Chereads / History Of Melofranist / Chapter 11 - Chapter 10 - Jangan Menangis (1)

Chapter 11 - Chapter 10 - Jangan Menangis (1)

==Pov Urcas==

3 hari telah berlalu sejak aku tinggal di Melofranist.

Setelah semua yang kulalui, sepertinya aku harus bangga pada diriku sendiri yang berhasil bertahan sampai sekarang.

Sekarang sudah malam, dan aku sedang ada di Ruang Makan, bersama para Elf lainnya.

Tetapi, ada satu orang yang belum hadir. Dia adalah Sewi, Elf yang tadi sore kutemui.

Aku tidak tahu apa yang sedang terjadi, tetapi mengamati sikap setiap orang yang saling berbisik satu sama lain, membuatku berasumsi kalau ada sesuatu yang tidak beres pada Sewi.

Aku ingin bertanya mengenai Sewi pada Elfie, tetapi aku menjadi ragu saat melihat Elfie yang sedang gelisah.

Menit berlalu, hingga akhirnya, sesuatu yang aneh terjadi.

2 Elf wanita yang di sana, yang sedari tadi tersipu malu dan mencuri pandangan, tiba-tiba saja menangis.

"Hiks. Hiks.", salah satu dari mereka menangis terisak-isak.

Sedangkan yang satunya, hanya memasang wajah sedih dengan air mata mengalir.

Tentu saja, itu sangatlah membingungkan. Disaat semua yang awalnya normal, menjadi tidak normal dalam sekejap.

Apa yang mengakibatkan mereka menangis? Aku tidak bisa mengatakan jawaban pastinya.

Mau sekeras apapun aku berpikir, aku tidak bisa membuat satupun asumsi.

"Dela? Janny? Kalian kenapa..?" Elfie berjalan ke arah mereka, bertanya pada mereka.

"Aku tidak tahu… Tiba-tiba saja aku merasa sedih", ucap Elf yang memasang wajah melas.

"Hiks. Sama..", ucap Elf yang menangis terisak.

Apa ini…? Aku benar-benar kebingungan sekarang.

Semua terjadi begitu tiba-tiba, dan tanpa sebab yang jelas.

*Silent…

Beberapa puluh detik berlalu, dengan tak satupun orang yang berbicara.

"Tunggu disini, aku akan pergi memeriksa Sewi." Elfie segera berlari keluar, dan menyisakan kami berenam di ruangan.

Suasana disini terlalu canggung, dan aku sangat tidak menyukainya. Aku tidak tahan lagi, jika harus tetap berada disini.

Akhirnya, aku memberanikan diri dan berbicara.

"Aku juga ikut..", kataku pada Elfie.

"Ehm.. tentu", Elfie yang masih di ambang pintu, mengangguk.

Segera, aku berdiri dari kursi dan mengikuti Elfie ke Rumah Sewi.

Ini sudah malam, dan lumut cahaya mulai menghasilkan cahaya birunya. Di desa elf, populasi lumut cahaya sangatlah melimpah. Tidak sulit bagiku untuk berjalan tanpa takut tersandung akar-akar yang mencuat dari tanah.

Akhirnya, sampailah kami di Rumah Sewi. Dari luar, aku bisa melihat Sewi yang berbaring meringkuk, menghadap pintu sambil memeluk bantal.

Di sini pencahayaannya remang, tetapi masih cukup terang untukku melihat siluet dari benda-benda seisi rumah.

Dan yang menjadi fokus permasalahanku adalah Sewi.

"Sewi..? Sewi..?" Elfie memanggil Sewi, sambil menggoyang-goyangkan tubuh Sewi.

Elfie memasang ekspresi bingung, cemas, dan panik secara bersamaan, saat melihat Sewi yang terbaring di atas ranjang, tak merespon saat dipanggil.

"Tuan… apa yang harus kulakukan?" Elfie bertanya padaku dengan nada panik.

"Tunggu, biar aku periksa dulu, dia."

Aku mendekati Sewi, dan memeriksanya dengan cepat.

Hasil dari pemeriksaan ku adalah, Sewi hanya tertidur lelap.

Tetapi ada yang tidak normal. Itu adalah tubuhnya yang basah kuyup dan berbau asam lambung. Matanya juga bengkak, dan ada lendir di hidungnya.

Wajahnya tampak seperti wajah seorang badut. Itu lucu, cukup lucu, dan sangat lucu, tetapi aku tidak tertawa sama sekali karena pikiranku saat ini sedang serius.

