Chereads / History Of Melofranist / Chapter 9 - Chapter 8 - Kutukan Jiwa (2)

Chapter 9 - Chapter 8 - Kutukan Jiwa (2)

==Pov Sewi==

Langit sudah gelap, dan sekarang waktunya makan malam yang kedua dalam hidupku.

Sebelumnya, setelah Elfie kembali, dia menyuruh kita untuk mencuci makanan dengan air.

Tanpa penjelasan, dia melakukannya di depan semua orang, dan mengatakan untuk melakukan hal yang sama juga.

Sekarang, aku sedang duduk di kursi yang kupakai untuk duduk kemarin. Sebelum makan, makanan yang dikumpulkan dibagi sama rata. Elfie memimpin doa, dan semua orang mengikuti juga. Setelah itu, semua orang mulai makan dalam hening.

Dalam hening? Kenapa ini bisa terjadi? Tentu saja karena kita semua lapar!

Elfie mengatakan, kalau kita harus mengumpulkan makanan dan membaginya sama rata. Tidak boleh ada yang egois, dan makan sendirian. Karena itu juga, aku hanya memakan sedikit Jamur Frin sebagai camilan yang mengganjal perutku sedikit.

Aku tahu, aku tahu kalau yang kulakukan adalah salah dengan memakan sedikit Jamur Frin sebagai camilan. Tapi, selama tidak ada yang tahu, maka tak apa-apa, kan?

Saat ini, semua orang makan dan tak berbicara sedikitpun. Selain suara kunyahan, dan suara samar aliran air, tidak ada seorangpun yang berbicara.

Selesai makan, Elfie mengajak kita semua untuk mencuci tangan dan berkumur. Setelah itu, kita kembali ke ruang makan.

Disana, Elfie menjelaskan banyak hal. Mulai dari Pertemuan Ras Awal tadi siang, hingga alasan dia menyuruh kita melakukan ini – mencuci makanan.

Yang menarik perhatianku, adalah cerita Elfie tentang Ras Dwarf yang sangat besar. Aku tidak akan percaya kalau ada makhluk hidup sebesar itu. Aku saja bahkan tidak bisa membayangkan seperti apa Ras Dwarf itu walaupun Elfie telah menjelaskannya sedetail mungkin.

Waktu berlalu cukup lama, dan akhirnya Elfie mengakhiri dengan menyuruh kita untuk tidur dan mengingatkan kita kalau besok dia akan mengajari cara mandi dan mencuci gaun.

Tidak lama bagiku untuk tertidur saat perutku sudah kenyang. Melihat bintang-bintang di langit, dapat membuatku mengantuk sangat cepat.

Hanya berbaring sebentar, segera membawaku ke alam mimpi.

...

Sepertinya sudah beberapa jam berlalu sejak aku tertidur.

Cahaya bintang tampak sangat terang, atau mungkin saja karena mataku yang terlalu sensitif terhadap cahaya.

Aku terbangun dari tidurku karena ingin kencing. Aku keluar dari rumah, dan berjalan memutari pohon yang menaungi rumahku.

Batang pohon ini sangat besar, dan butuh puluhan langkah bagiku untuk berjalan sampai di sisi pohon, yang berlawanan dari rumahku berada.

Aku berdiri di salah satu area sekitar akar pohon. Mengangkat gaunku, memposisikan kakiku, berjongkok, dan akhirnya melemaskan bagian bawah tertentu tubuhku.

Sesuatu keluar… dan itu sangat nikmat. Sampai tubuhku menggelinjang dibuatnya.

"Hwaah…~", aku menghela panjang nafas nikmat.

Sulit menjelaskannya, tetapi aku sangat menyukai sensasi ini.

Rasa nikmat yang tak dapat dideskripsikan, yang selalu kurasakan setiap kencing. Karenanya aku sering berakhir dengan minum banyak air, sampai-sampai perutku terasa sangat penuh dan ingin muntah.

Setelah selesai, aku berjalan ke sungai kecil di dekat sana. Meminum air, dan kembali ke rumahku.

Di sini cukup terang karena cahaya dari Lumut Cahaya, dan mataku bisa dengan mudah melihat jalan kembali tanpa tersesat dalam kegelapan.

