Nyatanya semua tidak baik-baik saja. Memutuskan membawa Clarissa pulang disaat jamuan makan malam belum selesai. Jayden pun memilih mengendarai sendiri mobilnya ketimbang diantar supir.
Raut wajah yang datar serta kilatan mata yang tak kunjung melunak, Clarissa tahu sesuatu yang tidak baik terjadi diantara Jayden dan ayahnya.
"Aku langsung antar kamu pulang."
Clarissa mengangguk meski tidak benar-benar setuju. Karena sejujurnya Jayden sudah berjanji akan membawanya kepantai untuk menikmati jagung bakar bersama malam ini.
"Aku gak mampir gak papa kan?"
"iya gak papa."
Sangat tidak manusiawi kalau ia marah disaat-saat seperti ini kan? Jadi dengan kerendahan hatinya Clarissa mengangguk bertepatan dengan dihentikannya laju mobil yang baru Clarissa sadari mereka sudah berada di pelataran rumahnya.
"Salam aja sama ayah sama ibu."
"Iya." Balas Clarissa tersenyum manis seperti biasa ketika menutup pintu mobil.
Dari awal keluar dari rumah orang tuanya, tidak sekalipun Jayden menunjukan senyum. Sampai Clarissa pun canggung untuk melakukannya.
Apalagi saat ia masih menatap kearah Jayden menunggu apa saja yang akan lelaki itu katakan tapi Jayden malah menutup kaca mobil dan segera memutar mobilnya. Keluar pagar melesak kencang.
Satu hal yang baru Clarissa tahu dari seorang Jayden. Suka memendam masalah.
Kedua bahu Clarissa seketika jatuh melemas lalu mendesah pelan. Hari ini benar-benar seperti mimpi buruk.
Diawal masalah Jhonny, sekarang Jayden pula. Belakang kepala Clarissa bertalu-talu seperti dipukuli balok kayu namun masih ia paksakan melangkah membawa kakinya berjalan gontai.
Kemungkinan ayah Jayden yang tidak menyukainya membuat pikiran buruk berkecamuk memberantakan isi kepala.
Rumah sudah menderang yang artinya malam ini Clarissa tidak sendiri lagi. empat hari orang tuanya pergi ke Puncak membuat hari Clarissa tidak berjalan dengan baik.
"Ihh anak ibu udah pulang." Farah menyambutnya bahagia dengan celemek hitam masih membalut badannya yang kian kurus.
Kenyataan ibunya yang sakit jantung memukul perasaan Clarissa. Setiap hari seperti menunggu waktu yang rasanya kian menyempit.
"Ayok makan dulu sayang, ibu sudah masak sop iga untuk kamu."
Sop iga-terdengar sangat menggiurkan kalau saja isi kepalanya sedang tidak kusut. Tapi Clarissa tetap menganggukan kepala karena tidak ingin mengecewakan sang ibu.
"Ayah mana?"
"Lagi mandi. Bentar lagi juga turun." Jawab Farah sudah lebih dulu duduk dan Clarissa hanya ber O ria.
Sambil terus berceloteh menceritakan liburan mereka di Bandung, Farah mengisi piring Clarissa dengan masakan kebanggaannya.
"Juice apel nya mana?" Tanya Clarissa saat hanya ada dua gelas susu diatas meja.
"Ada di meja belakang. Bentar ibu ambil." Farah sudah akan beranjak tapi Clarissa menahannya, "biar Rissa aja bu."
Mana tega Clarissa membiarkan ibunya berjalan lagi kebelakang disaat ia sudah mantap duduk dengan napas yang masih terdengar pendek-pendek.
"Eh Rissa udah pulang." Jordi turun, tampak segar sehabis mandi.
"Iya yah."
Clarissa mencium tangan ayahnya lalu memeluk sekilas.
"Bahagia bener abis bulan madu." Canda Clarissa melirik Jordi dan Farah bergantian.
"Rissa ihh!"
Clarissa terkekeh pun Jordi yang tertawa keras meledek sang istri. "Ibu kamu malu Riss."
"Cie muka nya sampai merah gitu."
Tawa Jordi memelan ketika Farah memeloti seraya memberikan satu porsi besar makanan untuknya.
"Gak usah malu gitu ah sama anak sendiri."
"Sudah-sudah kita makan dulu, keburu dingin becanda terus." Farah menyodorkan sendok garpu pada Jordi yang rupanya masih ingin mengoda dirinya.
"Rissa, biasain makan nasi, kamu mulai kurus itu."
"Siap kapten!" Farah mencebik saat Clarissa berlagak memberi hormat untuknya sambil tertawa geli.
