Hari yang sudah dipersiapkan secara matang akan segera tiba. Sherin dan Lynch sudah berangkat ke Bali terlebih dahulu. Banyak hal yang harus dipersiapkan.
"Kamu pasti bersedih karena Ed nggak berangkat bersama kita, kan?" ejek Lynch. Dia menarik tangan Sherin dan meletakkan di atas kedua pahanya. Ayah dan anak itu sedang melakukan perjalanan dari bandara ke hotel.
"Biasa saja, Pa. Ed sudah bilang kalau ada pekerjaan yang harus dia selesaikan. Mungkin pernikahan ini nggak spesial buat Ed. Itu sebabnya dia masih sibuk di kantor."
Salah satu tangan Lynch mengusap kepala Sherin. "Anakku sudah dewasa sekarang. Sebentar lagi akan menikah. Sekarang sedang marah karena calon suaminya masih ada di Jakarta."
"Siapa yang marah? Aku biasa saja, Pa. Daripada aku yang harus mengurus perusahaan, aku rasa Ed orang yang paling tepat."
"Ohhh… Papa tahu sekarang. Kamu mau menikah dengan Ed hanya untuk memanfaatkannya ya?" Lynch hanya bercanda, namun sukses membuat putrinya kesal.
"Siapa yang ingin memanfaatkan Ed? Aku sudah berjanji pada calon suamiku. Setelah menikah nanti, aku akan belajar banyak supaya bisa memimpin perusahaan." Sherin tidak menerima begitu saja tuduhan sang ayah, meskipun perkataan Lynch tidak sepenuhnya salah.
"Bagus kalau begitu. Memangnya kamu nggak akan malu kalau sampai orang tahu suamimu adalah bawahanmu?" Satu pertanyaan ujian yang sulit dijawab oleh Sherin. Dia belum memikirkan sampai sejauh itu. Meskipun Edzhar bersama dengannya sejak kecil, tetap saja laki-laki itu hanyalah anak dari seorang sopir.
"Kita sudah sampai, Tuan." Sopir yang mengemudi memberitahu.
"Sudah sampai, ya?" ulang Sherin. Laporan dari sopir menyelamatkannya dari interogasi dadakan yang dilakukan oleh Lynch.
Sherin melemparkan tas jinjing yang dia bawa ke atas sofa. Wanita itu pun langsung membersihkan diri ke kamar mandi. Badannya terasa lengket setelah melakukan perjalanan dari ibu kota ke Denpasar.
***
Malam harinya, Lynch dan Sherin sedang makan malam bersama. Seharusnya Edzhar sudah sampai, tetapi batang hidung laki-laki tersebut belum muncul juga.
"Tu-Tuan," salah seorang bawahan Lynch mendekat dengan wajah pucat dan kalimat yang terbata.
"Ada apa?" tanya Lynch cepat.
"Tuan harus mendengar berita sekarang juga!"
"Berita?"
Bawahan Lynch langsung memberikan benda pipih miliknya. Sebuah kecelakaan pesawat ditayangkan di sana. "Nomor pesawat ini sama dengan yang ada di tiket Tuan Edzhar."
"A-apa?" Lynch dan Sherin terkesiap. Pantas saja Edzhar belum sampai di hotel. "Kamu yakin kalau ini pesawat yang sama?" tanya Lynch memastikan.
"Semua sudah saya cek, Tuan. Nomor pesawat dan waktu keberangkatan sama persis."
"Nggak mungkin!" teriak Sherin tiba-tiba. "Mana mungkin Edzhar kecelakaan. Ini mustahil!" Sherin memang sangat membenci laki-laki itu. Tetapi ditinggal calon suami tetap saja menyakitkan.
"Sherin, tenang dulu! Papa akan menyuruh orang untuk memastikannya."
***
Lynch meminta salah satu pegawai hotel mengawasi Sherin di depan kamar. Pria paru baya itu akan mencari tahu semuanya. Sementara di dalam kamar, Sherin meringkuk sambil memandangi layar ponselnya.
"Ini nggak mungkin! Apa Tuhan menghukumku karena aku sangat membenci Ed? Apa keputusanku menikah dengannya salah? Seandainya malam itu kami nggak melakukan kesalahan, pasti Ed baik-baik saja sekarang."
Sherin menguatkan hati untuk menghubungi Edzhar, tetapi nomor ponsel calon suaminya itu tidak aktif. "Apa mungkin?" pikiran Sherin sudah melayang ke mana-mana. Dia langsung menghubungi Lynch, namun ayahnya itu tak kunjung menjawab.
"Aku nggak bisa berdiam diri saja di sini. Aku harus mencari tahu semuanya."
***
Sherin mengambil tas jinjing dan menggantungkan benda itu di bahunya. "Nona mau ke mana?" orang yang diminta Lynch berjaga di depan pintu bertanya.