Sekembalinya aku, mataku tanpa sengaja melihat seseorang yang asing berada di ruang makan. Kusebut asing, karena dia memakai pakaian yang berbeda. Pokoknya dia tak memakai gaun.

Saat aku melihatnya, dia berdiri di depan pintu, tak lama dia masuk ke dalam.

Siapa dia? Apa yang harus kulakukan? Apa aku harus kesana dan melihatnya? Apa aku pura-pura tidak melihat dan kembali tidur? Atau mungkin, aku hanya salah lihat karena terlalu mengantuk?

Aku memikirkan beberapa pertanyaan karena panik. Tapi segera aku menenangkan diri, dan memutuskan untuk memberitahu Elfie saja.

Aku pergi ke rumah Elfie. Dari luar, aku dapat melihat Elfie yang sedang tertidur di atas kasurnya.

Aku memberanikan diri untuk masuk, mendekatinya, dan mengamatinya sebentar.

Salah satu tangan Elfie menggantung di pinggir kasur. Tangannya menggenggam rumput. Dan ada juga beberapa helai rumput di lantai.

Ini tampak aneh bagiku, melihat Elfie menggenggam rumput di tangannya.

Walaupun begitu, aku tidak terlalu memikirkannya. Karena, aku sedang terfokus pada matanya yang terpejam.

Wajah Elfie, terlihat sangat berbeda daripada saat dia sedang bangun.

Entah bagaimana, aku bisa dengan berani melihat langsung ke matanya yang terpejam. Tetapi, aku tak bisa melihat matanya saat sedang terbuka. Karena itu membuatku gugup.

Saat aku ingin membangunkannya, tiba-tiba aku menjadi ragu tentang yang sedang kulakukan sekarang.

Apakah aku harus membangunkan Elfie? Apakah ini adalah sesuatu yang harus aku beritahukan pada Elfie? Apakah tidak apa-apa aku disini? Apakah aku tidak mengganggu?

Banyak pertanyaan yang membuat diriku ragu. Tetapi segera, aku menggelengkan kepala, dan melupakan semua keraguan itu. Lagipula, ini adalah sesuatu yang penting untuk kuberitahu pada Elfie.

Ya.. ini adalah hal penting, menurutku.

"Elfie.. Eflie.. Bangun Elfie..", kataku sambil mengguncang pelan tubuh Elfie.

"Hah..?" Mata Elfie sedikit terbuka.

"Siapa?" Elfie mengusap kedua matanya sambil bertanya siapa aku.

"Ini aku, Sewi."

"Sewi? Ada apa?" Matanya yang sayu, akhirnya melihat lurus ke wajahku.

Entah mengapa, aku merasa gugup saat dilihat olehnya seperti itu. Aku menurunkan sedikit pandanganku, dan menjelaskan alasanku kesini.

"Elfie, di rumah makan ada seseorang. Aku tidak mengenalnya, jadi aku memberitahukannya padamu. Apa yang harus kita lakukan?" Aku berkata dengan tergesa-gesa.

"Hmm… biarkan saja. Mungkin orang itu adalah Tuan Utusan. Jadi kembalilah tidur, dan jangan ganggu Tuan Utusan. Mengerti?"

"...?" Aku bingung, karena mendapat jawaban yang tak terduga.

"Kalau tidak ada lagi, kembalilah. Aku masih mengantuk, dan jangan ganggu aku tidur", setelah mengatakan itu, Elfie meletakkan lengan kirinya di atas dahinya – menutupi kedua matanya dari cahaya bintang.

"Tapi Elfie, apakah tak apa dia ke ruang makan?" Aku bertanya lagi karena masih bingung dengan jawaban yang diberikan.

"Ya, tak apa."

Kenapa Elfie membiarkannya seperti itu? Disaat, dia mengatakan pada kami untuk selalu makan bersama, dan tak boleh makan sendiri.

Ini salah, tapi aku tak berani mengatakan salah pada Elfie.

"Sewi? Ada apa?" kata Elfie sambil mengangkat sedikit lengannya – mengintip melihatku dari bawah lengan kirinya.

"Ah.. iya.. aku mengerti. Baiklah..."

