Gelap, dingin, lapar dan sakit.
Itulah yang dirasakan oleh perempuan cantik bergaun merah yang duduk bersimpuh di dalam sel. Matanya terpejam dan kedua tangannya mengatup–pertanda sedang berdoa.
Tap. Tap. Tap. [Suara langkah kaki]
Mendengar itu, ia tersenyum. "Akhirnya kau datang, Rion." Kedua matanya terbuka dan menatap teduh ke arah pria yang berdiri di luar sel. Ia berdiri dan berjalan mendekati pria tersebut. Selama lima detik mata coklat beningnya beradu pandang dengan mata hazel yang terlihat sangat tajam. "Apa sekarang kau menyesali perbuatanmu? Tidak apa-apa aku memaafkanmu." Ia tersenyum sangat lebar, matanya berbinar-binar, tapi kedua hal indah itu hilang seketika saat ....
"Lucas sudah dieksekusi, besok giliranmu."
Matanya terbelalak dan tulangnya bergetar. "A-apa ... k-kau benar-benar melakukannya, kenapa?" Suaranya gemetar, air matanya mengalir, dadanya sesak. Ia membeku menatap nanar wajah dingin pria berambut abu-abu di depannya.
"Kau tahu persis alasannya."
"Apa yang kau lakukan, Rion. Lucas tidak bersalah."
"Kau benar. Dia tidak bersalah. Aku yang salah karena mencintaimu dan mempercayainya."
"Jadi kau percaya bahwa aku dan Lucas menghianatimu?" Ia menatap lekat wajah di depannya, wajah itu terlihat tidak memiliki jejak emosi apapun. Lima detik berselang pria itu tidak memberikan jawaban apapun.
"Aku mengerti."
"Katakan permintaan terakhirmu."
Mata coklat itu menatap sangat dalam mata hazel yang selama ini selalu menatapnya penuh cinta dan kehangatan, sekarang mata hazel itu benar-benar tidak mememiliki apapun selain kebencian.
"Aku ... aku ada dua permintaan."
"Setiap terpidana mati hanya memiliki satu."
"Aku tahu, tapi apa kau ingat saat kita menikah, kau menghadiahiku dengan tiga permintaan. Aku sudah menggunakan dua artinya masih ada satu."
"Katakan."
—
Di pagi hari yang mendung, orang-orang berkumpul di sebuah lapangan untuk menjadi saksi dari sebuah peristiwa besar yang sebentar lagi akan terjadi, seorang raja akan mengeksekusi mati ratunya.
Kabar bahwa raja menjatuhkan hukuman mati pada ratu sudah menggemparkan istana dan sekitarnya sejak satu pekan terakhir dan bertambah gempar lagi saat semalam raja mengatakan bahwa dia akan memenggal kepala ratu dengan tangannya sendiri.
Di atas altar eksekusi, dia, pria bermata hazel serta bertubuh tegap bergeming, memandang keramaian di bawah dengan pandangan yang sulit diartikan. Angin di ketinggian mengibarkan rambut panjang abu-abunya yang nyaris menyentuh mata kaki.
[Permintaan pertama, aku ingin besok kau yang menjadi algojoku.]
Kalimat tersebut terngiang berulang-ulang di dalam kepalanya. Tidak ada orang yang tahu jika saat ini seluruh tubuhnya diselimuti keringat dingin sampai ujung jari-jarinya memucat.
Penghianat, penghianat huuuu penghianat!
Teriakan dari keramaian di bawah membuatnya tersadar dari lamunan. Sekarang matanya terfokus pada seorang perempuan bergaun merah yang dibawa menuju altar oleh kesatria berambut coklat dan seorang prajurit berseragam.
"Yang Mulia ampunilah ratu. Kami mohon ... hiks ...."
"Penghianat harus dihukum!"
Suara keramaian di bawah terbagi dua. Satu bagian menangis pilu memohon agar ratu tidak dihukum dan satu bagian yang lain mendesak agar ratu dihukum. Sangat jelas kalau hal tersebut membuat pikirannya kalut.