Dia pasti menangis, tetapi kenapa? Kenapa dia menangis? Dan lagi, kenapa sampai separah ini, menangisnya?

Tapi yang menjadi pertanyaan terbesar di pikiranku adalah, apa penyebab dari semua ini?

Tidak mungkin dia menangis tanpa suatu sebab. Dan lagi, kenapa Ellie tidak menangis, disaat ketiga yang lainnya telah menangis?

Tapi yang sekarang harus kupikirkan adalah tentang sebabnya. Apakah Makanan? Penyakit? Atau…, Aku?

Makanan, mungkin saja mereka memakan makanan yang mengandung efek tertentu, misalnya makanan dengan efek halusinasi, gangguan kecemasan, atau penurunan mood.

Penyakit, mungkinkah mereka mengidap suatu penyakit yang menyerang mental? Kalaupun iya, maka aku tak bisa berbuat apapun, karena ini bukanlah bidang yang aku kuasai.

Aku, mungkin saja akulah yang menjadi penyebab semua ini. Tetapi kenapa aku? Dan bagaimana aku bisa menjadi sebab dibalik peristiwa ini?

Haaa-A..! Aku tidak mengerti! Aku tidak tahu!

"Tuan…? Bagaimana?" Elfie bertanya dengan nada khawatir.

Benar, seharusnya aku tidak perlu memikirkannya. Kenapa aku begitu tolol, untuk terus memikirkan pertanyaan yang tak akan kutemukan jawabannya.

"Tidak apa, dia baik-baik saja."

Lebih baik aku berhenti mencari penyebabnya, dan fokus menangani hal yang sedang terjadi disini. Lagipula, ini bukan sesuatu yang mengancam jiwa.

Sekarang aku harus tenang. Yang harus kulakukan sekarang, bukan mencari penyebab, tetapi merawatnya.

Hanya saja, bagaimana caraku merawatnya sekarang?

Tubuhnya basah kuyup, jadi pilihan terbaik adalah mengganti gaunnya, dan mengeringkan tubuhnya, kemudian memakainya gaun kering lainnya.

Tetapi… aku tak bisa melakukan itu semua. Serius, aku tak bisa!

Aku tidak mau melakukannya! Aku takut! Aku takut kalau diriku akan lepas kendali!

Bahkan sekarang saja, aku sedang membayangkan tubuh bugilnya.

Aku tidak berani mengambil resiko untuk menelanjangi tubuhnya, mengusapnya, dan memakaikan pakaian kering lainnya.

Kalau begitu, apa yang harus kulakukan? Meninggalkannya seperti ini sebenarnya bukan masalah. Tetapi, aku khawatir jika nanti dia sakit, bila dia mengenakan gaun basah seperti itu semalaman di tempat dingin berangin seperti ini.

Hmmm… Bagaimana jika aku memberinya sebuah selimut..?

Ah… boleh juga.

"Elfie, kemarin kamu menceritakan tentang Sewi saat terbangun, kan?"

"I..ya..? Memangnya kenapa?"

"Nah, apa selimut yang dia kenakan saat itu masih ada?"

"Setiap orang memilikinya, mungkin miliknya ada di dalam lemari."

"Baiklah.."

Fiuh… baguslah. Kalau seperti ini, selimutku tak akan tercemari oleh wewangian asam lambung itu.

Aku berjalan ke lemari kayu. Lemari itu, terlihat sangat normal. Lemari dengan lebar 1 meter, dan tinggi hampir 2 meter, dengan dua pintu yang bisa dibuka-tutup.

Kalau dipikir-pikir, ini pertama kalinya aku membuka lemari milik perempuan. Apa ya, yang ada di dalamnya?

Mungkinkah celana dalam? Bra? Atau….-, Aaa…! Pikiranku mulai bermasalah lagi!

Ini benar-benar sebuah masalah besar! Sejak aku di Melofranist, libidoku meningkat drastis. Setiap aku melihat sesuatu, pikiran mesum pasti selalu timbul.

"Huft…", aku menghela nafas, sambil menggelengkan pelan kepalaku.

Sekarang, aku perlu fokus pada masalah di depan mata. Pikiran mesum bisa ku selesaikan nanti.

*Kreet..

Aku membuka lemari itu dengan suara gesekan pelan.

Di dalam lemari itu, tergantung beberapa gaun putih yang seragam, baik bentuk dan warnanya. Di bagian bawah, aku bisa melihat sebuah selimut putih yang seperti bola karena tidak dilipat.

