Saka sangat yakin, bila Citra sudah sembuh, gadis itu pasti akan mendapatkan apa yang dia mau setelahnya. Kebahagiaan akan datang dengan sendirinya walau bukan dari Saka. Ya, dan setelah itu semua dilalui, Saka tentu akan melanjutkan hidupnya dengan orang yang mungkin akan dia cintai dan menjadi pendamping sejatinya sampi tua nanti.
Yang jelas, sampai mati dia tidak akan pernah mau memberikan sebagian hati untuk Citra. Mungkin terdengar tidak adil bagi orang lain tapi tidak dengan Saka, bagi Saka itu cukup adil mengingat bagaimana menderitanya dia dan orang terkasihnya di masa lalu.
Hari sudah gelap, mungkin efek obat membuat Citra tidur lebih panjang dari biasanya. Perlahan mata indah itu terbuka sempurna, menatap sekeliling dan masih dalam nuansa yang sama. Kamarnya. Citra berusaha bangkit untuk duduk. Kepalanya melihat ke samping, ternyata kursi rodanya berada cukup jauh dari ranjangnya.
Diliriknya jam yang bertengger di dinding, ternyata sudah menunjukkan pukul enam sore. Suara adzan terdengar menggema. Ingin sekali dia turun dan mengambil air wudhu, rasa menyesal meliputi hati karena melewati shalat dhuhur juga ashar. "Bagaimana aku bisa turun? Jauh sekali kursi itu." Bukan Citra namanya yang mengenal kalah, dengan tangan satu yang sehat, Citra menurunkan kakinya satu per satu.
Susah payah Citra mencoba untuk menggapai benda berharga dalam membantunya berjalan. "Ya Allah, kenapa susah sekali sih?" masih terus saja mencoba walau dia sendiri tahu itu hal percuma, namun dia tak pantang menyerah. Nyaris saja terjatuh bila tidak ada seseorang yang menangkapnya.
"Apa yang kamu lakukan?" Suara yang sangat dikenali oleh Citra. Saka.
Citra mengernyit, bagaimana mungkin lelaki ini masih di rumahnya? Apa dia tidak merasa jijik dengan kondisi rumah sederhananya? Citra tahu betul bahwa Saka orang berada, seorang CEO Bar cukup terkenal di kotanya. Dan jika tidak salah, Saka pun akan melebarkan dunia bisnisnya dengan membuka sebuah restaurant western di pusat kota tak jauh dari Bar milik lelaki tersebut.
"Kenapa kamu masih ada di sini? Kenapa tidak pulang?" Tanya Citra heran.
"Apa aku tidak boleh tinggal sebentar di rumah calon istri sendiri?" Jawab Saka tengil.
"Siapa yang mau menikah denganmu. Pergilah, aku tidak akan menikah sama orang yang tidak mencintaiku."
"Bagaimana kalau aku bilang aku mencintaimu?" Ucapan Saka membuat Citra melotot tidak percaya.
"Jangan ngaco, aku tidak buta atas kebencianmu padaku. Akan jauh lebih baik kalau kamu menjauh dariku. Kamu tidak akan merasa terbebani dengan hidupku. Jangan mengasihaniku, aku tidak suka itu."
"Aku memang mulai jatuh cinta padamu." Kembali, Citra dibuat heran atas sikap Saka. Bahkan baru kemarin dia memaki Citra, tapi sekarang? Ungkapan cinta dia terima. Lalu mana mungkin Citra bisa percaya?
"Minggir, aku ingin bangun!" seru Citra mengusir Saka.
"Bagaimana kamu mau bangun sendiri, sedangkan menggerakkan kaki saja kesulitan."
Citra menatap kesal, perkataan Saka sungguh keterlaluan. Sudah tahu gadis di depannya ini cacat, masih saja memperjelas keadaan. "Pergilah!" seru Citra sembari mendorong tubuh Saka, namun hanya bergeming. Dengan sisa tenaga Citra yang sudah lemah, tidak mampu menggoyangkan badan pria tegap tersebut.
Bukannya menuruti, Saka langsung menggendong tubuh lemah Citra dan mendudukkannya di atas kursi roda. "Tidak perlu gengsi untuk meminta tolong, sadarilah jika kamu memang tidak bisa hidup sendiri. Mulai sekarang, aku akan tinggal di rumah milik Taksa, itu akan mempermudah aku merawatmu."
