"Nay.. Udah ngumpulin soal semesteran belum?" tanya Alma saat baru duduk di kursinya.
"Belum Al. Tinggal kartu soal belum selesai," jawab Nayra.
"Kita kumpulin bareng ya Nay."
"Kamu duluan aja Al. Aku belum ngerjain kartu soal sama sekali."
"Tumben. Biasanya kamu rajin Nay."
Belum sempat Nayra menjawab ucapan Alma, bu Dina guru bahasa Inggris memotong pembicaraan mereka.
"Makanya jangan tebar pesona terus sama Pak Ardi bu! Jadi kalau ada kerjaan cepat kelar." Tukas bu Dina dengan wajah tidak suka ke Nayra.
"Tebar pesona? Siapa yang tebar pesona bu Dina?"
"Teman bu Alma lha. Masa saya."
"Maksud bu Dina yang suka tebar pesona itu bu Nayra?"
"Kalau udah tahu ngapain juga pakai nanya. Kasih nasehat itu temannya kerja yang benar jangan sukanya cuma tebar pesona dan gangguin guru cowo aja."
Alma geram mendengar ucapan bu Dina. Nayra menghentikan Alma yang hendak menghampiri bu Dina. Nayra menggelengkan kepala memberi kode Alma untuk tidak melanjutkan langkahnya.Alma kembali duduk dikursinya sedangkan bu Dina keluar dari kantor.
"Nay.. Kenapa kamu larang aku buat labrak dia sih?" Alma emosi dengan Nayra.
"Udah biarin aja Al. Nggak ada gunanya juga ladenin dia." Jawab Nayra santai.
"Ih.. Kamu selalu gitu sama orang, baiknya kebangetan."
"Sabar Al. Bukannya kamu ada jam ya Al. Masuk sana sebelum ada masalah. Aku mau bikin kartu soal."
"Ngusir nih ceritanya?"
"Ya Allah.. Kamu kan emang ada jam Al. Nggak usah kaya anak kecil ngapa sih. Udah tua juga," cibir Nayra.
"Bodo amat." Alma keluar kantor membawa perlengkapan mengajar.
Di kantor hanya ada Nayra dan bu Raina guru Sejarah yang sedang mengoreksi soal. Pak Ardi masuk ke kantor dan menghampiri Nayra.
"Sibuk bu Nay?" tanya Pak Ardi.
"Seperti yang bapak lihat? Bapak tidak ada jam emang? Kok bisa santai?"Nayra basa basi ke Pak Ardi.
"Hari ini saya santai bu. Ngajar cuma tiga jam diawal aja. Bu Nay udah makan siang?"
"Oh.. Pantas. Insha Allah saya puasa pak."
"Maaf bu Nay.. Saya nggak tahu."
"Tidak apa-apa pak."
Bu Dina masuk kantor saat Nayra dan Pak Ardi masih mengobrol. Bu Dina terbakar cemburu melihat keakraban Nayra dan Pak Ardi. Ya. Bu Dina sudah lama menyukai Pak Ardi namun Pak Ardi sama sekali tidak pernah menanggapi perasaan bu Dina.
"Kalau di sekolah itu kerja! Bukan nggosip apalagi berduaan pacaran!" Sarkas bu Dina
"Maaf.. Maksud bu Dina apa ya?" tanya Nayra dengan alis berkerut.
"Nggak usah pura-pura nggak tahu deh. Kerja bukan pacaran."
"Sebentar. Ibu ada masalah apa dengan saya? Dari tadi saya tidak menyinggung ibu tapi ibu selalu menyinggung saya?"
"Nggak usah sok polos jadi orang!"
"Apa masalah ibu dengan saya?" Nayra hampir habis kesabaran menghadapi bu Dina yang setiap hari selalu membuat masalah dengannya.
Bu Dina menjawab ucapan Nayra dengan lirikan mata tajam ke Pak Ardi. "Ok. Sepertinya saya tahu apa masalah bu Dina dengan saya. Perlu saya tegaskan saya dan Pak Ardi tidak ada hubungan apa-apa. Kita hanya murni rekan kerja. Mohon maaf sebelumnya Pak Ardi sepertinya bapak harus menjaga jarak dengan saya daripada nanti menimbulkan masalah." Nayra bangkit dari tempat duduknya membawa laptop ditangan menuju perpustakaan.
Pak Ardi menarik tangan bu Dina keluar dari kantor. Bu Dina tersenyum ketika Pak Ardi menarik tangannya. Pak Ardi membawa bu Dina ke taman belakang sekolah.
"Apa maksud ibu tadi? Apa hak ibu melarang saya berhubungan dengan bu Nayra?" tanya Pak Ardi sedikit menaikan nada bicaranya.
"Saya tidak suka bapak dekat dengan wanita gatal itu!"
"Jaga ucapan ibu! Siapa yang wanita gatal di sini? Bu Nayra apa Ibu?" Pak Ardi sudah tidak bisa menahan emosinya.
"Dari dulu bapak tahu kalau saya suka sama bapak. Tapi bapak tidak pernah menanggapi perasaan saya. Bapak lebih memilih wanita gatal itu daripada saya."
"Jaga mulut anda! Harusnya anda sadar diri kenapa saya tidak menanggapi perasaan anda? Harusnya anda introspeksi diri bukan malah menyalahkan orang lain." Pak Ardi sudah habis kesabaran.
