Flashback
Eunha menatap kearah cermin dengan wajah datar, malam ini ia dan JK berencana untuk fitting baju pengantin. Diatas meja riasnya terdapat paspor, tiket pesawat, dan kartu ATM yang diberikan oleh si peran antagonis. Besok ia sudah harus meninggalkan Korea. Perempuan itu telah berdandan secantik mungkin untuk JK, dan ini yang terakhir kalinya ia berdandan untuk lelaki itu. Tangannya mencengkram kuat ujung dress yang ia kenakan.
Awalnya Eunha ingin pergi begitu saja tanpa bertemu JK lebih dulu. Namun perempuan itu berfikir jika ia harus membuat JK membencinya, sehingga lelaki itu tidak akan terluka jika ditinggalkan secara tiba-tiba. Tangan Eunha beralih untuk menggapai ponselnya. Ia ketikan keyword 'Cara memutuskan hubungan dengan kejam' di laman Naver. Eunha menghembuskan nafas panjang sebelum menatap pantulan dirinya didepan cermin.
"Aku ingin mengakhiri hubungan kita. Selama ini aku tidak pernah serius padamu, aku bukan perempuan baik seperti yang kau kira selama ini". Ujarnya dengan suara lirih. Ia melatih ekspresinya beberapa kali agar terlihat jahat di depan JK nanti. Eunha sadari hal ini yang terbaik agar tidak menyakiti orang-orang disekitarnya. Lama melatih dan menghafal kalimat yang ia cari tadi di Naver, Eunha terisak pada akhirnya. Bagaimana bisa Eunha menyakiti JK yang begitu baik dan banyak berkorban untuknya? Eunha pasti akan merasa bersalah seumur hidup karena telah melukai perasaan lelaki itu. Namun apa daya, Eunha tak punya kuasa untuk melawan orang dengan posisi paling tinggi di agensinya.
"Ottokhae, kenapa aku tidak bisa berkata lebih kejam lagi? Wae?". Perempuan itu memukul-mukul dadanya yang terasa sesak, seperti dihujani bebatuan. Lalu tangannya turun untuk mengelus perut ratanya. Janin di dalam perutnya akan lahir tanpa pernah melihat sosok ayah. Sanggupkah Eunha memikul beban ini sendirian? Jujur saja Eunha takut dengan adanya janin di dalam perutnya. Ia ketakutan, sebab sebagian orang berkata jika melahirkan itu sangat sakit.
"Kau tidak berdosa, kau itu suci. Aku takut akan menyakitimu kelak. Aku tidak yakin bisa menjadi orangtua tunggal, aku takut... Takut sekali...". Isak Eunha sangat pilu hingga riasan diwajahnya luntur terkena air mata.
Malam yang dijanjikan telah tiba, seperti biasa JK akan menjemput Eunha dan mereka pergi naik mobil. Suasana di dalam mobil hening, tidak seperti biasanya. JK menyadari ada yang aneh dengan Eunha, namun lelaki itu tidak berfikir macam-macam. Mungkin karena hormon ibu hamil, itu yang JK tahu dari ibunya. Kata nyonya Jeon, ia harus maklum jika Eunha sering berubah suasana hatinya semua itu karena efek hamil.
Ketika mereka tiba di depan toko gaun pengantin pun Eunha masih membisu, hati perempuan itu risau tidak menentu. Harusnya ia katakan niatnya untuk putus saat di dalam mobil tadi, namun tidak tahu kenapa mulutnya seperti terkunci.
"Kajja...". Eunha menepis tangan JK yang hendak menggenggam jemarinya. Ia tatap mata JK dengan sorot tajam seperti yang telah ia latih sebelum mereka bertemu.
"Wae?".
"Aku mau mengakhiri hubungan kita, aku tidak pernah serius padamu". Kata Eunha pada akhirnya. Sukses, latihannya tadi sepertinya tidak sia-sia. Meski sekuat tenaga ia menahan air matanya agar tidak terjatuh.
"Nde? Yak! Jangan bercanda, ada apa denganmu eoh?". JK terkekeh karena mengira Eunha bercanda. Namun ketika ia mencoba meraih jemari Eunha lagi, langsung ditepis untuk yang kedua kalinya.
"Yak! Apa-apaan? Kau benar-benar ingin putus?". Kini JK mulai merasa jika sikap dingin Eunha sejak di mobil tadi ada hubungannya dengan permintaannya saat ini.
"Aku tidak ingin melanjutkan hubungan ini". Sejenak JK menyelami manik mata Eunha, mencari-cari apakah ada kebohongan dari sorot matanya. Namun sayang, JK menemukan keseriusan disana, sontak hatinya terasa dicabik-cabik.