Clarissa duduk disebelah ayahnya. Menikmati makan malam seperti biasa. Mendengarkan sang ayah yang bercerita betapa menyenangkan berjalan-jalan kepuncak bersama pasangan. Sambil memperlihatkan foto-foto mereka dan tertawa bersama setelahnya.
Keluarga kecil yang bahagia. Memang bukan keluarga kaya raya, tapi Clarissa bangga memiliki jordi dan Farah yang menyayangi dirinya.
***
Udah tidur?
Pesan singkat yang Clarissa kirimkan sepuluh menit lalu belum mendapat balasan.
Clarissa resah merasa janggal dengan semuanya. Jayden juga tidak mengatakan apapun selama dalam perjalanan.
Overthinking. Sepertinya sudah mulai akut.
Nyaris setiap sebelum tidur, lintasan ingatan tidak mengenakan menjajah otak cantik Clarissa. Maka tidak heran ketika seseorang mengatakan hal buruk tentang Jayden beberapa waktu lalu, alam bawah sadar nya merespon dengan memberikan mimpi buruk.
Bagai Boomerang yang siap menghancurkan, Clarissa lebih takut suatu saat ia terbunuh oleh pikirannya sendiri ketimbang pisau tajam Jayden.
Oh astaga, harusnya tidak begini kan?
***
"Cla..."
Keadaan tidur yang berbaring miring menghadap jendela, Clarissa tentu terganggu ketika suara gorden ditarik pun sinar matahari mengetuk kelopak mata.
"Eunghhh..."
Alih-alih bangun Clarissa malah membalikan arah tidur dan menarik selimut. Sungguh Clarissa bahkan baru tertidur dijam dua pagi, tidak bisakah orang ini tidak mengganggu nya dulu beberapa jam kedepan. Lagipula ini waktu libur kan?
Namun sesuatu menimpah pipinya dengan lembut, membuat mata Clarissa terbuka perlahan.
"Bangun."
Sosok Jayden yang tersenyum manis diatas wajahnya membuat Clarissa membulatkan mata.
"Udah pagi."
"Jay?"
Clarissa terkejut sontak mendorong dada Jayden sampai lelaki itu tersingkir ke sebelah. "Sejak kapan kamu disini?"
Orang yang tadi malam tidak mau berhenti berporos diotak cantiknya, kini ada didepannya dengan stelan casual. Sudah tampak segar setelah habis mandi.
"Sepuluh menit lalu, mungkin."
"Sepuluh menit? Kamu ngapain aja baru bangunin?"
"Liatin kamu tidur."
Oh astaga, lelaki ini benar-benar.
Clarissa berbalik untuk menyembunyikan wajahnya,
"heh kamu kenapa?" Tanya Jayden heran.
"Kamu ngapain sih liatin aku tidur?"
"Kenapa? Malu?" Jayden terkekeh, "bentar lagi tidur juga sama aku."
"Is!"
Tawa Jayden pecah seketika saat Clarissa bangkit menatap tajam dirinya. "Lebih jari tidur malah."
"Jay!" Clarissa menjerit malu. Pipinya memerah dan wajahnya terasa seperti terbakar. "Jangan aneh-aneh kamu."
Jayden mengedikan bahu sebelum berbaring dengan sebelah lengan diatas dahi. "Aku tidur bentar ya."
"Tidur?... Jay?"
Ia baru saja ingin mengomeli Jayden namun urung ketika matanya menangkap telapak tangan Jayden ternyata berbalutkan perban.
"Kamu terluka?"
"Dikit." Jawab Jayden singkat.
"Kenapa? Kok bisa?"
"Kena pecahan kaca semalem."
Clarissa geram karena jawaban Jayden tidak menjelaskan apapun, maka ia tarik pergelangan tangan lelaki itu sampai terbangun.
"Jawab yang bener. Gimana cerita nya sampe luka kayak gini?" Seloroh Clarissa, menatap serius pada Jayden yang meringis karena luka nya yang mungkin tersentuh oleh Clarissa tadi.
"Jawab Jay."
"Gak sengaja nyenggol piring, terus luka pas mau beresin."
Bahkan Clarissa yang tidak mengalaminya terasa ngilu mendengarnya, "is kamu tu ya..."
"Mau ngapain?"
"Mau liat sedalem apa lukanya."
Yang saat itu juga Jayden tarik tangannya dari Clarissa, "gak usah. Udah dikasih obat juga kok." Jelas Jayden meyakinkan "besok juga pasti udah sembuh."
"Bener?"
Jayden mengangguk sambil tersenyum "Iya."
"Nanti infeksi--"
"Enggak Clarissa ku. Kan udah dikasih obat." Jayden menyelah cepat lalu meraih bantal disebelah Clarissa untuk ia gunakan, "aku tidur dulu ya semalem gak tidur soalnya."
