Zidan tetap menunggu dua pria itu hingga subuh menjelang. Matanya sedikit panas karena menahan kantuk. Ternyata benar, Arga menginap di apartemen Arum. Dia tidak terlihat keluar sejak tadi malam. Sedangkan papanya, sama saja. Entah apa yang dilakukan papanya di dalam sana. Zidan menahan emosinya. Di hidupkannya mesin mobil dan ia pergi begitu saja.
Zidan terus berkendara entah kemana. Ia tidak punya arah dan tujuan. Hanya terus berkendara. Hingga sampailah ia di sebuah rumah sakit di pusat kota. Zidan seperti tidak punya tenaga untuk sekedar berjalan. Hatinya sangat sakit dan hancur mengetahui bahwa papanya tega mengkhianati mamanya yang tengah berbaring di ranjang kesakitan.
Yaps...benar sekali. Zidan sedang mengunjungi rumah sakit dimana mamanya sedang di rawat. Sudah hampir satu tahun, mamanya lumpuh. Itu semua bermula saat kecelakaan yang menimpa mamanya. Hari-hari Zidan selalu ia habiskan di rumah sakit ini, untuk merawat sang mama. Zidan duduk lemah di samping ranjang. Wajahnya ia tekuk, tak tega menatap mamanya yang hanya bisa menatap dan mengedipkan mata.
"Bagaimana kabar mama hari ini?" tanya Zidan meski ia tahu mamanya tidak bakal menjawabnya.
"Mama senang, Zidan kesini?". Mamanya hanya mengangguk lemah.
"Maaf, Zidan datang terlalu pagi ma" ucapnya sambil mengusap lembut telapak tangan mamanya.
"Zidan hari ini ada kuliah hingga malam. Dan akhir-akhir ini Zidan mulai sibuk dengan tugas kuliah ma. Makanya Zidan sempetin ketemu mama pagi ini" ujarnya berbohong.
Mama Ami, mamanya Zidan, hanya bisa menatap sendu anak laki-lakinya itu. Ia bisa merasakan ada kegundahan pada diri Zidan. Namun, ia bisa apa? Raganya terlalu lemah untuk sekedar memberikan pelukan kepada anak semata wayangnya itu. Tidak terasa air mata keluar dari ujung mata sayunya.
Zidan menyadari itu, "Mama kenapa nangis, hemm?" tanyanya lembut.
"Zidan baik-baik saja kok, ma. Zidan masih kuat menahan tugas-tugas kuliah itu. Hehe. Zidan janji bakal lulus tepat waktu. Mama nggak usah khawatir yaa"
"Mama, fokus saja dengan pengobatannya", lanjut Zidan sambil mengusap air mata mamanya.
"Zidan pamit dulu yaa ma. Zidan sudah ada janji bertemu dr. Adi di ruangannya" pamit Zidan. Ia tak kuasa berlama-lama dekat dengan mamanya. Setelah tahu kelakuan busuk papanya. Ia merasa bersalah sebagai anak laki-laki.
Dokter Adi adalah dr. yang menangani mama Ami. Zidan sangat mengenal baik dr. Adi, karena memang ia sering berkonsultasi mengenai kesehatan mamanya.
"Selamat pagi, dok?" sapa Zidan setelah mengetuk dan masuk ke dalam ruang praktik dr. Adi
"Ehh...mas Zidan, di sini toh. Tumben pagi-pagi sudah kesini mas?" tanya dr. Adi ramah.
"Iya, dok. Tadi malam nginep di rumah temen di sekitar sini. Sekalian pagi ini mampir jenguk mama. Hehe"
"Wah..wah...temen apa temen nih mas?"
"Temen, dok. Hehe"
Zidan dan dr. Adi tertawa bersama setelah itu.
"Bagaimana perkembangan mama saya dok?"
dr. Adi mulai menatap Zidan serius. Beliau membuka catatan kesehatan bu Ami.
"Tekanan darah mama kamu sudah mulai stabil, mas. Bu Ami juga sudah mulai terapi untuk sekedar gerakan-gerakan ringan. Mudah-mudahan terus membaik yaa"
"Yang terpenting, untuk sekarang dukungan keluarga sangat dibutuhkan oleh bu Ami mas. Biar semangat jalanin terapinya"
"Saya bakal di samping mama saya terus, dok" ucap Zidan lemah.
"Baguslah kalau gitu, mas Zidan"
"Terimakasih banyak ya, dok. Sudah memperhatikan mama saya"
"Sama-sama mas. Itu sudah menjadi kewajiban saya sebagai seorang dokter" ujar dr. Adi tenang.