Aku mengambil selimut itu, dan menyelimuti Sewi yang tertidur meringkuk memeluk bantal.

'Wah… ini berbahaya sekali. Seorang wanita tak berdaya seperti ini… jika ada seorang pria bejat melihatnya, maka aku tak akan tahu menahu apa yang akan terjadi padanya,' pikirku saat melihat warna punggung Sewi, akibat gaun basahnya yang menempel di kulit.

"Baiklah, sudah selesai. Sekarang ayo kembali."

"Sudah..? Apa benar-benar tidak apa?"

"Ya… dia hanya tertidur setelah menangis hebat."

"Menangis hebat?"

"Sudahlah, intinya jangan bangunkan dia."

"Baik...", Elfie menjadi lebih tenang setelah aku meyakinkannya.

Kami berdua kembali ke Ruang Makan, dan semua orang melihat kami dalam diam, termasuk 2 wanita itu yang memasang wajah sendu.

"Sewi sedang tidur, jadi dia tidak bisa makan bersama kita pada malam hari ini", Elfie mengatakannya dengan tenang.

Anehnya, semua orang cuek pada pernyataan Elfie. Mereka tidak mengekspresikan emosi khawatir atau semacamnya. Melainkan mereka hanya duduk lesu, dengan pandangan lurus ke meja.

Aku dan Elfie kembali duduk di kursi masing-masing. Kedua wanita Elf itu sudah berhenti menangis, walaupun aku bisa melihat kalau mereka sedikit lesu, wajahnya.

"Tuan..", Elfie memanggilku.

"Ya?"

"Bisakah Tuan memimpin doa?"

"Aku?"

Doa? Doa apa..?!

"Ya Tuan.. Anda sebagai Utusan Pencipta, harusnya lebih baik dalam doa semacam ini."

Aku tahu itu masuk akal! Tapi masalahnya, aku pun juga tak pernah berdoa!

"Eh.., tapi.."

"Tolong Tuan..."

Aku tak bisa menolak, disaat semua orang menatapku dengan mata memohon. Seperti mereka akan mati jika aku tak menerimanya.

'Aku tak pernah berdoa. Doa itu tidak penting. Jadi tidak perlu berdoa', ingin aku mengatakan itu.

Tetapi jika dipikirkan kembali, itu akan merusak citraku.

"Baik-, Baiklah… beri aku waktu..", setelah mengatakan itu, aku tenggelam dalam pikiranku.

Dulu, aku pernah mencoba untuk berdoa. Tetapi segera dihentikan oleh Pencipta, dan Pencipta malah mengatakan padaku bahwa, "Akulah yang seharusnya bersyukur karena Eon ada di sini. Aku tidak butuh ucapan terima kasih atau syukur, tapi aku lebih membutuhkan senyummu yang tulus."

Pencipta tak membutuhkan ucapan terima kasih, ataupun balas budi. Yang Pencipta inginkan dariku hanyalah sebuah senyum bahagia. Sejak saat itu, aku telah melupakan yang namanya doa.

Sedangkan, mereka berbeda. Aku tidak tahu, tentang hubungan mereka dengan Pencipta.

Tapi, jika aku mengasumsikan mereka sebagai orang tak dikenal yang menerima bantuan. Maka, sudah sepatutnya mereka berdoa – mengucapkan syukur dan terima kasih pada Pencipta.

Sama halnya, jika seseorang membantumu, maka ucapkanlah terima kasih. Jika kamu tak melakukannya, maka kamu akan dianggap tidak sopan.

Jika Pencipta adalah sosok yang dalam tanda kutip, memiliki emosi dan harga diri. Maka, Pencipta akan lebih menyayangi, mereka-mereka yang selalu berdoa pada-Nya.

Aku bisa membayangkan, disaat aku sudah membantu seseorang, tapi malah diabaikan. Maka aku pasti akan merasa marah karena merasa tak dihargai, dan tak akan mau membantunya lagi.

Lain halnya jika aku membantu seseorang, dan dia mengucapkan terima kasih, bahkan mau membalas budi padaku dalam bentuk melakukan apa yang kuperintahkan.

Jika dia melakukan itu, maka akan dengan senang hati, aku selalu senantiasa memberinya bantuan.

Tapi berbeda denganku. Apa yang Pencipta inginkan, adalah senyum kebahagiaanku. Pencipta hanya menginginkan respon dariku, yaitu sebuah senyum, bukan ucapan syukur atau semacamnya.

