"Tidak bisakah kamu sekali saja menuruti kemauan papah?"
Jayden mengernyit, langkah kakinya belum sempat ia hentikan saat Chris menyerangnya dengan pertanyaan menyudutkan. Chris bahkan tidak mau repot bertanya tentang keadaannya setelah sekian lama.
Dua tahun bukan waktu yang sebentar, harusnya Chris tahu kesulitan hidup Jayden selama itu.
"Ck! Dia bahkan tidak mengerti cara menyapa dengan baik." Chris mencibir lalu memutar tubuhnya kembali menatap keluar. Mereka sedang berada di balkon, yang menghadapkan langsung dengan kolam renang menyejukkan mata.
Sayang kesejukan itu tidak bisa menghampiri Jayden, karena bara api dikepalanya nyaris meledakan lava panas kemarahan.
Dari awal Jayden menginjak kaki dirumah ini juga sudah bisa merasakan penolakan Chris terhadap Clarissa. Chris bahkan tidak mau menatap Clarissa barang sejenak. Namun sedetikpun tidak pernah Jayden sangkah kalau Chris akan menepikan mereka untuk membicarakan ini.
"Apa mau papah?"
"Masih sama dengan dua tahun yang lalu," balas Chris santai, asap rokok mengepul disekitar mulutnya, "terima perjodohan dengan Erika, dan kamu akan mendapatkan setengah dari saham perusahaan papah."
Memang tidak ada yang berubah, terakhir kali mereka bertemu pun Chris mengatakan hal serupa. Yang menjadi pertanyaan Jayden sekarang, apa Erika setidaklaku itu sampai masih mau saja dijodohkan dengan dirinya setelah dua tahun.
"Kita sudah sering membahas ini."
"Dan kamu belum memutuskan sampai saat ini," Chris menimpali dengan cepat.
"Aku tidak mau," tegas Jayden. Sekarang ia lontarkan kata penolakan itu agar Chris berhenti membuat perjodohan konyol dengan anak temannya.
Clarissa lah yang paling tepat untuk Jayden, jelas tidak bisa ditawar lagi.
Tapi Chris seolah meremehkannya, lelaki paruh baya itu tertawa mengejek saat mematikan puntung rokok. "Demi wanita udik itu?"
"Pah!"
Muka Jayden memerah menahan diri. Namun Chris mengedik acuh, "kamu masih punya dua Minggu lagi untuk berpikir, Jay. Atau kamu tidak akan mendapatkan apa-apa dari papah."
"Papah sendiri tahu, aku masih bisa hidup tanpa bantuan materil papah. Aku bisa berdiri sendiri-"
Namun Jayden harus menelan kembali kalimatnya saat mulut berbisa Chris menyela dengan seringai licik, "kamu tentu tidak ingin kejadian sepuluh tahun lalu terulang kembali kan?"
Jayden bisa saja menjambak rambutnya sendiri jika sedang tidak bersama Clarissa. Kekecewaan nya pada sang ayah hampir berakibat fatal pada hubungannya dengan Clarissa.
"Aku minta maaf."
Lantas bagaimana lagi ia mengungkapkan penyesalannya selain dengan kata maaf yang sudah ia lontarkan sebanyak lima kali.
Terduduk dengan keadaan kacau, namun harus Jayden tekankan isi kepalanya jauh lebih kacau saat ini.
Keinginan memiliki Clarissa ternyata tidak sesederhana kelihatannya. "Aku gak ada maksud-"
Namun isak tangis Clarissa tidak bisa ia biarkan begitu saja. Wanita itu masih dalam posisinya. Bagian atas tubuhnya terbuka, beberapa jejak kuku Jayden masih disana.
"Bisa kamu tinggalin aku?" Setetes air mata kembali jatuh, "aku gak mau lihat kamu hari ini."
Jayden terhenyak, permukaan hatinya seolah ditekan sampai ia tidak memiliki kata apapun untuk diucapkan. Lantas beranjak dari sana, menghormati permintaan sang kekasih. Clarissa mungkin membutuhkan waktu untuk menjernihkan pikiran begitupula dirinya.
Pintunya ia tarik hati-hati. Menatap Clarissa yang masih membatu menatap langit-langit kamar. Semakin membuat Jayden nyilu hingga ia harus memejamkan mata untuk menetralkan rasa itu.
