Sherin membutuhkan waktu yang lama di kamar mandi. Merasa gerah sepanjang hari membuat dirinya berendam air hangat. Itu juga salah satu cara untuk menghindari malam pengantin yang sangat menakutkan untuknya.
Tidak mungkin berendam terlalu lama. Sherin pun memberanikan diri meraih bathrobe yang tergantung. "Sial!" gumam Sherin. Dia merutuki diri sendiri yang lupa membawa pakaian lengkap ke kamar mandi.
Sherin memberanikan diri keluar dari kamar mandi. Setidaknya bathrobe tebal mampu menutupi tubuh polosnya. "Ternyata dia sudah tidur." Sherin bernapas lega. Pria yang sudah menjadi suaminya tidur dengan menopang lengan di atas kening.
Sherin menuju koper. Mengambil setelan piyama untuk dikenakan malam hari ini. Beruntung Edzhar tahu diri. Pria itu tidak mengambil hak tidur di atas ranjang. Usai mengeringkan rambut, Sherin naik ke atas ranjang.
"Kenapa dia nggak menyalakan AC? Ini sangat panas," pikir Sherin. Dia meraih remot di atas nakas dan menyalakan pendingin ruangan. Sherin bernapas lega. Panas berganti dengan sejuk. Sherin menarik selimut untuk menutupi tubuhnya hingga leher.
"Tunggu sebentar!" Sherin melihat selimutnya. Jika dia menyalakan AC, maka ruangan pasti dingin. Bagaimana jika Edzhar menggigil dan esok hari pria itu sakit?
Sherin duduk dan melihat ke sofa. Memang benar. Lengan Ed yang tadinya bertumpu di kening, sekarang berpindah. Kedua paha mengapit tangan sembari tidur dengan posisi meringkuk.
"Aku nggak bisa tidur tanpa AC. Tapi kalau pakai AC, dia akan kedinginan." Sherin berpikir keras. Dia pun beranjak dari ranjang. Ingin meminta pihak hotel mengantar selimut, Sherin takut ketahuan. Itu akan sangat mencurigakan. Pengantin baru tidur di bawah selimut yang berbeda.
Sherin duduk di tepi sofa dan mengguncang bahu Ed. "Ada apa, She? Apa kamu membutuhkan sesuatu?" tanya Ed setelah kelopak matanya berhasil terlepas.
"Kenapa tidur di sini? selimut hanya ada satu. Lebih baik tidur bersama aku di ranjang. Selama kamu nggak bertindak macam-macam, aku nggak akan mempermasalahkannya."
"Kamu mau berbagi ranjang denganku? Kebetulan tidur di sofa membuat tubuhku terasa pegal." Edzhar bangkit dan merangkak naik ke ranjang.
Mata Sherin membeliak tatkala Edzhar membuka kaosnya. Pria itu bertelanjang dada membuat Sherin tidak fokus. "Kenapa kamu membuka baju?" tanya Sherin galak. Dia hanya ingin berbagi ranjang. Tidak untuk yang lain.
"Aku nggak terbiasa tidur memakai baju," sahut Ed cuek. Dia merapikan bantal dan berbaring dengan posisi menyamping.
Sherin menahan kesal. Dia yang mengajak tidur di ranjang yang sama. Wanita itu pun harus menerima resikonya. Sherin mengambil guling dan menjadikannya pembatas. "Awas kalau kamu sampai melewati batas!" ancam Sherin membuat Edzhar tertawa dan memunggunginya.
"Hmmm. Aku bukan pria seperti itu. Aku nggak akan menyentuh wanita jika dia nggak merasa nyaman. Sekalipun perempuan itu adalah istriku."
Jam terus berjalan. Malam semakin larut. Guling yang memisahkan tubuh Sherin dan Edzhar sudah tidak tahu di mana. Wanita itu mulai kedinginan karena hanya kebagian sedikit selimut. Tanpa sadar dia mencari kehangatan dan mendesak tubuh Ed. Laki-laki itu pun melakukan hal yang sama. Dia memeluk Sherin karena berpikir tubuh istrinya itu adalah guling.
***
Sherin merasakan tidur yang sangat nyenyak. Dia ingin membuka mata, namun masih enggan. Kepala Sherin masih nyaman saat bersandar di dada bidang milik Edzhar. Tangannya meraba perut yang berbentuk roti sobek. "Apa ini?" pikir Sherin. Dia pun memaksakan diri untuk membuka mata.
"Aaaa!!!" Sherin berteriak saat sadar tangannya memeluk tubuh Ed. Tentu saja suaranya memekakkan telinga Ed. Pria itu bangun dan membekap mulut sang istri.
"Baru menikah satu hari denganmu, telingaku sudah sakit sekali. Kamu selalu saja berteriak," kesal Ed sebelum melepas bekapannya dari mulut Sherin. "Ada apa? kenapa kamu berteriak?"
