Tiga kakak kelas berkenalan di depan kelas. Dua cowok dan satu cewek. Cowok pertama yang merupakan ketua klub Bahasa Jepang. Dia Farzan. Berambut ikal. Sedikit lebih tinggi dari Ali dan teman laki-laki yang kedua.
Laki-laki yang kedua. Dia Afif. Bisa dibilang dia adalah wakil ketua klub. Saat perkenalan dia terkesan humoris di depan para adik kelas. Berambut pendek rapih.
Dan yang terakhir, kakak kelas perempuan. Tania. Dia merupakan seorang bendahara kelas yang bisa cukup serius. Berambut pendek, hitam. Fakta menariknya dia berpacaran dengan Farzan. Kisahnya juga sedikit unik. Hanya saja bagian itu yang dilewati olehnya. Mungkin kalau ingin tahu, bisa bertanya secara langsung padanya.
"Kalau begitu, tinggal kalian yang mulai berkenalan," ujar Farzan.
Mereka berempat saling menoleh satu sama lain. Mereka sudah saling mengenal saat ketika memasuki masa orientasi. Jadi buat apa saling berkenalan.
"Jadi, kalian malu-malu atau bagaimana?" tanya Farzan.
Metha, lebih dahulu berdiri, berkenalan namanya. Lalu dilanjut oleh Rizal, Elaina dan terakhir Ali.
"Hanya empat?" tanya Tania. "Tidak masalah, selama klub ini ada anggotanya semua baik-baik saja."
"Baiklah kalau begitu, kalian boleh pulang." Farzan mengatakan dengan lega.
Hanya begitu saja? Metha membatin. Ini lebih parah dan tidak sesuai ekspetasinya. Memang mau melakukan apa lagi? Dia menghela lesu.
"Tapi," Farzan melanjutkan lagi. "Jika kalian ingin berbicara dengan kami. Kalian boleh mampir sejenak. Anggap saja kita keluarga. Bawalah dengan santai."
Kelas 10-9 lengang. Mungkin masih canggung dengan kakak kelas. Mengingat mereka juga yang membentak ketika masa orientasi. Memang tidak ada yang perlu dibicarakan untuk saat ini.
Elaina berdiri dari tempat duduk. Dia berpindah duduk di belakang Ali.
"Hei, Ali, apa yang kamu lakukan di sini?" tanya Elaina. "Bukankah kamu seharusnya bergabung dengan klub menulis?"
"Mungkin alasanku sama dengan Rizal."
Aku tidak tahu alasannya, batin Elaina, dia ingin sekali menghajar Ali yang telah menjawab itu. Klub bahasa Jepang. Ya itu satu-satunya rumah di sekolah untuk saat ini bagi Elaina. Tidak ada klub desain, jadi terpaksa dia bergabung dengan klub Bahasa Jepang. Alasannya cukup sederhana, gambaran yang selama ini dia buat adalah gambar anime. Berbeda seperti SMP yang masih ada klub Mangaka, tapi di SMA hal itu tidak ada.
Ruangan lengang, tiba-tiba bel kereta berbunyi, ketika melintas. Wajar saja SMA itu dekat dengan rel kereta yang selalu memeriahkan suasana ketika lengang. Dan juga suara motor yang terus menggerung. Karena kelas 10-9 dan juga 10-8 dekat dengan tempat parkir sepeda.
Farzan mulai menepuk tangan sekali. "Kalau begitu, ayo kita melingkar."
Bangku depan mulai disisihkan sedikit lebih luas. Kakak kelas dan siswa baru pun mulai membentuk lingkaran.
"Mungkin kalian, sudah saling mengenal satu sama lain. Jadi, kemungkinan klub ini akan bertahan sangat lama," ujar Farzan. "Kalau boleh tahu, hobi kalian apa?"
Hobi? Elaina mendengar kata hobi sudah mulai tertunduk. Dia jadi teringat kembali dengan perlombaan saat masih SMP. Ingin sekali rasanya dia tidak menjawab. Tapi kalau sudah ditanya apa boleh buat.
"Hobiku selalu berhubungan dengan gadget," Rizal menjawab terlebih dahulu.
"Singkat kata, kamu suka bermain game, bukan?" sahut Ali.
"Kenapa kamu memberitahu dengan jelas." Rizal menarik kerah Ali.
"Itu kenyataannya, bukan?"