"Untuk apa kamu sampai melakukan itu semua? Aku sangat yakin kalau kamu pasti terpaksa melakukannya."
"Tidak perlu mendebat ucapanku. Apa yang aku katakan barusan akan aku buktikan. Aku ingin menikahimu secara sadar tanpa ada paksaan. Serta tulus ingin merawatmu. Percaya padaku, aku akan berusaha menjadi pendamping yang baik bagimu. Jangan membantah dan turuti saja perkataanku. Kamu itu membutuhkanku sebagai pelindung dan penjagamu. Aku harap kamu bisa paham." Saka berbalik hendak meninggalkan gadis keras kepala ini, baru beberapa langkah, Saka menghentikan kakinya. Rasanya tidak tega meninggalkan seorang wanita yang tengah kesulitan.
"Kamu ingin pergi kemana?"
"Ke kamar mandi," jawab Citra malas.
Lagi, tanpa terduga oleh Citra, Saka kembali menggendong gadis itu dan membawa masuk ke ruang kecil berukuran 2x2 meter. "Kamu ingin mandi atau buang air kecil?" Mendapatkan pertanyaan itu, Citra hanya diam.
Satu menit menunggu tidak mendapat jawaban, Saka pun kembali bertanya. "Kamu ingin mandi atau buang hajat?"
Malu sekali rasanya mendengar pertanyaan dari lawan jenis seperti itu, sedangkan Saka belum sah menjadi imam baginya. "Kalau kamu diam saja, bagaimana aku tahu kamu mau apa?" geram sudah Saka sama kediaman Citra.
"Kamu keluarlah, aku bisa sendiri," tolak Citra.
"Dari tadi bisa sendiri bisa sendiri, nyatanya apa? Ingat, aku ini calon suamimu. Jika sudah resmi, aku akan melihat apa yang menempel di tubuhmu. Jadi tidak perlu malu lagi." Fulgar sekali kata-kata yang keluar dari mulut lelaki itu.
"Kan masih calon, belum juga sah," sungut gadis bermata bulat itu.
"Apa bedanya? Sekarang kamu sudah membutuhkan aku. Sudahlah, jangan banyak drama. Mau kamu, apa?"
"Aku ingin… buang air kecil lalu berwudhu." Saka mengangguk lalu membuka tutup closet setelah membantu Citra berdiri.
"Aku tunggu di luar. Jika sudah selesai jangan lupa memanggilku," titah Saka.
"Iya." Saka keluar dan menutup pintu kamar mandi. Di luar, pria itu meraup wajahnya. "Apa yang terjadi padaku? Kenapa aku begitu ingin membantunya? Bahkan sampai masuk ke kamar mandi." Kepalanya menggeleng cepat lalu duduk di kasur berukuran kecil di sisi ruangan berbeda.
"Kak Saka…." Suara lirih terdengar dari kamar mandi. Saka yang memang menunggu Citra langsung berdiri dan menghampirinya.
"Sudah?" Citra mengangguk. Tak menunggu waktu lama, Saka mendorong kursi roda mendekati Citra. Walau susah, akhirnya Citra bisa duduk seperti tadi. Saka membawanya keluar kamar mandi.
"Boleh aku minta tolong, Kak?" Saka terdiam menunggu kelanjutan suara Citra.
"Tolong ambilkan mukena di dalam lemari itu." Saka mendekat ke almari mengambil apa yang diminta oleh Citra.
"Ini."
"Terima kasih," ucap Citra sembari menerima kain yang dipegang oleh Saka.
"Kalau begitu aku keluar dulu." Citra mengangguk, Saka pun berlalu begitu saja.
Setelah kepergian Saka dari kamarnya, berulang kali Citra mengatur nafasnya yang berdegup kencang. Sejak kulitnya bersentuhan dengan kulit Saka, Citra merasakan sesuatu yang sedari dulu berusaha dia hilangkan. Tapi nyatanya, sampai sekarang rasa itu masih ada dan setia menempati urutan kedua setelah Tuhan.
"Padahal satu tahun itu cukup lama, tapi kenapa aku masih tetap mencintainya? Ya Allah, kenapa Engkau tidak menghilangkan cinta ini dari hatiku? Aku takut kecewa, aku takut sakit hati. Meskipun dia bilang akan menikahiku, entah mengapa aku ragu menerimanya."