Kesimpulannya, aku tidak perlu berdoa. Pencipta hanya menginginkan aku hidup bahagia, tidak lebih.

Tapi, yah…-, aku sadar. Aku sadar, bahwa aku perlu sesekali melakukannya. Lagipula, aku bukanlah seorang anak yang durhaka, bukan?

Dan jika aku tak berdoa, maka mereka akan melihatku dengan mata kecewa. Mereka, para elf.

Jadi intinya, aku harus berdoa.

"Baiklah, maaf menunggu lama. Langsung saja aku ucapkan doanya."

Segera, semua orang memejamkan matanya.

"Terima kasih Pencipta, atas segala yang Engkau berikan pada kami.

Kami bersyukur, atas makanan pada malam hari ini.

Izinkan kami membalas kebaikan Engkau suatu hari nanti. Selesai."

Tolong.. tolong jangan tertawa. Aku tahu, sangat tahu kalau doa yang kubuat sangatlah buruk – terlalu buruk, hingga aku merasa geli setelah selesai mengucapkan.

Tapi untungnya, mereka sepertinya tidak memperdulikan doaku yang buruk ini.

Fiuh.. setidaknya aku bisa sedikit lega.

*Silent...

Uhm… sekarang apa lagi? Kenapa semuanya masih tetap diam? Dan lagi, mata semua orang terpaku pada makanan di meja.

"Kenapa kalian tidak makan?"

Tepat setelah aku bertanya, semua orang mulai makan dengan sangat lahap – seperti orang yang sangat kelaparan.

Mereka makan menggunakan tangan, dan tanpa etika sedikitpun.

Walaupun sebenarnya aku tidak memusingkannya, tetapi aku merasa sangat terganggu saat mereka makan dengan mulut berbunyi.

Aku juga ikut makan. Tentu saja aku memakannya secara perlahan, tidak buru-buru seperti mereka. Lagipula, makanan ini terlalu hambar rasanya, dan jika bukan karena lapar, aku tak akan mau memakannya.

Hmm… mungkin aku akan memasak sup besok. Ya.. itu lebih baik daripada aku harus makan makanan hambar seperti ini.

Makan malam itu berakhir dalam 10 menit, karena aku makan dengan lambat. Seharusnya, itu bisa berakhir dalam 5 menit, jika aku tak ikut serta.

Saat mereka selesai makan, mereka beranjak keluar untuk cuci tangan.

Sekembalinya mereka, mereka melihatku yang masih dengan tenang memakan makanan.

Aku tidak tahu apa yang mereka pikirkan, tetapi aku percaya kalau mereka pasti malu pada kelakuan mereka sendiri.

Mereka duduk dengan wajah gugup yang menghadap ke meja – tempat makanan mereka berada sebelumnya.

Setelah aku selesai, aku keluar dari Ruang Makan dan pergi ke sungai kecil di dekat sana.

Aku mencuci tangan, minum, dan mengisi botol airku. Setelah itu, aku kembali ke tempat dudukku semula.

*Silent...

Lagi, suasana canggung ini terasa kembali.

Ah.. ini, sepertinya bukan canggung lagi, melainkan menakutkan.

Setiap orang duduk dengan badan tegang, tak berbicara, dan di sini agak gelap, sehingga aku tak bisa melihat wajah mereka yang jauh dariku, misalnya Layen yang terjauh.

Ini terlalu menegangkan, hingga aku sendiri tak bisa mengucapkan sepatah katapun.

Pada akhirnya, setelah beberapa menit, Elfie angkat bicara.

"Ehmm..."

Semua tatapan tertuju pada Elfie, termasuk aku.

"Jadi… Jadi.., dia adalah Tuan Utusan yang sebelumnya aku ceritakan."

Tunggu sebentar.. bukannya perkenalan seharusnya dilakukan di awal, sebelum makan? Tetapi kenapa setelah makan?

Ah-, sudahlah, yang terjadi biarlah berlalu. Ini juga lebih baik ketimbang tidak sama sekali.

"Mulai hari ini, Tuan Utusan akan tinggal bersama kita di sini. Karenanya, mari kita saling memperkenalkan diri, agar bisa saling kenal satu sama lain."

Setelah itu, sesi memperkenalkan diri dimulai.

Aku memperkenalkan diriku dan tujuanku tinggal di sini.

Kemudian berlanjut, dengan perkenalan masing-masing dari mereka.