Setelah itu aku kembali ke rumah, dan berakhir dengan aku yang tak bisa tidur sampai pagi karena memikirkan tentang Tuan Utusan.

Selama waktu itu juga, aku memikirkan semua yang Elfie katakan tadi siang. Khususnya, aku sangat memikirkan tentang Tuan Utusan dan Ras Dwarf.

Pagi harinya, Elfie mengajak kita ke sebuah air terjun. Di sana, Elfie menjelaskan tentang bagaimana cara mencuci pakaian.

Dia juga sedikit menjelaskan tentang "mandi".

"Kemudian, tentang mandi. Mandi adalah saat kamu membersihkan tubuhmu dengan air. Cara untuk mandi, adalah dengan melepas gaunmu, dan membasuh tubuh menggunakan air. Kamu juga bisa menggosok kulitmu, jika ada tanah kering yang menempel di kulit."

Elfie menjelaskannya, tetapi tidak mempraktekkannya seperti saat dia mencuci gaun.

Pembelajaran pagi hari ini tidaklah lama.

Setelah itu, aku mengumpulkan makanan. Kemudian mencucinya dan membawanya ke ruang makan. Kemudian, aku memutuskan untuk berkeliling di Hutan Felven.

Aku berjalan-jalan di sekitar hutan, sembari aku mengumpulkan beberapa Jamur. Dari beberapa jamur seperti Frin, Soltem dan Tristin, aku paling menyukai Jamur Frin. Alasannya karena rasanya lebih enak daripada yang lainnya.

Jamur Soltem rasanya hambar, Jamur Tristin rasanya agak asin, dan Jamur Frin, rasanya agak manis. Dan aku menyukainya, rasa manis.

Aku biasanya mengunyah bagian batang jamur yang agak padat. Dan saat sudah terasa hambar, aku menelannya dan mengunyah batang Jamur Frin lainnya.

Aku terus menjelajahi Hutan Felven, kemudian saat sudah mulai sore, aku memutuskan untuk kembali ke rumah.

Dalam perjalanan ke rumah, aku melihat sosok asing. Sosok itu bersama Elfie, dan Elfie tampaknya sangat menghormati sosok itu.

Terasa familiar, aku mencoba mengingat-ingat tentang orang itu.

Ah… apakah dia Tuan Utusan? Aku sangat yakin kalau dia adalah orang yang sama dengan yang kulihat tadi malam.

Tanpa alasan jelas, aku bersembunyi dari pandangan mereka. Jarakku dengan mereka tidak terlalu jauh. Tetapi.. tetapi! Tetapi kenapa mereka berjalan ke arahku!?

Ini membuatku panik, dan aku segera berjalan sedikit ke belakang, bersembunyi di balik batang pohon yang tak terlalu besar.

Kupikir, setidaknya batang pohon ini cukup menutupi diriku. Tetapi sayangnya, itu tidak.

Elfie berlari ke arahku – meninggalkan Tuan Utusan sendirian.

Aku masih mencoba untuk tetap tenang, tetapi itu tak lagi berguna saat Elfie memanggil namaku.

"Sewi.. apa yang kamu lakukan dengan berdiri di sana?"

"...!" Aku tersentak kaget saat Elfie memanggilku.

Aku memutuskan untuk berjalan keluar dari balik pohon. Elfie mendekatiku, dan membisikkan sesuatu padaku.

"Sewi, dia adalah Tuan Utusan. Tunjukkan rasa hormatmu, mengerti?" bisik Elfie di telinga sebelah kiriku.

Tunjukkan rasa hormat? Apa yang harus kulakukan? Mungkin memberi salam saja sudah cukup? Ya.. mungkin sudah cukup seperti itu.

Aku berjalan ke arah seseorang yang disebut Tuan Utusan. Aku tidak berani melihat wajahnya, tetapi aku bisa mengetahui kalau dia lebih tinggi dariku, dan memakai pakaian berwarna coklat dengan garis-garis hitam di beberapa bagian.

"Salam Tuan Utusan, saya Sewi", aku memperkenalkan namaku sambil menundukkan kepalaku – melihat ke arah kakinya.

"Hmm… Sewi ya?"

