Kyandra rasa dia sedang berdiri pada suatu tempat yang begitu terang dan penuh bunga-bunga. Tiba-tiba saja ada dua ekor ular memburunya.
"Ayah... tolong Kyandra..." seru Kyandra mencegah langkah kedua orang tuanya. Bukannya berhenti, mereka malah tetap berjalan meninggalkan Kyandra sendirian dengan ular itu yang semakin dekat— ingin mengigitnya.
Kemudian, saat Kyandra hampir saja digigit. Buku itu kembali hadir di hadapan Kyandra dan seketika kedua ular itupun terkapar tidak berdaya.
"Eum..." Kyandra menunduk, berusaha meraih tangannya pada buku itu, saat ia akan menyentuhnya, tiba-tiba...
"HAH?!" Matanya terbuka lebar, napasnya sedikit tidak beraturan.
"Ternyata hanya mimpi..." ucap Kyandra menarik napas lega.
Ia baru menyadari satu hal, bahwa sekarang, dirinya sedang berselimut kain sutra yang hangat, dan terbangun dari ranjang yang halus. Ia berupaya mengingat tempat itu, yang seperti tidak asing lagi baginya.
Kyandra melompat, terkejut.
"AA! Kamar ini lagi!!" Ia mengamati pakaiannya dengan baju tidak lagi utuh.
"AAAA!! Dasar pria batu yang mesumm!!" Kyandra berteriak sekencang mungkin.
Orpheus yang selalu tidur sesukanya, bangun sesukanya, sekarang terpaksa ia harus beranjak karena suara bising yang memenuhi gendang telinganya itu.
"Hey! Apakah mulutmu itu hanya berguna untuk berteriak dan makan?!" bentak Orpheus, yang muncul dari balik rak buku besar.
"KATAKAN! APA YANG KAU LAKUKAN PADAKU! HA?! MENGAPA ROKKU MENJADI SEPERTI INI?!" hardik Kyandra geram.
Orpheus hanya mendengus malas, ia berpikir,a lebih baik mencari hal yang dapat dimakan dibandingkan harus menjelaskan banyak hal pada penyihir gila seperti Kyandra.
Orpheus membalik badan, hendak keluar kamar.
"HEY! TANGGUNG JAWAB!" Kyandra berteriak lagi.
Ia menduga pasti telah terjadi sesuat padanya. Jika sampai laki-laki batu itu, benar-benar telah melakukannya. Bagaimanapun ia harus bertanggung jawab atas entah apa yang dilakukannya semalam.
Orpheus sama sekali tidak menghiraukan teriakan Kyandra, dengan santainya ia mengambil satu set busur dan memasangkannya di pundak, lantas pergi keluar.
Kyandra memaki dirinya sendiri. Ia menyesali perbuatannya saat memaki kehidupan, dan berandai sebuah lukisan dapat ditembus. Saat Tuhan mengabulkannya, lihatlah, apa yang telah terjadi sekarang? Apa yang harus ia lakukan?
"Aku akan mandi dan berganti pakaian. Pasti laki-laki batu itu punya beberapa helai kain yang dapat aku pakai," kata Kyandra, kembali mengamati kamar Orpheus.
Ada rak buku yang tinggi sekali dengan tempat membaca yang nyaman.
Kyandra menyeringai pada sebuah lemari baju yang besar. Beberapa kali ia berusaha membukanya, tetapi gagal.
"Dikunci. Sial! Sudah tidak berperasaan, mesum, pelit lagi!" dengusnya.
"Meskipun dia tampan... ya, aku akui itu. Tetapi tetap saja, dia menyebalkan!" Kyandra memutar bola matanya.
Pada akhir pandangannya menatap sebuah kunci yang terletak pada rak buku paling atas. Ya! Kyandra yakin salah satu dari kunci itu ada yang dapat ia gunakan untuk membuka pintu lemari.
Kyandra berusaha menggapainya, tubuh Kyandra tidaklah setinggi Orpheus, meski ia telah berjinjit sedemikian rupa, tetap saja, kunci itu seperti masih mengejekinya.
"Awas saja, kau ya!" Kyandra menggoyangkan lemari itu, menendangnya beberapa kali, dan terus berupaya agar kunci itu dapat terjatuh.
Rak buku itu berguncang hebat. Sama anehnya dengan Orpheus, benda-benda yang berada di rumahnya pun begitu.
Rak itu terus bergoyang meskipun Kyandra telah menghentikan gerakkannya.
Rak itu terus berguncang, seperti tidak terima akan perilaku kasar Kyandra.
"Apa yang terjadi dengan rak buku ini?" Kyandra melangkah mundur.
Semakin ia menjauh, semakin keras pula guncangannya.
Buku-buku yang berada di sana hampir saja menghantam tubuhnya.
Kyandra membuka matanya yang ketakutan, yang ia tutupi dengan tangan. Ia berpikir, mungkin setelah itu akan melihat jasadnya yang menyedihkan, dan telah berpindah ke alam lain.