"Pak Ardi akan menyesal dengan apa yang bapak lakukan ke saya. Saya akan melakukan apapun untuk mendapatkan bapak. Termasuk menghancurkan wanita gatal itu."
"Kalau sampai anda menyentuh Nayra sedikit pun maka anda yang akan menyesal. Ingat itu!" Pak Ardi meninggalkan bu Dina kembali ke kantor.
"Awas kamu wanita gatal. Kamu akan menyesal," ucap bu Dina geram.
***
Nayra tengah asyik mengoreksi latihan soal anak-anak diruang tengah sambil menonton televisi saat Devan sampai di rumah. Nayra meletakan pulpen dimeja dan menghampiri Devan.
"Mas.. Mau mandi sekarang apa nanti?" Nayra mencium punggung tangan Devan lalu mengambil jas dan tas kerja Devan.
"Sekarang aja Nay. Biar nanti bisa nyantai." Jawab Devan.
"Iya mas. Aku siapin air dulu mas." Nayra hendak menuju kamar dilantai empat menggunakan lift namun langkahnya berhenti saat Devan memanggilnya.
"Nay.."
"Iya mas."
Cup..
Devan mencium kening Nayra yang seketika mengejutkan Nayra. Nayra membeku mendapat ciuman di kening dari Devan.
"Kita bareng ke kamar Nay," ucap Devan yang langsung menyadarkan Nayra.
"I iya mas." Nayra melangkah bersama dengan Devan kelift menuju kamar mereka.
Nayra menahan senyum dan berusaha menyembunyikan rona merah diwajahnya. Devan yang melihat sikap Nayra hanya tersenyum tipis.
"Mas.. Aku kebawah dulu mau nerusin kerjaan ya." Ucap Nayra setelah Devan selesai mandi dan sholat.
"Bareng aja Nay."
"Iya mas."
Nayra dan Devan berjalan beriringan menuju ruang tengah dilantai satu. Nayra melanjutkan pekerjaannya saat sudah diruang tengah. Devan menonton tv.
"Mas mau minum kopi apa teh?"
"Nggak usah Nay. Kamu lanjutkan aja pekerjaan kamu. Mas mau nemenin kamu."
"Iya mas. Makasih mas."
Devan hanya menganggukan kepala menjawab ucapan Nayra. Devan melirik istrinya yang tengah sibuk mengoreksi. Devan tersenyum simpul tanpa sepengetahuan Nayra saat Nayra merasa kesal akibat salah memasukan nilai yang justru hal itu sangat menggemaskan buat Devan.
"Cantik. Sebenarnya kamu wanita yang sempurna Nay. Maafin aku kamu harus terjerumus ke perjodohan ini Nay. Aku akan berusaha membuka hati untuk kamu Nay." batin Devan.
Nayra menghembuskan nafas panjang. Entah kenapa Nayra benar-benar tidak fokus mengoreksi dan memasukan nilai sore ini.
"Kalau capai istirahat Nay."
"I iya mas. Bentar lagi sambil nunggu sholat maghrib mas."
"Iya Nay."
Setelah makan malam Nayra dan Devan duduk dibalkon kamar dengan dua gelas es green tea di meja.
"Gimana kerjanya hari ini mas?"
"Alhamdulillah.. Lancar. Berkat doa dan semangat kamu Nay."
"Berkat usaha mas juga."
"Kamu gimana di sekolah Nay?"
"Alhamdulillah.. Lancar juga mas."
"Besok malam papa mengundang kita makan malam di rumah Nay?"
"O ya mas. Sudah lama kita nggak ke rumah papa dan ayah ya mas."
"Iya Nay. Nanti kalau nggak sibuk kita kerumah papa dan ayah ya Nay.
"Iya mas."
"Nay.."
"Iya mas. Ada apa?"
"Ini."Devan menyerahkan black card ke Nayra.
"Apa ini mas?"
"Black card."
"Iya mas. Nay juga tahu ini balck card. Maksud Nay ini buat apa mas? Kenapa dikasih ke Nay? Ini kan punya mas,"
"Ini buat kamu Nay. Ini nafkah dari mas Nay. Maafkan mas Nay. Kita hampir satu bulan menikah tapi mas baru kasih nafkah sama kamu sekarang."
"Nggak usah mas. Nayra masih ada uang pegangan."
"Mas nggak menerima penolakan Nay. Uang kamu cukup kamu simpan. Jangan kamu gunakan buat apapun. Kamu pakai uang dari mas buat kebutuhan kamu dan kebutuhan rumah."
"Tapi mas."
"Mas nggak nerima penolakan Nay. Nanti setiap bulan mas akan transfer ke kamu."
"I iya mas. Terima kasih mas. Nay akan pakai kalau Nay perlu mas."
"Kamu bebas mau pakai buat apa aja Nay,"
Nayra dan Devan tidur dengan posisi saling berhadapan. Mereka saling menatap mencoba mendalami perasaan masing-masing melalui pancaran mata. Nayra tersenyum manis saat Devan masih menatapnya. Tanpa Devan sadari hatinya bagai tersengat arus listrik saat netra mereka saling bertatap. Ada perasaan aneh yang belum Devan sadari saat ini.
Tak lama kemudian Devan dan Nayra terlelap ke alam mimpi dengan posisi Devan memeluj Nayra dari samping tanpa mereka sadari.