"Ngantuk?" Tanya Clarissa curiga, "emang kamu kemana semalem sampe gak sempet tidur?"
Oh kegalakan Clarissa mode on. Wanita itu menggelegak karena kenyataan tadi malam mereka pulang dari rumah orang tua Jayden tidak lebih dari jam delapan. Diwaktu seperti itu tentu kesempatan tidur sangat banyak kalau lelaki ini tidak menyeleweng ketempat lain.
Clarissa tarik bantalnya kuat sampai Jayden tersentak. "Ih yang kamu apa-apaan sih?"
"Jawab dulu, kamu kemana semalem?"
Hembusan napas pelan Jayden menunjukan lelaki itu benar-benar sedang kelelahan. "Semalem kamu gak mampir kerumah karena mau pergi jalan sama perempuan lain, iya?"
"Kok jadi nuduh?"
Yang awalnya Jayden tidak ingin mempermasalahkan, kini lelaki itu bangun dari baringannya balas menatap wanitanya yang sedang menatap sengit.
"Emang ya, cowok tuh sama aja. Gak cukup sama satu cewek."
Tuh kan Clarissa jadi melow, matanya berkaca-kaca dengan cepat ia palingkan pandangan agar tidak dilihat sang kekasih.
"Aku gak jalan sama cewek manapun."
"Sibuk banget kamu sampe gak sempet bales pesan aku."
"Kok bahasannya jadi jauh gini?" Masih tidak percaya dengan mood Clarissa yang berubah hanya dengan hitungan detik.
"Udahlah. Mending kamu pulang. Batalin aja pernikahannya."
"CLA!"
Jangan salahkan Jayden yang tiba-tiba menyentakannya.
"Jaga mulut kamu." Namun Clarissa mendecih kemudian beranjak dari tempat tidur.
"Kenapa? Sepertinya kita memang terlalu cepat mengambil keputusan. Menikah disaat usia hubungan belum genap satu tahun memang-"
Kalimat Clarissa seketika menjadi buyar, saat Jayden tahu-tahu menarik kuat lengannya hingga terbaring di ranjang.
Sontak Clarissa berontak karena Jayden membuat pergerakan cepat menindih tubuhnya.
"Tarik kata-kata kamu."
"Jay-"
"Tarik kata-kata kamu."
Aura dingin menyelimuti raut muka yang biasanya ceria. Sisi lain seorang Jayden yang baru pertama kali Clarissa lihat. Terlihat mengerikan, kilatan mata yang tajam menusuk sampai Clarissa lupa akan bernapas.
"Kamu mau bilang kalau kamu masih meragukan aku kan?"
Cepat-cepat Clarissa menggelengkan kepala takut, Jayden tersenyum miring membuat ia berdebar.
"Kenapa?"
Jemari Jayden tanpa disangka menyentuh kaitan kancing piamanya.
"Jay-jangan gini."
Lelaki itu menyeringai, melanjutkan aksinya dikancing ketiga "Jangan gini gimana?"
Demi Tuhan lelaki ini bahkan belum pernah mencium bibirnya. Clarissa takut Jayden melakukan hal yang membuat ia jatuh tak berharga.
"Setelah kamu jadi isteri aku, kita juga akan melakukan nya." Jayden menunduk mencium lembut pipi kanannya turun kedagu. "Waktu dua Minggu lagi gak lama sayang, kita curi start sekarang harusnya gak masalah kan?"
Masalah bagi Clarissa. Dia seorang wanita yang diajarkan menjaga kehormatan. Ayahnya akan sangat kecewa kalau ia sampai melakukan hal itu sebelum menikah. Lantas dengan air mata menderai ia tahan tangan Jayden yang ingin menyentuh lehernya. "Pernikahan kita benar-benar batal kalau kau sampai melakukannya."
"Cla..."
Saat itulah jiwa Jayden seolah dibawah kembali. Ia mengerjap menelan ludahnya kasar. Membuat Clarissa menangis tidak pernah ada dalam kamus Jayden sementara dalam seminggu ini sudah sering sekali air mata itu jatuh karenanya.
"Aku minta maaf."
Jayden terduduk disebelah Clarissa, napasnya terengah. Dia memang pantas dikatai brengsek, tapi keraguan Clarissa padanya membuat ia hilang akal.
Apalagi kenyataan sang ayah yang ternyata kurang suka dengan sang calon isteri membuat Jayden terus dilanda rasa ketakutan.
Bagaimana kalau ia ternyata tidak berjodoh dengan Clarissa?
Jayden takut. Takut sekali.
***