Suara buku jatuh berdebam memang terdengar, tetapi, tidak ada satupun benda-benda yang jatuh itu menyentuh tubuhnya. Ia hanya merakan hembusan napas kasar yang berada dekat sekali dengan wajahnya yang meringis ketakutan.
Ia benar-benar membuka matanya sekarang. Bak disambar petir. Mata Kyandra langsung melotot tajam. Hampir tidak ada lagi jarak yang menghalau, menempelkan muka mereka.
Orpheus menundukkan tubuhnya, menerima serangan jatuhnya buku-buku itu. Saat melihat Kyandra yang menatap matanya. Ketika pandangan mereka bertemu, Orpheus tidak lagi merasakan sakit. Padahal, selain buku, ada kunci yang terjatuh juga mengenai punggungnya dan berdarah.
Orpheus merasa tatapan Kyandra adalah obat, tubuhnya yang berasa panas setiap harinya, otaknya yang selalu mendidih setiap saatnya, dan hatinya yang penuh akan api dendam itu. Semuanya seakan surut begitu saja.
Sejak mereka bertemu, inilah kali pertama mereka untuk bersitatap sedekat ini.
Kyandra juga mengamati tubuh Orpheus yang kekar, otot-ototnya terlihat menahan tubuhnya agar tidak bersentuhan dengan Kyandra.
"Bodohnya kau Kyandra! Mengapa otakmu itu baru mengingatnya sekarang? Tubuh inilah yang engkau lihat kemarin! Dialah yang menyelamatkanmu dari dua penjahat itu! Mengapa engkau dapat sebodoh ini Kyandra! Tadi kau malah menuduhnya yang tidak-tidak, memarahinya, dan lebih tidak tahu diri, membuatnya tidur diluar ranjang demi dirimu!" maki Kyandra dalam hati.
Kyandra tidak pernah suka berhutang budi pada siapapun, ia harus meminta maaf pada pria yang dia bahkan belum tahun namanya itu.
Keheningan yang tercipta beberapa saat itu terpecahkan saat Kyandra berkata,
"Eum... maaf," celetuknya.
Kesadaran Orpheus kembali, Ia menghempaskan semua buku yang jatuh, dengan sekali rentangan tangannya.
Ia berdiri tegak. Menarik tangan Kyandra kasar; begitu saja agar bangkit dari sana.
"Aku mohon maaf." Kyandra mengulangi ucapannya.
"Tidak usah menggigiti bibirmu seperti itu, aku tahu tubuhku menarik," tangkas Orpheus.
Kyandra membodohkan dirinya lagi. Bibirnya itu kenapa?! Ia sama sekali tidak menyadarinya jika ia telah melakukan itu sejak tadi.
Kyandra mendengus, berusaha menutupi pipinya yang memerah dengan kemarahan, "Aku ucapkan terima kasih, dan maaf untuk kejadian tadi," ucap Kyandra.
Orpheus masih dengan sikap dinginnya.
"Apakah kau tidak bisa diam, dan tidak usah mencari masalah untuk dirimu sendiri?! Aku tidak perduli!"
"Aku, kan sudah minta maaf."
"Bukan urusanku!" Orpheus membalik badannya, ia hendak kembali turun.
Kyandra melihat baju putih Orpheus menjadi kemerahan, bajunya robek dan darah mengalir lambat di sana.
"Tubuhmu!" Kyandra langsung saja berlari, dan mengecek tubuh Orpheus. Ia sentak terhenti.
"Ayolah... Duduk sebentar, akan aku obati," kata Kyandra, menarik-narik tangan Orpheus yang tadinya enggan bergerak. Ia terus menariknya, dan mendudukkannya pada ranjang.
"Dimana letak obatnya?"
"Aku tidak butuh obat."
"Punggungmu berdarah," desak Kyandra khawatir.
"Aku tidak pernah terluka, jadi aku tidak pernah butuh obat," ucap Orpheus masih dengan nada dinginnya.
"Buktinya sekarang kau terluka! Ayolah! Katakan di mana kotak obatmu!" Kyandra membuka semua laci yang ada, dan mengecek pada tempat-tempat pada kamar itu, yang berkemungkinan untuk menyimpan kotak obat.
"Dimana kotaknya? Semua itu karena aku, aku harus mengobatimu..."
Orpheus mendengus, "Ya! Manusia memang hanya dapat melukai. Sudahlah! Aku tidak butuh apa pun." Orpheus beranjak.
"Lukamu..."
Orpheus sudah tidak hirau. Ia kembali menyambar panahnya, dan meninggalkan rumah.
Kyandra menatap iba pada punggung lelaki yang berjalan menjauh itu.
Tidak ada yang dapat ia lakukan, ia juga tidak dapat menahannya lama, ia bukan siapa-siapa yang berhak apa-apa. Hanya saja, rasa bersalah pada Orpheus membuat Kyandra tidak dapat diam saja.
"Dari matanya saat menatapku, dari wajahnya yang demikian. Aku rasa aku mengerti, bahwa laki-laki batu itu, mengeras karena trauma kepada manusia dalam kehidupannya."
Kyandra tersenyum iba. Ia memutar otaknya, berpikir, apa yang seharusnya ia perbuat kini?