Aku mengetahui, nama dari 2 wanita elf itu adalah Janny dan Dela.

Yang menangis adalah Dela, dan yang melas adalah Janny. Nampaknya, Dela lebih pemalu ketimbang Janny yang lebih terbuka.

Ferish, Hapwel, dan Layen adalah nama dari 3 pria elf.

Dan perkenalan diakhiri dengan Elfie.

Secara umum, penampilan dari semua orang disini tidak berbeda jauh.

Dengan ciri fisik yang sama adalah, warna kulit putih pucat, rambut panjang berwarna hijau, iris mata hijau, tinggi sekitar 150-175cm, suara yang ringan, mata yang agak sipit, perawakan kurus, memakai gaun yang sama dan yah.., mungkin itu saja.

Untuk yang pria, frekuensi suaranya tidak serendah Dariel atau Adam. Suara mereka masih cukup ringan, dan terdengar agak netral.

Tubuh mereka cukup berotot, tetapi massa ototnya tidak sebesar Adam atau Dariel. Agaknya, masih sama seperti Hazraghafil dari Ras Devil.

Untuk yang wanita, suaranya sangat indah. Jika dibandingkan dengan Sariel dari Ras Angel, maka suara Elf lah yang paling indah.

Suara Elf terdengar ringan, frekuensi suara mereka tinggi. Sedangkan suara Sariel dari Ras Angel terdengar agar berat, dan agak sensual.

Hmmm.. aku tidak terlalu mengerti tentang suara atau sejenisnya, jadi sulit untukku menjelaskan tentang suara mereka dengan kosakata yang tepat.

Untuk yang wanita, tubuh mereka sempurna. Dalam arti, sempurna untuk wanita dewasa. Tubuh seperti biola, payudara montok, bokong besar, dan kulit putih mulut dan kencang.

Melihat tubuh mereka yang cantik itu, pasti akan membuat semua lelaki bernafsu, termasuk aku tentunya.

Untungnya, aku bisa menahan nafsuku dengan mudah. Tetapi tetap saja, pikiran mesum selalu terlintas setiap saat. Bahkan sekarang, mataku masih melirik ke dada mereka yang sangat montok.

Mungkin ukurannya F? Atau mungkin lebih besar? Aku tidak akan tahu pasti jawabannya sampai aku meremasnya. Muehehehe…~

Ahem..-, dan kembali ke kenyataan.

*Silent...

Setelah perkenalan, suasana kembali tegang.

Aaa..! Aku tidak tahan lagi!

"Aku ingin tahu, kalian makan berapa kali sehari?"

Aku memutuskan untuk bertanya, karena sudah tidak tahan merasakan ketegangan yang membunuhku perlahan.

"Sekali, Tuan", Elfie dengan percaya diri menjawabnya.

"Sekali? Maksudnya..-, hanya setiap malam, begitu?"

"Ya", Elfie menjawabnya.

Ooouuhh...-, Pan-tas sa-ja! Pantas saja mereka makan seperti orang kelaparan!

Kalau makannya hanya sehari sekali, tentu saja orang pasti kelaparan. Ditambah, yang mereka makan adalah makanan mentah, yang mana energi yang mereka serap tidak sebanyak saat makan makanan matang.

"Siapa yang menentukan untuk makan hanya sekali sehari?"

"Elfie", Ferish menjawab.

Elfie? Ah.., benar juga. Dia kan seorang Perwakilan Ras, jadi sangat masuk akal jika dia yang memutuskan hal tersebut.

Tetapi kenapa?

"Elfie, kenapa kamu menciptakan peraturan seperti itu?"

"Kenapa..? Karena… karenaaa….", Elfie terdiam setelah itu.

Belasan detik berlalu, dengan Elfie yang masih termenung.

"Elfie…?"

"Aku tidak tahu Tuan..."

"Kamu tidak tahu?"

"Ya..."

"Jadi kenapa kamu membuat peraturan tidak jelas seperti itu?"

"A-aku t-tidak tahu...", Elfie berbicara dengan suara bergetar, dan matanya mulai berkaca-kaca – aku bisa melihatnya karena Elfie berada di sebelahku, dan matanya bersinar samar.

Ah…- gawat. Apa kata-kataku terlalu kasar? Atau memang Elfie yang terlalu sensitif?

"Sudahlah… aku tak marah padamu. Aku hanya bingung saja, kenapa kamu menetapkan peraturan tak jelas seperti itu.

Lagian, di sini ada banyak sekali makanan. Jadi kenapa harus mengurangi makan seperti ini?

