"Menikahlah dengan Citra. Hanya itu satu-satunya yang bisa kamu lakukan untuk menebus semuanya dan membuat gadis itu kembali bersemangat menjalani hidupnya." Tegas, Taksa berkata yakin dengan sarannya.
"Apa?" Meskipun Saka juga sempet berpikir demikian, namun dia tidak menyangka jika Taksa pun memiliki ide yang sama dengannya. Hanya saja, Saka masih ragu. Mungkinkah dirinya bisa hidup bersama dalam satu atap dengan orang yang paling dia benci? Mengingat apa yang dilakukan oleh gadis itu, seharusnya Saka tidak masalah.
"Iya, kamu harus menikahinya dan buang kebencian yang ada di hatimu itu. Lagi pula, rasa benci yang terlanjur terpatri di hatimu itu belum tentu kebenarannya. Kamu hanya mendengar dari versi Mamamu saja belum menyelidiki semuanya. Bagaimana jika kamu salah sasaran atau Mamamu yang salah paham?"
Saka menggeleng tegas. "Tidak. Mama benar dan aku tahu itu. Aku bahkan pernah menemukan surat usang di tempat rahasianya."
Taksa memijat pelipis, memang susah merubah pendapat seorang Saka. Dia termasuk orang yang tidak mudah goyah atas apa yang sudah diyakininya meskipun belum tentu tau kebenarannya jika menyangkut orang tersayang. Memang selama ini, Saka tidak pernah bertindak apapun demi dendamnya. Akan tetapi, membiarkan Citra tersakiti terus menerus dan dipermalukan sedemikian semasa kuliah sungguh bukan perkara mudah untuk ukuran wanita yang sensitive seperti Citra.
"Lalu apa yang akan kamu lakukan demi membalas kebaikan Citra? Apa kamu akan lepaskan begitu saja setelah mengetahui semuanya? Kenapa kamu tidak hilangkan saja kebencianmu pada gadis malang itu. Ada pun rasa ketidak sukaanmu sekarang tidak berpengaruh sama sekali, toh orang yang bersangkutan sudah meninggal, bukan? Dan itu sudah menjadi hukuman buat gadis itu sendiri." Taksa masih tidak habis pikir, untuk sosok pria pandai—Saka tidak bisa berpikir jernih jika menyangkut tentang keluarganya. Dirinya selalu saja dikendalikan oleh sang Mama.
Entah benar atau tidak saran Taksa ini. dia berharap bisa memberi kebahagiaan untuk Citra karena memang Citra pantas mendapatkannya. "Ku harap kamu bisa mengambil keputusan yang bijak." Final, akhirnya Taksa tetap memasrahkan keputusan sepenuhnya pada Saka.
"Aku akan memikirkannya," putus Saka.
"Semoga kabar baik nanti terdengar di telingaku darimu."
**
Citra masih sesegukan di ruang tamu. Dia mengingat perjalanan cintanya selama ini yang bertepuk sebelah tangan. Meskipun sudah ditolak berkali-kali, nyatanya cinta itu tidak pernah pudar sekali pun. "Kamu kenapa, Cit?" tanya sang Nenek baru saja masuk rumah.
"Nenek!" Citra terkejut akan kedatangan Neneknya yang tiba-tiba.
"Citra tidak apa-apa, Nek? Nenek baru pulang?" tanya Citra sembari mengusap air mata cepat-cepat.
"Siapa yang baru saja datang? Apakah itu yang membuatmu menangis." Kembali sang Nenek bertanya saat melihat cucu kesayangannya itu terlihat begitu sedih.
"Dia, dia datang, Nek." Kening Nenek Citra mengernyit.
"Siapa?"
"Pria itu. Pria yang menjadi cinta matiku, Nek. Kehadiran dia membuatku tak kuasa menahan tangis karena rinduku yang mendalam."
Sang Nenek mengambil posisi duduk di samping cucunya, lalu meraih jemari Citra yang ada pada pegangan kursi roda Citra. "Saran Nenek, sebelum terlambat, buanglah cintamu itu jauh-jauh. Hapus semua rasa untuknya. Nenek tidak ingin melihatmu sedih terus-terusan. Sakit hati terus menerus. Hanya kamu yang Nenek punya, jika kamu bersikap seperti ini terus, bagaimana Nenek bisa meninggalkanmu suatu hari nanti? Kamu harus melupakan cowok itu."