"Apa alasannya? Kenapa harus putus? Wae?!". Teriak JK tidak terima. Tentu saja tidak terima karena ia telah berjuang sejauh ini untuk hubungan mereka. Tinggal selangkah lagi menuju kebahagiaan, tapi kenapa Eunha justru memilih untuk berbalik?
"Aku mengalami kesulitan selama ini, satu-satunya yang mudah aku buang adalah dirimu". Ujar Eunha dengan sangat kejam. Mata JK berkaca-kaca, ia tidak rela melepaskan saat cintanya sudah sangat besar untuk perempuan itu.
"Lalu bayi kita?". Tanyanya semakin tercekat.
"Bayi ini ada di dalam perutku, jadi ini milikku. Ini urusanku". Dan setelah mengucapkan satu kalimat yang jauh lebih kejam, Eunha berbalik dan berjalan begitu saja. Meninggalkan JK yang terdiam sambil menahan sakit hati. Menatap punggung kecil Eunha yang berjalan semakin jauh.
"KENAPA HARUS AKU YANG DIBUANG?! WAE? SETIDAKNYA BERIKAN AKU ALASAN YANG JELAS KENAPA KITA HARUS PUTUS?!". Teriak JK frustasi yang sama sekali tidak membuat Eunha berbalik kearahnya.
Flashback end
JK masih betah menatap mata perempuan didepannya ini, perempuan jahat yang telah menghancurkan hidupnya. Setelah memutuskan hubungan secara tidak jelas, lalu menghilang tanpa jejak, dan sekarang kembali muncul dihadapannya. Lalu dengan bodohnya perempuan itu tetap saja membuat dadanya berdebar. JK memang bodoh karena Eunha ternyata masih menjadi satu-satunya perempuan yang mampu memporak-porandakan perasaannya. Eunha yang lebih dulu memutus kontak mata diantara mereka, perempuan itu hampir saja goyah dan menangis. Untung saja ia cepat sadar dan mengenyahkan perasaan rindu yang menurutnya tidak penting. Masa bodo dengan cinta, pekerjaan adalah prioritas utama untuknya saat ini.
Taehe yang menyadari suasana mendadak canggung pun langsung peka dengan menyapa Eunha lebih dulu.
"Sudah lama tidak bertemu, Eunha". Eunha mengalihkan tatapan kearah Taehe sepenuhnya, mengabaikan JK yang masih betah menyorotinya dengan tajam. Perempuan itu membungkuk dengan sopan, ia masih ingat jika Taehe adalah sunbae-nya.
"Annyeonghaseyo, sunbae-nim". Melihat Eunha yang begitu kaku padanya membuat Taehe canggung. Ada apa dengan Eunha, padahal dulu perempuan itu memanggilnya oppa dan tidak sekaku ini.
"Yak! Santai saja, bukankah kita dekat. Bagaimanapun juga kau adalah mantan adik iparku". Ujar Taehe blak-blakan. Perkataan lelaki itu tentu saja membuat JK dan Eunha semakin diliputi perasaan tidak nyaman.
***
"Kau lihat tidak tadi ketika aku menyapa Rin-B? Rawr... Galak sekali, seperti kesurupan macan". Ujar Hobi pada member BNT yang lain. Mereka berlima sedang berjalan menuju studio tempat berlangsungnya interview.
"Haha... Bukankah setelah keluar dari agensi, dia memang jadi sensitif pada kita? Aku bertanya-tanya apakah semua member B-Friend jadi segalak macan? Kemarin aku bertemu Sojung dan dia mengacuhkan ku". Sahut Jun menimpali. Sungguh disayangkan pertemanan antara member BNT dan B-Friend retak karena masalah kontrak dengan agensi. Memang BNT tidak ada hubungannya dengan pembubaran B-Friend namun entah kenapa member B-Friend terbawa suasana. Pokoknya semua hal yang berkaitan dengan Hype dan Saus Music membuat mereka kesal.
"Sudahlah, mungkin mereka hanya butuh waktu. Kita tidak bisa memaksa mereka untuk melupakan kejadian yang menyakitkan itu. Memang pada dasarnya hal-hal yang menyakitkan justru mudah diingat". Kata RN menengahi.
"Butuh waktu berapa lama lagi? Ini sudah lima tahun dan bahkan mereka sudah sukses dijalan masing-masing". Hobi masih tetap tidak terima diacuhkan sobat karibnya si Rin B yang sudah lima tahun tidak mau berkontak dengannya. Padahal mereka dulunya sangat akrab dan kerap melakukan dance challenge bersama.