Metha menepuk dahi. Kakak kelas hanya tertawa.
"Lalu bagaimana dengan kamu, Ali?" Farzan bertanya.
"Kalau aku, mengarang cerita, beberapa ceritaku pernah maju ke kompetisi, namun tidak ada satu pun yang menang." Ali hanya terkekeh. "Mengingat hal itu, mungkin sedikit menyedihkan. Aku sudah berjanji, sebelum lulus dari SMP, aku harus memenangkan lomba mengarang cerita pendek. Alhasil, impianku hancur saat itu, dan juga aku tidak bisa menempati janjiku sendiri."
Ruangan kembali lengang, mendengar cerita Ali yang sedikit sedih. Elaina yang semula tertunduk, dia mengangkat kepala, memandang Ali. Bagaiamana dia bisa memunculkan semangat yang luar biasa itu? Sedangkan dirinya sendiri tidak bisa. Meski tujuannya dia bergabung untuk membangun semangat meraih impian itu kembali, tetapi hingga detik ini dia belum bisa membangun semangat itu.
"Kalau begitu, Elaina?" Farzan menoleh pada Elaina yang duduk di samping Ali.
Elaina tidak menjawab, masih melamun.
"Elaina?" Mereka berenam memandang Elaina kebingungan yang tiba-tiba melamun.
Tiba-tiba saja Metha, menepuk pundak Elaina. "Sadarlah!"
Elaina tersadar dari lamunannya. Dia memandang sekitar dan juga punggunya sakit, ditepuk oleh Metha.
"Ada apa?" tanya Elaina.
"Hobi?" Farzan bertanya balik.
"Kalau hobi, aku memiliki hobi menggambar. Itu hobiku."
"Hanya itu saja?" tanya Farzan.
Elaina mengangguk.
"Kalau begitu, bagaimana denganmu, Metha?"
"Aku tidak punya hobi. Tapi aku bisa sedikit bahasa Jepang."
***
Kegiatan klub usai dengan cepat. Tidak ada lagi yang harus dibahas. Elaina, Ali, Metha, dan Rizal, melangkah berjajar keluar dari kawasan sekolah. Matahari senja menyambut dengan indah. Begitu bersih tanpa awan. Warna jingga berpadu dengan biru.
"Hei, El memang kamu tadi memikirkan apa?" Ali bertanya.
"Entahlah," balas Elaina. "Aku baik-baik saja." Sebenarnya ada sesuatu yang dia sembunyikan selama ini. Lomba yang gagal saat SMP. Itulah yang sebenarnya disembunyikan oleh Elaina.
"Kamu yakin?" tanya Ali.
Elaina mengangguk. "Tenang saja, tidak ada yang perlu dikhawatirkan dariku. Aku baik-baik saja." Dia tersenyum, memandang Ali. Meski senyuman itu penuh kebohongan.
"Hei, bagaimana kalau akhir pekan, kita pergi ke mal?" Metha memberi usul yang tiba-tiba datang entah dari mana.
"Eh, kita baru saja bertemu, sudah ingin pergi ke mal saja," sahut Rizal.
"Tidak apa-apa bukan?" tanya Metha. "Jadi bagaimana denganmu, Ali, Elaina?"
"Entahlah, aku pikirkan terlebih dahulu." Ali membalas.
"Aku pun juga begitu," jawab Elaina.
"Baiklah, kalau begitu."
Mereka tiba di depan gapura sekolah. Metha dan Rizal sudah pulang terlebih dahulu, kini menyisakan Elaina dan Ali menunggu di depan gapura. Tidak berbicara, Elaina tengah bermain ponsel sejak tadi, menunggu jemputan.
Ali berdiri di sampingnya, hanya memandang sekitar. Kendaraan macet di depan sekolah. Wajar saja ada kereta melintas, sehingga menimbulkan macet. Ditambah juga berada dekat dengan kawasan sekolah.
"El." Ali memanggil. "Kamu tengah menyembunyikan sesuatu, bukan?" Ali bertanya.
Elaina terdiam. "Tidak. Tidak ada yang kusembunyikan dariku."
"Benarkah?" Ali memastikan lagi.
"Aku bersungguh-sungguh."
Mendengar itu membuat Ali lebih sedikit lega. "Baguslah." Padahal hubungan mereka tidak lebih dari sekedar sahabat.