"Kenapa Nenek berkata seperti ini? Aku ingin selalu bersama Nenek, jangan tinggalkan Citra, Nek," mohon Citra sendu.
"Umur tidak ada yang tahu, Citra. Apa lagi di usia Nenek yang sudah tua ini, sudah bisa dipastikan dekat dengan kematian. Tapi sebelumnya, Nenek hanya ingin melihat cucu nenek bahagia terlebih dahulu. Oleh sebab itu, bukalah hatimu untuk lelaki lain. Nenek yakin, kamu akan menemukan cinta sejati selain dia."
"Doakan saja, Nek. Citra pun inginnya begitu, tapi semua tidaklah mudah."
Sang Nenek mengelus surai Citra lembut. "Pelan-pelan cucuku sayang. Kamu pasti bisa." Citra tersenyum, meski sedikit kesulitan, Citra tetap meraih pelukan sang Nenek. "Terima kasih banyak, Nek. Citra tidak tahu bagaimana jadinya Citra menjalani hidup ini dengan segala kekurangan yang Citra miliki sekarang tanpa kehadiran Nenek di sisi Citra. Nenek yang terbaik." Citra mencium pipi keriput sang Nenek.
"Sudah… sudah, lebih baik kamu istirahat sekarang. Nenek mau masak dulu, karena tadi Nenek tidak sempat masak. Kamu sudah makan belum?" Citra mengangguk. "Sudah, Nek. Tadi Citra menggoreng telur sendiri untuk sarapan."
Sungguh malang nasib yang menimpa cucunya. Karena keterbatasannya membuat Citra tidak bisa melakukan sesuatu dengan bebas. Beruntung, Citra adalah sosok gadis yang selalu berpikir positif dan baik. Sehingga, apa pun yang menimpa dirinya, tidak sama sekali menyalahkan takdir. Gadis itu menerima semuanya sesuai ketetapan Tuhan.
**
Malam ini, Saka masih terjaga dari tidurnya. Banyak hal yang tengah dia pikirkan. Keputusan apa yang harus dia ambil untuk menebus pengorbanan Citra untuknya. "Seandainya aku menikah dengan Citra, apakah Mama merestui pernikahan kami? Bisakah aku melewati hari-hariku bersamanya dalam satu atap. Selain aku memang tidak mencintainya, aku pun begitu benci gadis itu." Seketika ucapan Saka terhenti.
Kenapa dadanya merespon lain? Sebelumnya, setiap mengingat wajah orang itu saja—hatinya menunjukkan ada gejolak besar yang membuatnya muak bahkan sekedar menyebut nama. Saka bukan tipe pria yang langsung balas dendam jika membenci seseorang. Meskipun dia sedikit berdarah dingin, karena selalu membantu temannya melumpuhkan para musuh, serta tak segan-segan membunuh—Saka tidak sembarangan melukai orang lain. Dan Citra tentu tahu bagaimana Saka begitu kesal dan marah setiap dia menaruh perhatian kepada lelaki itu.
Tidak ada yang salah dengan sikap Citra padanya. Dia hanya seorang gadis yang berusaha mendapatkan cinta dari sosok pria impian. Sama seperti halnya wanita pada umumnya. Namun lagi-lagi, masa lalu menjadi penghalang besar agar Saka tetap menjaga hati dan sikap dari gadis itu. Maka tak ubah, setiap Citra mengutarakan perasaannya hanya akan ada caci maki serta hinaan semata. Ya, cukup dengan itu saja. Saka tidak ingin melukai fisik atau melakukan hal-hal yang berakibat fatal. Saka tidak sejahat itu meskipun pada kenyataannya dia begitu terluka akibat perbuatan dari orang terkasih Citra.
Saka melirik kearah jam dinding, ternyata sudah menunjukkan pukul dua malam. Bahkan sampai detik ini, Saka masih belum bisa memikirkan keputusan final untuk Citra. Saka mengambil gawai di atas nakas lalu melakukan panggilan terhadap dua sahabatnya yang lain. Tentu saja, Novan dan Dino. Menurutnya mereka lebih bijak dari pada Taksa. Baginya sebuah pernikahan bukanlah mainan belaka. Dia harus memikirkan matang-matang. Dia tidak ingin menyesali dikemudian hari.
"Hallo, bisa kita bertemu besok di café mawar?"