"Ya... Ya... Omong-omong dimana JK dan Taehe? Cepat hubungi mereka untuk segera menuju studio". Kata AgustD mengabaikan perkataan Hobi. Lantas kelima lelaki itu mencari-cari dua member yang menghilang.
"Oit! Taehe, JK!". Jimi melambai-lambai kearah tiga manusia yang sejak tadi diliputi kecanggungan itu. Lalu cepat-cepat berjalan kearah mereka.
Awalnya member yang lain hendak menyusul namun Hobi buru-buru menahan.
"Apa aku sedang bermimpi? Mantan pacar JK berdiri didepannya setelah lima tahun menghilang? Cepat pukul wajahku dan yakinkan kalau ini hanya mimpi". Pinta Hobi sambil cengo. Gawat kalau JK kembali bertemu Eunha, yang ada benteng setinggi gunung Himalaya yang ia bangun susah payah selama lima tahun ini akan runtuh seketika. Yang member BNT takutkan hanyalah satu; JK kembali ke fase patah hatinya. Patah hati JK itu tidak wajar, lelaki itu hancur sekali saat diputuskan oleh Eunha.
Plak!
Tanpa menunggu lama, AgustD langsung menampar pipi Hobi seperti permintaan lelaki itu.
"Yak! Appo!". Keluh Hobi. Jun nyengir dan puas sekali melihat Hobi kesakitan.
"Hhhh... Memang aku sudah yakin kalau saat-saat seperti ini pasti akan terjadi. JK harus siap menghadapinya". Jun menghela nafas lalu berjalan menyusul Jimi.
"Woah... lihatlah siapa ini, Eunha-yaa? Benar Eunha sudah kembali". Sapa Jimi dengan ramah. Eunha tersenyum tipis dan membungkuk kearah Jimi. Melihat member BNT berdatangan membuat Eunha semakin canggung, ini seperti ia hendak dilabrak karena telah membuat JK menderita.
"Maaf, aku harus pergi". Pamit Eunha lalu buru-buru pergi. Berada didekat JK terlalu lama itu tidak baik, yang ada ia malah nantinya tanpa sadar jatuh kepelukan lelaki itu.
Melihat Eunha pergi, JK tentu tidak terima. Kenapa perempuan itu tidak mengucapkan sepatah katapun padanya saat mereka kembali bertemu? Terlebih JK penasaran dengan percakapan orang didalam toilet perempuan tadi yang ternyata adalah Eunha. Dengan cepat JK menyusul Eunha dan menahan tangan perempuan itu. Tidak ada yang menahan aksi JK, namun Taehe menatap dua sejoli itu dengan tatapan terluka.
Eunha membulatkan matanya begitu merasakan tangan hangat JK melingkari pergelangan tangannya. Karena gugup, secara spontan Eunha menepisnya. Namun JK beranggapan berbeda, ia mengira Eunha sebegitu jijik padanya hingga tidak mau ia sentuh.
"Woah, bahkan ini sudah lima tahun dan kau masih bersikap sedingin ini padaku". Ujar JK sarkas. Kentara sekali jika lelaki itu terluka, Eunha pun menyadarinya.
"Justru karena masih lima tahun, maka aku bersikap demikian". Sahut Eunha dingin.
"Dan kau telah berubah sebanyak ini. Kenapa?". Meski sudah lima tahun dan telah menata hatinya kembali, namun JK masih ingin tahu alasan Eunha meminta putus padanya saat itu. Ia telah mensugesti dirinya sendiri untuk membenci Eunha, namun sejujurnya tidak pernah bisa.
"Oh, sepertinya aku lupa memberitahumu lima tahun lalu kalau sebenarnya sifatku yang sebenarnya seperti ini. Aku bukanlah perempuan baik".
"Dan karena itu kau menggugurkan kandunganmu?". Eunha tercekat. Perempuan itu gelisah ketika JK menanyakan soal bayinya. Bola mata perempuan itu bergerak kekanan dan kekiri, tentu saja tak luput dari pandangan JK.
"Hmmmm... Aku telah menggugurkannya". Kata Eunha tanpa menatap JK. JK lantas mengernyitkan alisnya tidak yakin.
"Benarkah? Lalu siapa bocah yang memanggilmu Eomma ditelepon tadi?". Selidik JK.
"Nde?!...". Eunha kaget luar biasa. Gawat, kalau JK ternyata mendengar percakapannya dengan Jeongsan tadi.
"Yak! Kau jelas salah dengar, tadi bocah itu memanggilku Imo bukan Eomma. Kau mungkin tidak tahu kalau Jiwon Eonnie sudah punya anak, bocah itu keponakan ku". Beruntung Eunha menemukan alasan yang terlintas dikepalanya dengan cepat. Dan alasannya cukup masuk akal. Meski perempuan itu menjelaskan dengan terbata, tentu saja membuat JK semakin curiga.