Saat dia menyebut namaku, dia berjalan maju, menurunkan tubuhnya. Sehingga wajahnya ada tepat di depanku.

Mata kami bertemu dan aku bisa melihatnya dengan jelas.

'Aku menemukanmu!' Sebuah suara bahagia terdengar di dalam pikiranku. Tetapi saat ini, pikiranku sedang terfokus pada wajahnya.

Wajah seorang pria dengan warna rambut yang disebut silver dan warna mata yang disebut silver. Ah.. mungkin rambutnya agak sedikit putih. Dan yang terakhir wajahnya…

Apa ini? Ini terasa aneh saat melihat wajahnya. Jika membandingkannya dengan wajah dari Pria Elf yang kuingat, maka Pria Elf akan terlihat cantik, dan dia akan terlihat.. tampan….

Tampan… Hanya satu kata itulah yang dapat menjelaskan tentang wajahnya itu.

Tapi yang paling penting, adalah timbulnya perasaan bahagia ini. Saat aku melihat wajahnya, timbul perasaan senang bercampur rindu.

Aku tidak tahu disebut apakah perasaan ini. Tetapi aku merasa sangat akrab dengannya.

Aku tidak mengenalnya, tetapi aku merasa sangat mengenalnya. Aku merasa malu, tetapi aku juga merasa bahagia.

Beberapa detik aku melongo melihat wajahnya.

Sesuatu yang hangat terasa di wajahku. Aku merasa malu, sekaligus gugup dan terpesona saat dia melihat lurus seperti itu ke mataku langsung.

Segera, aku memalingkan wajahku ke samping saat aku sudah tak kuat menahan rasa malu ini.

"Ah.. maaf.. maaf.. aku hanya merasa kalau kita pernah bertemu, dan aku ingin memastikan saja apakah aku memang mengenalmu."

Tuan Utusan itu meminta maaf dengan nada ringan.

Suaranya nyaman didengar, dan suaranya sangat berbeda dari Pria Elf yang kutahu.

Aku terpesona oleh ketampanannya, tetapi aku juga malu karena dia.. karena dia.. ya! Itu karena dia..- karena dia melihat wajahku! Bahkan melihat lurus ke mataku!

Tetapi… aku juga merasa sangat bahagia bisa melihatnya.

Aku merasa nafasku menjadi berat, dan jantungku berdegup kencang.

Sensasi ini, aku tidak tahu namanya. Aku tidak menyukainya, tetapi aku menyukainya.

Apa kamu mengerti yang kurasakan? Aku merasa tidak nyaman sekarang, tetapi aku merasa bahagia sekali.

Pandanganku berair, pikiranku kosong, dan emosiku sangat campur aduk.

Sesuatu yang disebut terpesona, malu, bahagia, rindu dan sedih. Semuanya tercampur dan membentuk suatu emosi yang tak bisa kujelaskan dalam satu kata.

"Aku Urcas, dan yang lain menyebutku Tuan Utusan", pria itu memperkenalkan dirinya.

'Tidak, kamu bukan Urcas. Kamu adalah… kamu adalah….', suara itu terdengar lagi, tapi aku menghiraukannya karena aku sendiri sedang kebingungan akan emosi yang kurasakan.

Saat dia mengatakan namanya adalah Urcas, rasa sedih yang lebih besar tiba-tiba muncul dalam diriku.

Aku tidak tahu mengapa, aku benar-benar tidak tahu!

Aku masih terdiam sambil menggigit bibir bagian bawahku, dan dari sebelah kiriku terdengar suara Elfie yang agak panik.

"Apa yang sedang kamu lakukan? Kenapa diam saja?" Bisikan Elfie membuat pikiranku yang kebingungan, terisi kembali dengan sedikit akal sehat untuk berpikir.

Walaupun begitu, pikiranku malah terfokus pada kesedihan ini.

Aku tak kuat menahan rasa sedih. Rasanya, aku bisa menangis setiap saat.

"Ka-Kalau b-begitu saya permisi dulu T-Tuan.."

Aku berkata dengan suara bergetar dan gagap, dan setelah itu aku langsung berlari ke rumah secepat yang ku bisa.

Aku berlari, terus berlari. Tubuhku bergerak sendiri, bahkan tidak berhenti disaat nafasku habis.