"Kalau begitu, saya permisi dulu dok. Saya ada jadwal kuliah pagi ini. Hehe" pamit Zidan sedikit terburu-buru.
"Assalamualaikum" salamnya pada dr. Adi.
"Waalaikumsalam. Hati-hati di jalan mas Zidan"
"Baik dok". Zidan menghilang di balik pintu.
Pukul tujuh tepat, Zidan sampai di rumahnya. Mobil papanya sudah terparkir disana. Berarti papanya sudah pulang. Zidan bergegas masuk dan mencari keberadaan sang papa.
Samar-samar, Zidan mendengar suara seorang perempuan dari ruang tengah. Zidan berjalan ke arah sumber suara tersebut. Terlihat disana papanya sedang duduk berhadapan dengan seorang perempuan yang sedang menangis tersedu-sedu.
"Siapa perempuan itu? Kenapa pagi-pagi sekali sudah ada di rumahnya? Apakah semalam papanya bersama perempuan itu?". Pikiran Zidan terus berkecamuk. Hingga terdengar suara papanya yang sedang memanggilnya.
Papanya sedang berjalan ke arahnya, "Kamu dari mana saja?" tanya pak Brata serius.
"Saya dari rumah sakit, pa. Siapa perempuan itu?" tanya Zidan tak suka.
"Dia klien papa. Kamu nggak usah ikut campur. Kamu nggak kuliah hari ini?"
Zidan mengendus kesal. Ia berusaha menahan emosinya.
"Ini mau siap-siap. Besok lagi jangan bawa klien papa ke rumah. Saya nggak nyaman. Konsultasi bisa di kantor kan. Nggak perlu datang ke rumah juga" ucap Zidan ketus, kemudian pergi ke kamarnya.
"Saya sudah mendapat kekerasan dalam rumah tangga sejak satu tahun yang lalu mas. Suami saya tega memukuli saya dan menendang saya. Saya juga sudah melakukan visum untuk dijadikan barang bukti" perempuan itu bercerita sambil bercucuran air mata.
"Kamu tenang dulu yaa. Jangan menangis"
"Saya hanya ingin melihat suami saya mempertanggungjawabkan apa yang telah dia perbuat atas diri saya mas"
"Saya hanya ingin melihat dia dipenjara". Perempuan itu masih sesegukkan menceritakan kisahnya.
"Emm...saya paham perasaanmu, Santi. Tapi sebelumnya saya minta maaf. Kita bisa melanjutkan pembahasan kita ini di kantor saya saja yaa?" ujar papanya Zidan tegas.
"Saya akan segera memproses kasusmu. Tapi lain kali, jika ada perlu kamu bisa datang ke kantorku. Jangan di rumah"
Perempuan bernama Santi itu hanya bisa mengangguk paham.
"Terimakasih banyak atas bantuanmu mas. Saya nggak tau lagi kemana harus mengadu kalau bukan ke kamu"
"Sama-sama. Kita kan sahabat lama. Sudah sepantasnya saya membantu kamu"
Ternyata perempuan bernama Santi itu adalah teman lama papanya Zidan. Mereka bertemu kembali setelah sekian lama. Santi sedang meminta bantuan hukum atas kasus yang menimpanya. Ia mendapat kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan oleh suaminya sendiri. Yang tak lain dan tak bukan adalah papanya Arga.
Benar sekali. Santi adalah mamanya Arga. Tapi Zidan belum tahu akan kebenaran ini. Jadi, apakah benar papanya Zidan bermain api dengan kliennya itu?
Jika dilihat dari penampilannya, Santi memanglah perempuan yang cantik, modis dan juga seksi. Pakaiannya sedikit terbuka. Ia juga terlihat tertarik dengan papanya Zidan. Bisa dilihat dari tatapan matanya. Tapi apakah papanya Zidan juga tertarik dengan perempuan itu?? Semua ini masih belum bisa dipastikan kebenarannya.
"Saya berangkat kuliah dulu, pa" pamit Zidan ke papanya yang masih di ruang tengah bersama Santi.
"Itu tadi anak kamu mas?" tanya Santi yang hanya mendapat anggukan kepala sebagai jawabannya.
"Makanya kamu jangan sembarangan datang ke rumah ini. Saya sudah katakan berulang kali kan. Kita ketemu di kantor saya saja" ujar papanya Zidan penuh penekanan.
"Maaf mas. Lain kali kita ketemu di apartemenku saja. Bagaimana??" goda Santi sambil mengedipkan sebelah matanya.
-oo0oo-