"Siapa nama bocah itu?".
"Kenapa aku harus memberi tahu? Kita bahkan bukan keluarga". Sahut Eunha cepat lalu pergi begitu saja dengan sangat menyebalkan. JK berdecak, ia menggigit bibirnya menahan senyum. Eunha yang bersikap menyebalkan ternyata masih begitu manis.
***
Jeongsan menatap kertas gambarnya yang masih polos dengan wajah bingung. Teman-temannya yang lain sudah mulai menggambar seperti perintah guru. Namun bocah laki-laki itu bahkan tidak bergerak sedikit pun untuk menyentuh peralatan gambarnya. Guru yang sedari tadi berkeliling melihat pekerjaan para murid pun mendekati Jeongsan.
"Kenapa Jeongsan tidak segera menggambar? Bahkan teman-teman yang lain sudah hampir selesai lho". Tanya Ahra Saem dengan lembut. Jeongsan menatap Ahra Saem dengan wajah cemberut.
"Saem, menggambar ayah dan ibu itu sangat sulit. Aku tidak bisa melakukannya". Sahut Jeongsan polos. Ahra Saem berjongkok lalu mengelus punggung anak itu.
"Emmm... Coba beritahu Saem wajah ayah dan ibu Jeongsan seperti apa?".
"Tidak tahu!".
"Nde? Ibu Jeongsan; Jiwon dan ayah Jeongsan; Daesuk. Masa Jeongsan lupa wajah orangtua Jeongsan". Jeongsan menatap Ahra Saem dengan mata berkaca-kaca.
"Mereka bukan ayah dan ibu-ku, Saem". Batin Jeongsan. Ingat sekali kalau Eunha sering mewanti-wantinya untuk tutup mulut ketika ditanya siapa ibu-nya. Katanya ibu-nya tidak boleh diketahui orang lain karena akan sangat berbahaya, Jeongsan yang tentu tidak mau Eunha disakiti pun menurut saja. Dan jika ia bertanya dimana ibu-nya, maka Eunha akan menjawab; Appa ada ditempat yang jauh, jika Jeongsan ingin bertemu Appa maka tunggulah didepan rumah siapa tahu Appa akan pulang. Dulu kalimat itu hanya diucapkan Eunha secara asal karena lelah mendengar Jeongsan menanyakan ayah-nya. Namun tanpa disangka, sampai saat ini Jeongsan masih terus menunggu ayah-nya didepan rumah setiap hari sampai mengantuk.
Karena tidak mau membuat Ahra Saem cemas, maka Jeongsan mulai menggoreskan crayon di kertasnya. Ia menggambarkan sosok ibu dan ayahnya yang terlintas didalam kepala. Setelah semua anak selesai menggambar, Ahra Saem meminta anak-anak untuk menceritakan hasil karya mereka. Satu persatu anak maju kedepan kelas dan menceritakan sosok ayah dan ibu mereka. Giliran Jeongsan dan anak itu maju kedepan dengan gontai. Perlahan ia tunjukkan hasil karyanya hingga membuat seisi kelas tertawa.
"HAHAHHAHA... Kenapa Eomma Jeongsan sangat gelap?!".
"Menakutkan seperti monster". Komentar teman-temannya hingga membuat anak itu sedih.
"Stttttt... Tidak boleh begitu. Coba kita tanya kenapa Jeongsan hanya memberikan warna hitam di dalam gambarmu?". Tanya Ahra Saem lembut.
"Ini gambar Eomma-ku. Aku hanya bisa bertemu Eomma saat malam hari. Wajah Eomma tidak terlihat karena setiap Eomma pulang, aku sudah tidur". Cerita Jeongsan yang sontak membuat kelas hening seketika. Ketika Eunha pulang, perempuan itu tidak lupa untuk melihat kondisi Jeongsan. Ia selalu pulang larut malam, dan langsung menuju kamar putranya. Kamar Jeongsan hanya dihiasi lampu remang-remang saat malam, wajah Eunha dalam kegelapan itulah yang diingat Jeongsan.
"Lalu ini gambar Appa-ku". Jeongsan membalik kertasnya dan nampak gambar lingkaran besar dengan tanda tanya ditengahnya.
"Aku tidak tahu bagaimana wajah Appa-ku". Dengan lesu Jeongsan kembali ke bangkunya. Teman-teman sekelas Jeongsan merasa kasihan setelah mendengar cerita anak itu. Ahra Saem pun ikut prihatin. Yang mereka semua tahu, orangtua Jeongsan sangat sibuk hingga tidak ada waktu untuk mengajaknya bermain.
To be continue...