Sembari berlari, aku tidak memikirkan apapun, selain rasa sedih dan bahagia.

Memikirkan wajahnya, membuat merasa malu, dan wajahku menjadi panas.

Memikirkan dirinya, membuatku merasa sangat bahagia, sekaligus merasa sedih, hingga air mata mengalir.

Aku tidak tahu.. aku tidak tahu mengapa aku bisa menangis bahagia seperti ini. Tetapi aku merasa sangat bahagia saat melihatnya.

Rasanya, seperti aku bertemu seseorang berharga yang telah lama kurindukan.

Aku kembali ke rumah. Walau tidak jauh, tetapi aku merasa bahwa sekarang nafasku habis. Aku terbatuk beberapa kali karena tenggorokanku terasa sangat kering.

Aku pergi ke sungai di dekat ruang makan. Setelah itu aku kembali ke rumah dengan pikiran yang sudah lebih tenang.

Aku mengistirahatkan tubuhku di atas ranjang. Kakiku terasa akan putus karena berlari tadi, perutku agak kembung karena minum banyak air, dan tubuhku terasa sangat lelah.

Aku berbaring sambil memejamkan mata, pikiranku masih terbayang-bayang akan dirinya. Setiap detiknya, setiap kali aku memikirkannya, rasa senang yang tak jelas muncul, dan entah bagaimana merasuki tubuhku.

Perasaan senang ini membuatku ketagihan, dan membuatku ingin merasakan lebih.

Aku ingin lebih.. Aku ingin mengenal dia.. Apakah aku boleh bertemu dengannya lagi? Siapa dia sebenarnya?

Beberapa pertanyaan mengisi pikiranku.

Membayangkan wajahnya, membuatku merasa sangat bahagia. Aku merasa, kalau hidupku ini hanya untuk melihatnya.

Aku terus memikirkan banyak hal tak jelas sambil tersenyum. Hingga pada akhirnya….

"...?!"

Semuanya berhenti. Aku menyadari kalau semuanya berhenti.

Berhenti bergerak, bernafas, mengedipkan mata, berhenti berpikir, bahkan jantungku juga berhenti berdetak.

Aku merasa diriku terpisah dari tubuhku, aku kehilangan kendali akan tubuhku, tetapi aku sadar bahwa aku.. aku masihlah hidup.

Aku tidak bisa menjelaskannya, tetapi rasanya seperti aku tidak dalam kenyataan.

(Note: Gejala Gangguan Depersonalisasi)

Semua itu terjadi dalam sedetik, dan pada detik berikutnya semua kembali normal.

Tetapi, ada 1 hal yang tidak kembali.

"Tidak… apa yang terjadi?" Aku bertanya pada diriku sendiri tentang apa yang terjadi, dengan nada panik dan takut.

Tiba-tiba aku merasa kosong. Kekosongan seperti sebagian dari diriku hilang direnggut oleh sesuatu.

Itu hilang... Maksudku..- itu hilang! Rasa senang itu hilang! Hilang kemana? Aku juga tidak tahu!

Aku mencoba membayangkan wajahnya kembali, berharap emosi kebahagiaan itu kembali merasuki tubuhku.

Tetapi tidak ada sedikitpun kesenangan yang terasa. Tidak sedikitpun..! Tidak sedikitpun! Kemana?! Kemana itu pergi!?

Tidak...! Kemana hilangnya perasaan bahagia tadi..!? Aku.. aku masih menginginkannya lebih! Aku ingin merasakannya lagi!

"Tidak.. Aku masih ingin...", aku memohon pada diriku sendiri.

Aku meremas dadaku yang terasa sakit, dan air mataku juga mulai menetes.

Air mataku terus mengalir walau aku telah mengusapnya dengan tanganku.

"hAaAaa…! …-AaaaAah…!" Aku berteriak pilu – sangat pilu hingga aku yang mendengarnya menjadi semakin sedih.

Aku terus mengusap, terus mengusap, dan terus mengusap air mataku. Tetapi, tidaksekalipun aku merasa kalau air mata ini berkurang.

Malahan, ini menjadi lebih banyak. Hidungku menjadi tersumbat, dan nafasku menjadi berat dan sesak.