"Semoga kamu gak benci sama aku setelah ini, Cla."
Pintu benar-benar tertutup meninggalkan helaan napas yang kian berat. Bersyukur nya, kedua orang tua Clarissa sudah pergi pagi-pagi sekali jadi Jayden tidak perlu menyiapkan penjelasan apapun ketika bertemu mereka.
Pulang meski sebenarnya masih ingin bersama Clarissa. Keadaan apartemen bak kapal pecah. Serpihan beling berhamburan, hasil dari luapan emosinya semalam. Telapak kakinya akan banyak mendapatkan luka jika tidak menggunakan sepatu.
Niat hati ingin mengantongi ketenangan dengan bertemu sang kekasih ternyata malah mencipta masalah baru.
Terduduk di sofa, saat itu Jayden sadar, televisi pun belum sempat ia matikan sejak semalam. Suaranya keras meredam kegaduhan yang ia ciptakan dikamar agar tidak terdengar keluar.
"Apa yang telah ku lakukan sebenarnya?"
Nyatanya bertanya pada diri sendiri tidak akan pernah mendapat jawaban apapun. Jayden menangkup wajah dengan kedua telapak tangan berakhir menyisir rambut kebelakang frustasi.
"Maaf, Cla. Maafin aku."
Dia memang bukan lelaki kuat jika mengenai Clarissa Smithsonian. Matanya memerah, kubangan kecil terbentuk tanpa harus memakan waktu. "Please jangan benci aku... Aku sayang kamu."
Jangan sampai Clarissa berubah pikiran dan benar-benar membatalkan pernikahan mereka.
Jayden tidak tahu akan seperti apa jadinya tanpa seorang Clarissa dihidupnya. Wanita hangat penuh canda tawa yang akhir-akhir ini tidak memiliki sifat itu. Jayden terlalu bodoh untuk mengetahui Chris sudah mulai masuk mengambil peran.
Chris mengirim orang mengikuti Clarissa, mempengaruhi sampai mengirimkan teror. Semua orang tahu jayden merupakan pria tangguh yang bisa menyingkirkan siapa saja yang menghalangi jalannya, tapi tidak dengan Chris. Jayden selalu kalah jika berhadapan dengan pria tua itu.
Disisi lain Clarissa masih terkejut dengan apa yang baru saja ia alami. Jayden benar-benar berbeda, tatap matanya yang dingin tidak pernah Clarissa dapatkan selama ini. Jadi, mungkin kah yang dikatakan pria itu memang benar adanya?
Bahwa Jayden yang ia pacari delapan bulan terakhir hanya bayangan dari Jayden yang ia temui hari ini.
"Rissa."
Oh ia terlalu banyak melamun sampai Farah menemuinya langsung ke kamar.
"Astaga, udah jam berapa Ris, belum bangun juga."
Wanita kesayangan nya itu duduk disisinya, "Jayden mana?"
"Udah pulang," jawab Clarissa singkat.
"Kok pulang? Padahal ibu udah bilang untuk temenin kamu sebelum ibu sama ayah pulang."
"Lagian ngapain ibu nyuruh dia kesini. Rissa udah biasa sendirian." Padahal ia masih memiliki ketakutan karena ketukan misterius di kaca jendelanya beberapa waktu lalu.
"Untuk jaga-jaga. Biar ada yang melindungi kamu."
Clarissa berdecak pelan, saat membawa tubuhnya bersandar pada kepala ranjang. Farah tidak tahu saja, kalau Jayden bahkan lebih menakutkan dari psikopat.
"Udah ah. Kamu mandi gih, ibu mau masak," kata Farah saat beranjak, "oh iya. Jayden kan tinggal sendiri tuh, kamu ajak aja dia makan siang bareng kita."
"Dia punya banyak uang buk, bisa langsung makan di restoran."
Bukan apa-apa, Clarissa belum mau bertemu Jayden untuk saat ini. Tapi Farah rupanya tidak setuju.
"Makanan restoran itu gak sehat, Ris. Udah cepet telepon."
Ia mendelik saat menjawab, "Iya."
Memang apa yang bisa Clarissa lakukan selain menuruti kemauan sang ibu. Kekasih nya itu memang dekat dengan kedua orang tuanya. Sikap Jayden yang ramah dan manis mencuri hati Jordi dan Farah, maka itu ibunya itu sering meminta Jayden datang kerumah.
***