?" tanya Davira yang merasa penasaran kenapa Karina bisa mengenal orang seperti itu.
"Iya, sebenernya dulu ...."
Flashback-on.
Kejadian itu terjadi saat Karina masih kelas 1 SMP.
"Karina!!"
"Loh, Kak Sisi?"
"Gimana? Udah bisa beradaptasi sama klub tennis? Anak-anak tennis lain ga ada yang jahatin lo, 'kan?" tanya cewek itu.
Karina menggelengkan kepalanya. "Ga ada, Kak. Mereka semua baik-baik, kok!"
Di antara semuanya, Sisi lah yang terlihat paling peduli terhadap Karina, makanya Karina merasa nyaman berbicara dengan Kakak kelasnya itu.
"Karina! Semangat latihan tennisnya!" ucap cowok itu sambil melambaikan tangannya.
"Kak Andre!"
Ya, cowok itu adalah kakak kelas Karina, dan juga terkenal di kalangan siswi lainnya dikarenakan wajahnya yang tampan dan juga sifatnya yang ramah.
"Sisi juga, jangan suka ngejahilin Karina, ya ... di jaga baik-baik, loh, Karinanya!"
"Pasti, dong!"
Tak lama setelah itu, cowok yang dipanggil Andre itupun meninggalkan mereka.
"Karina, lo kenal Andre?"
"Hm? Iya, soalnya dia adik kelas Kakak gue dulu," jawab Karina. Dan ia juga sudah mengenal cowok itu sejak lama.
Setelah itu, Sisi semakin bersikap baik kepada Karina dan bahkan membantu Karina setiap ada masalah di klub tennis. Namun ....
"Gue suka sama lo! Bener-bener suka sama lo! Jadi, ayo pacaran!"
Karina tak sengaja mendengar pengakuan cinta Sisi kepada Andre. Saat itu, dia hampir terlambat ke klub, jadi mau tau mau dia harus melewati jalan itu.
Karina berusaha agar tak menimbulkan suara sedikit pun. Namun, sialnya cowok itu malah memanggil namanya.
"Loh, Karina, pas banget! Sisi, kalo wajah lo secantik Karina dan badan lo ga setinggi tiang itu, mungkin gue bakal pertimbangkan lagi lo buat jadi pacar gue! Wajah lo ga sesuai standar gue," cemoohnya yang membuat siapa saja yang mendengar, pasti akan merasa sakit hati.
'Lah, trus kenapa gue dibawa-bawa, ya Gusti?!!!!' Karina berteriak dalam diam. Padahal dia tidak salah apa pun, kenapa namanya juga harus disebut-sebut? Dan dari sekian banyak manusia, kenapa cowok itu harus membandingkan Sisi dengan dirinya?
Flashback-off.
"Setelah hari itu, dia berubah menjadi orang yang super pendendam dan suka ngejahilin orang. Sifatnya pun berubah 180 derajat kayak kerasukan. Dan klub yang menyenangkan pun berubah jadi tempat penistaan."
***