Karena itulah, aku bertanya padamu tentang alasanmu menetapkannya."

Aku mencoba untuk menjelaskannya dengan lembut, tetapi Elfie malah mulai menangis.

"Ma-af… Tuan… Hhh..-, Elfie tidak tahu… hiks."

"…"

Entah kenapa, aku merasa bersalah. Padahal aku tak salah, tapi aku merasa diriku lah yang salah di sini.

Mulutku terasa asam, dan dadaku berat. Aku jadi ikut sedih saat Elfie yang polos menangis seperti itu.

Semua orang memasang wajah heran saat Elfie menangis. Rahang mereka mengendur, dan tatapan mereka tertuju pada Elfie yang sedang menangis.

"Elfie..."

"Hiks.", Elfie hanya terisak.

"Aku tahu kamu tidak bermaksud. Mungkin, kamu hanya ingin agar semua orang bisa makan bersama dan saling mengenal. Tapi salahnya kamu adalah membatasi makan mereka."

"Hu-m..."

"Jadi…."

Setelah itu, aku menjelaskan tentang jadwal makan yang baru.

Aku menyarankan untuk tetap melaksanakan makan malam bersama setiap hari. Dengan tambahan, kalau semua orang bebas untuk memakan makanan di luar jam itu.

Aku juga menambahkan, kalau aku akan mengajari mereka cara memasak makanan. Walaupun semua orang tak mengerti yang kukatakan barusan, tetapi mereka terlihat sangat bahagia.

Walaupun disini gelap, tetapi senyum lebar, dapat dengan jelas terlihat di setiap wajah mereka. Dela dan Janny yang lesu sedari tadi, mulai tersenyum juga.

Sedangkan Elfie, dia memasang wajah melas dan bibir cemberut, sejak awal aku mulai menjelaskan.

Makan malam hari itu, diakhiri dengan semua orang yang pulang dengan kebahagiaan di wajah.

Semua orang telah kembali ke rumahnya masing-masing. Sedangkan Elfie masih terduduk di kursinya.

Dia duduk, sambil meletakan kedua lengannya di atas meja. Dengan kepala yang bertumpu di atas lengan, dan wajah menghadap meja.

Aku tidak bisa melihat wajahnya, tetapi aku tahu kalau dia tidak tidur – kepalanya sedikit bergerak ke-kiri dan ke-kanan.

"Elfie.."

"He-m..?"

"Masih nangiskah?"

"..."

Disini sangat gelap, tak ada satupun sumber cahaya terang disini.

Mungkin aku harus senang, atas fakta kalau di setiap rumah, tidak ada tajuk pohon yang menghalangi langit. Sehingga, cahaya matahari, bulan, dan bintang dapat menerangi seisi ruangan.

Tetapi, karena jarak antara tajuk pohon dengan rumah sekitar puluhan meter, maka cahaya yang masuk sangat sedikit – praktis tidak menerangi apapun.

Tetapi, kurasa dengan tidak adanya atap di setiap rumah adalah hal yang baik. Karena, sedikit cahaya masih bisa masuk, setidaknya aku masih bisa melihat siluet bayangan dari benda-benda sekitar.

Tetapi tetap saja, tidak adanya pintu masih merupakan suatu masalah besar terkait privasi.

"Elfie, ikut aku."

Berbicara di tempat gelap seperti ini tidak menyenangkan.

Jadi aku memutuskan untuk mengajak Elfie berbicara di tempat yang lebih terang.

"..."

Tetapi, Elfie masih tetap diam dalam posisi menundukkan wajahnya.

"Elfie…"

*Sreet

Elfie berdiri dari kursinya. Kursinya terdorong mundur ke belakang dengan suara halus.

Elfie menatapku dengan mata lembab, dan berjalan ke pintu – aku bisa melihatnya karena Elfie sangat dekat denganku.

"..."

Aku hanya terdiam, saat Elfie melakukan semua itu.

'Lagian, apa dia benar-benar masih sedih begitu? Betapa cengengnya dia…', aku mencibirnya di dalam pikiranku.

"Katanya mau keluar.."

Ada apa dengannya sekarang? Kenapa dia tiba-tiba berubah pikiran?

Ah..-, sudahlah, kenapa aku malah menanyakan itu sekarang?

"Ah.. iya.. ayo…"

Aku dan Elfie, pergi meninggalkan desa.

Kami "berdua", menyusuri hutan gelap yang sepi.

===