"Thidak lagi…- Uuu-Uhh… heng..-hhhh..", aku bersuara tak jelas, sebagai bentuk kesedihanku.

'Aku tidak ingin lupa lagi. Aku sudah menemukannya, aku yakin!

Tapi, ini terlalu tidak adil untukku!

Apakah ini adalah takdirku untuk tak boleh mencintainya sekali lagi? Bahkan di Kehidupan yang sekarang?

Jika aku tak bisa mencintainya, maka lebih baik aku menghilang. Itu lebih baik, daripada aku harus terus merasakan kekosongan ini, selamanya.'

Sebuah suara, membacakan sebuah puisi duka di dalam pikiranku.

Suara yang entah bagaimana bisa muncul, dan menghilang setelah mengatakan itu di dalam pikiranku.

"Hue-eeh… Hiks. Huuh… Hiks. Hua...", aku bersuara tak jelas saat menangis.

Aku terus menangis, dan masih terus berusaha mengusap air mata yang tak hentinya mengalir.

"HooeeeK..!" Aku memuntahkan air dari mulutku.

Air yang kuminum tadi, keluar dari mulutku dan membasahi bantal, dan menggenang di ranjang.

Aku terus menangis, hingga aku sendiri tidak tahu berapa lama waktu telah berlalu.

Rasanya, seperti aku telah menangis selama seharian. Tetapi anehnya, matahari masih menyinari rumahku. Yang artinya, belum lewat sehari aku menangis.

Waktu terus berlalu, hingga akhirnya matahari menyinariku untuk terakhir kalinya, memberi sedikit kehangatan sebelum malam dingin datang.

Tangisanku telah mereda, karena mataku telah mencapai batasnya.

Kesedihan di hati masih sama, hidungku masih tersumbat, dan nafasku masih berat.

Aku memeluk sebuah bantal yang berbau tak sedap karena muntahanku. Bantal itu telah basah seluruhnya oleh air mataku, tetapi masih kupeluk erat hingga kulitku menjadi basah saat bersentuhan.

Aku masih ingin menangis, tetapi tidak ada air mata yang keluar. Mataku serasa sakit, dan bengkak. Tetapi aku tidak menghiraukannya karena kesedihan ini masih tersisa.

Setiap detiknya aku bersedih, sebuah sensasi ingin menangis terus terkirim ke mataku. Setiap sensasi yang terkirim, memaksa mataku untuk mengeluarkan air mata.

Tetapi, yang kudapatkan bukanlah air mata, melainkan rasa sakit yang membakar mataku. Sesekali aku mengusap mata, dan mendapati rasa sakit yang luar biasa saat tanganku tanpa sengaja menyentuh area mata yang bengkak.

Dan entah bagaimana, dan apa yang terjadi selanjutnya, aku tak ingat. Tetapi yang pasti, aku tertidur setelah menangis lama.

Esoknya, aku terbangun.

Tubuhku sangat lembab, juga terasa lelah. Mataku bengkak, nafasku terasa sangat ringan, dan hidungku terasa kosong (plong).

Mulutku dan tenggorokanku terasa sakit dan kering, bahkan aku tidak merasakan adanya air liur yang tersisa.

Rambutku lembab, begitu juga dengan gaunku. Aku bahkan bisa melihat warna kulitku dibalik gaun lembab yang menempel di kulit.

Tidak ada yang kupikirkan saat baru terbangun. Yang aku lakukan saat membuka mata adalah melihat keadaan tubuh dan gaunku yang lembab.

Beberapa saat aku terbengong, dan segera teringat sebuah mimpi. Mimpi dimana aku menangis, menangis sangat banyak.

Aku tidak ingat apa alasan aku menangis, tetapi aku merasa kalau semua itu sangat nyata – terlalu nyata, untuk sebuah mimpi.

Tetapi tetap saja, aku merasa kalau itu hanyalah sebuah mimpi panjang.

Sebuah mimpi, yang tak pernah bisa kulupakan sampai akhir kematianku.

Dan suara itu, yang ada di dalam pikiranku sebelumnya. Suara itu tak pernah lagi terdengar, bahkan aku sendiri sudah melupakannya.

===