"Yang Mulia."
"Ha?" Napasnya terhentak. Lagi-lagi ia melamun sampai tidak menyadari bahwa tiga sosok yang tadi ia perhatikan telah berada di dekatnya.
Sekilas, ia menatap kesatria berambut coklat lalu beralih pada perempuan bergaun merah. Selama beberapa detik mereka saling memandang.
"Terima kasih sudah memenuhi permintaanku yang pertama. Aku harap kau juga memenuhi permintaanku yang kedua.
"Trish, bawa dia."
Suara dari bawah semakin riuh ketika kepala sang ratu dimasukkan ke lubang maut. Mereka yang tidak ingin ratu dihukum mati menangis sejadi-jadinya dan berteriak parau agar raja tidak melakukannya sementara mereka yang ingin ratu dihukum pun berteriak, memrovokasi raja agar melakukannya dengan dali menegakkan hukum.
"Yang Mulia." Trish mencemaskan keadaan rajanya, ia sangat tahu kalau rajanya saat ini sangat tertekan.
Sang raja tidak mengatakan apa-apa, ia mulai mengangkat tangannya untuk memegang gagang pisau, tangan itu terlihat sangat gemetar.
Trish semakin cemas.
Lima detik berlalu, sang raja bergeming menatap tangannya yang menggenggam gagang pisau. Berat, sangat berat. Sakit, sangat sakit. Hatinya menangis. [Kenapa kau melakukan ini, Rose? Aku sangat mencintaimu tapi kau ... kenapa?!] Rasanya ia ingin berteriak. Kesal, marah, kecewa, sedih. Semuanya bercampur aduk.
"Yang Mulia hukum penghianat itu!"
[Benar. Penghianat harus dihukum." Ia mempererat genggaman tangannya dan membulatkan tekad. [Selamat tinggal, Rose.] Ia memejamkan mata dan menarik turun gagang di tangannya. Pisau terjatuh dan ....
Tap!
Kepala sang ratu terlepas. Tangisan dan teriakan dari bawah pun pecah.
"Yang Mulia!" Trish dengan cepat menahan tubuh rajanya yang mundur dengan langkah zig-zag dan akan jatuh seandainya ia tidak datang tepat waktu.
"Yang Mulia ...." Ia memeluk erat tubuh sang raja. Ttubuh itu sangat sangat gemetar dan sangat dingin. Oh tuhan. Ia melihat ke langit, mati-matian menahan air matanya agar tidak keluar. Dia tidak pernah melihat rajanya gemetar seperti sekarang.
—
Ratusan bunga mawar bermunculan dari dalam tanah dan tumbuh secara tidak wajar sesaat setelah tubuh sang ratu dimakamkan. Tentu saja, fenomena tersebut membuat terkejut dan bingung orang-orang yang menyaksikannya. Tidak terkecuali sang raja, dia terlihat yang paling terkejut.
Dengan cepat kelopak-kelopak mawar merah bermekaran dan entah apa yang terjadi, kelopak-kelopak tersebut bersinar dan menunjukkan sesuatu yang membuat raja terbelalak.
[Permintaan kedua, kubur aku di tempat kau melamarku dulu. Jika tanah di sana menjadi tandus maka artinya aku bersalah tapi jika tanah di sana ditumbuhi banyak mawar artinya aku benar, cintaku benar dan kematianku akan menjadi penyesalan terdalammu.]
Yah, kelopak-kelopak tersebut menunjukkan rangkaian kilas balik kebenaran sejati dari sang ratu.
"A-apa yang sudah kulakukan?" Ia jatuh berlutut. Matanya memandang kosong.
[Semoga kau bisa memaafkan dirimu sendiri, rajaku. Ratumu meminta izin untuk pergi.]
Jiwa sang ratu tersenyum lalu menghilang, menyisahkan kelopak-kelopak mawar yang beterbangan, menari mengikuti angin dan membuka kisah dari Odette Under the Rose Tree.