Tidak menjawab, Sherin justru melihat tubuhnya sendiri. Piyama yang dia pakai tadi malam masih menutupi tubuhnya. "Kita nggak melakukan apa-apa, kan? kamu nggak bertindak macam-macam, kan?" Sherin meneliti wajah Ed. Mencari kebanaran apakah pria itu mengambil kesempatan dalam kesempitan.
Jari telunjuk Edzhar mendorong kening Sherin. "Pikiranmu terlalu jorok. Itu sebabnya kamu menuduhku seperti itu. Aku terlalu lelah. Nggak kepikiran untuk menyentuhmu. Lebih baik kamu mandi sana! Aku masih mengantuk. Mau tidur lagi," tukas Edzhar. Dia menarik selimut hendak memejamkan mata kembali.
"Aku sangat lapar, Ed. Kemarin aku dan kamu nggak makan malam." Sherin merengek. Penghuni di perut sudah memberontak sejak tadi.
"Ya ampun! Kemarin kamu hanya memakan dua potong kue saja." Rasa kantuk Ed mendadak hilang. Dia meraih telepon yang ada di atas nakas. Meminta pihak restoran untuk mengantarkan makanan. "Aku sampai lupa kalau kamu belum makan sejak kemarin," panik Ed membuat Sherin bertanya-tanya.
"Apa Ed sudah mulai mencintaiku? Dia sangat panik, padahal ini hanya masalah sederhana saja." Sherin bermonolog dalam hati.
"Mandilah! Sebentar lagi sarapan akan diantar. Jangan memakai piyama seperti itu di depan orang lain," ucap Ed sembari melihat celana pendek yang menunjukkan setengah paha Sherin yang mulus.
Sherin salah tingkah saat tahu ke mana mata Ed melihat. "Aku mandi sekarang," sahut Sherin. Dia berjalan menuju koper. Tidak mau mengulangi kesalahan yang sama, Sherin mengambil pakaian dalam, hot pant, dan satu tank top.
"Kenapa pakaianku minim semua? Kalau Ed sampai tergoda bagaimana?" Sherin membalikkan badan. Dia melihat suaminya masih bermalas-malasan di atas ranjang. Mata Sherin mengarah pada koper milik Edzhar. Dia pun membuka dan mencari baju. Lebih baik memakai pakaian besar daripada menunjukkan lekukan buah dadanya di depan Edzhar.
Edzhar melihat apa yang dilakukan Sherin. Laki-laki itu tersenyum simpul dan membiarkan istrinya melakukan apa pun yang disuka. Sherin mandi dan tidak butuh waktu lama dia keluar. Hot pant yang dipakaianya pun tertutupi oleh kaos milik Edzhar.
"Kamu terlihat cocok memakai bajuku," ucap Edzhar. Mengejek atau memuji, Sherin pun tidak tahu.
"Hmmm. Apa sarapannya sudah datang?" tanya Sherin. Dia duduk di kursi meja rias. Ingin memberikan serum ke kulit wajahnya.
Belum mendapatkan jawaban, bell pintu kamar berbunyi. Edzhar bangun dari ranjang. Bisa ditebak jika itu adalah pegawai hotel yang membawakan sarapan.
"Kenapa gelasnya ada tiga?" tanya Ed mengernyitkan kening. Dia melihat nampan berisi makanan dan tiga gelas berisi minuman.
"Yang satunya dari Tuan Lynch. Katanya minuman ini penambah stamina. Tuan Ed harus menghabiskannya. Tuan Lynch berpesan untuk nggak keluar kamar. Pengantin baru pasti butuh banyak istirahat," jelas staff hotel sambil tersenyum. Pikirannya sudah berjelajah ke mana-mana.
"Biar saya saja yang membawa ke dalam." Ed meraih nampan dan menyuruh orang itu pergi.
"Untuk apa memberikan minuman penambah stamina? Sherin saja nggak mau disentuh," gumam Ed. Dia akan membuang minuman tersebut ke wastafel. Sherin pasti tidak akan senang melihatnya.
Sama dengan Edzhar, Sherin juga mempertanyakan satu gelas dengan minuman yang berbeda. "Ini minuman apa?" tanyanya. Ingin meraih, namun Ed langsung merampas.
"Ini nggak layak untuk diminum. Aku buang saja!" Edzhar menuju kamar mandi dan diikuti oleh Sherin.
"Kenapa dibuang? Minumannya terlihat enak," tanya Sherin saat cairan itu sudah terbuang di washtafel.
"Jika aku meminumnya, maka di perutmu akan ada bayi. Memangnya kamu mau hamil dalam waktu dekat?" Pertanyaan Ed membuat Sherin reflek memegang perutnya yang masih rata.