"Aku nggak bisa di sini terus. Aku harus mencari tahu.."
"Tuan meminta Anda istirahat di kamar saja."
"Bagaimana aku bisa istirahat, hah?" suara Sherin menjadi tinggi. Dia memang membenci Edzhar, tetapi tidak terima jika cara meninggalnya laki-laki itu dalam kecelakaan yang tragis.
"Biar saya antarkan Nona saja."
Di tengah perjalanan, mobil yang ditumpangi Sherin berpapasan dengan Lynch. Ayahnya itu sudah mendapat informasi yang lengkap. Petugas sudah memastikan jika Edzhar adalah salah satu penumpang di pesawat yang mengalami ledakan besar saat sedang terbang di udara.
"Tuan," panggil asisten Lynch. Dia tahu atasanya tersebut tergoncang. Edzhar bukan sekadar anak sopir bagi Lynch. Anak asuhnya tersebut sudah disayang seperti anak kandung sendiri. Semenjak kakak pertama Sherin meninggal, Edzhar lah yang menemani hari-harinya Lynch.
"Kenapa harus Ed yang mengalami ini semua? Dia akan menikah. Apa kamu tahu? aku orang yang paling berbahagia ketika dia akan menikahi Sherin. Aku senang karena statusnya bukan sebagai anak asuh lagi. Dia akan menjadi menantuku. Tetapi kenapa sekarang…." Lynch tidak sanggub menerima kenyataan yang ada. Laki-laki itu mendadak sesak napas.
"Tuan! Tuan!" teriak asistennya. "Pak, tolong ke rumah sakit sekarang!" perintah laki-laki itu kepada sopir hotel yang sedang mengemudi.
***
Sherin berjalan dengan langkah yang sangat berat. Petugas yang bekerja di bandara sudah memberi konfirmasi tentang kebenaran pesawat tersebut. Sebelumnya Sherin meminta orang kantor untuk mengirimkan e-ticket yang dipesan khusus bagi Edzhar. Tidak diragukan lagi. Calon suaminya adalah salah satu penumpang.
"Selama ini aku selalu membencinya. Aku menganggab kalau kasih sayang Papa telah direbut olehnya. Mama dan kakakku juga sangat percaya padanya. Apa aku harus membiarkan dia pergi seperti ini? selama ini Ed nggak pernah jahat. Dia selalu sabar sekalipun aku menganggab dia sebagai pembunuh mama. Sampai kapan pun aku nggak akan pernah suka padanya. Tapi, apa harus dengan cara seperti ini dia akan meninggal."
Sherin duduk di sebuah kursi. Dia mengusap perutnya yang rata. Setelah diperiksa, dia memang tidak hamil. Tetapi Sherin sempat memikirkan jika akan hamil anak dari Edzhar. Pernikahan yang mereka rencanakan bukan permainan atau sekadar nikah kontrak. Edzhar dan Sherin sepakat untuk melakukannya.
"Nona, sebaiknya kita pulang saja sekarang. Tuan pasti mencemaskan Anda."
Baru saja berdiri, Sherin mendapatkan panggilan dari asisten ayahnya. "Ada apa?" tanyanya malas. Tenaganya sudah terkuras tatkala memikirkan nasibnya. Lebih sakit ditinggal meninggal daripada menikah. Mungkin itulah yang Sherin rasakan saat ini.
"Papa masuk rumah sakit?" serunya.
Bagai jatuh, tertimpa tangga, ditusuk ribuan jarum, hati Sherin sangat sakit. Untuk melangkah saja kedua kakinya tidak sanggub.
"A-aku nggak bisa," ucap Sherin. Dia benar-benar kesulitan menggerakkan kedua kakinya. Terlalu terkejut membuat tubuhnya juga berespon.
"Nona, ponselnya berbunyi." Petugas hotel sekaligus bawahannya memberitahu. Sherin tidak merespon. Lidahnya membeku walau hanya untuk berbicara.
"Sebaiknya Nona duduk saja. Maaf jika saya lancang untuk mengangkat ponsel Anda." Setelah memastikan Sherin sudah duduk dengan nyaman, pria tersebut merogoh tas Sherin dan mengambil ponsel yang ada di dalam. "Pria gila," gumamnya saat membaca nama pemanggil di layar ponsel Sherin.
"Pria gila?" lidah Sherin bergumam saat telinganya mendengar ucapan laki-laki yang duduk di dekatnya. "Berikan padaku!" Sherin merebut ponsel miliknya dan langsung menerima panggilan yang masuk.
"Ha-halo," ucap Sherin terbata. Jantungnya berpacu begitu cepat. Dia mengenal suara yang menyahut dari seberang sana.