Senja telah berganti malam. Bintang-bintang bertaburan. Bulan bersinar cukup terang, bulat sempurna.
Elaina merebahkan diri di atas kasur kamarnya. Terdapat meja, kursi, laptop, dan alat desain—pentab. Sudah tiga bulan mungkin, dia tidak menyentuh pentab itu. Dia tidak memiliki semangat lagi. Dinding kamarnya berwarna putih, bersih. Tidak ada satu pun coretan. Lemari berada di pojok ruangan, berupa lemari kayu dengan cermin. Di lantai sebelah lemari, terdapat setumpukan kertas yang perlahan kian meninggi. Itu hasil gambaran yang pernah dibuat Elaina. Mungkin dari saat dia sekolah dasar.
Elaina hanya merebahkan diri, memandang langit-langit. Sesekali dia melirik ke arah pentab. Pentab itu merupakan pemberian hadiah ulang tahunnya. Itu terjadi ketika dia masih kelas satu SMP. Dia pun mengubah posisi dari merebah menjadi duduk. Menyilakan kaki di atas kasur. Tatapannya pun masih mengarah pada pentab itu.
Mungkin bisa kucoba. Elaina menurunkan kedua kaki, menyentuh lantai. Dia melangkah, menarik kursi, duduk di depan meja belajar yang terdapat laptop dan juga pentab. Dia menyalakan laptop, memasang colokan pentab ke laptop. Ketika laptop sudah menyala semua, dia membuka software Paint Tool SAI. Ketika hendak menggambar garis. Tangannya terhenti tiba-tiba. Seluruh ingatan yang menghantuinya kembali muncul. Dia meletakkan pen sejenak.
Kenapa masih terbayang? Elaina menyandar di kursi. Kini dia juga meletakkan tab-nya sembarang. Tidak bisa. Masih sulit untuk melakukannya. Alhasil apa yang ada di hadapannya masih kosong. Tidak ada coretan apa pun kecuali titik.
***
Kamar Ali lengang hanya terdengar tuts papan ketik diketik dengan cepat. Tulisan yang berada di depan layar kini sudah ribuan kata menghiasi. Sesekali dia berhenti, merehatkan sejenak tubuhnya. Sesekali dia melihat jam di dinding. Masih pukul delapan malam.
Masih lama. Ali kini melanjutkan ketikannya. Dia tengah berencana membuat novel. Walau sebenarnya sudah berapa kali ditolak oleh penerbit. Tumpukan kertas di atas lemari buku kian meninggi. Itu merupakan hasil tulisan yang sudah dia buat, berakhir penolakan. Sebenarnya ada dua cara. Merombak ulang atau membuat baru. Hanya saja, Ali memilih untuk membuat yang baru, ketimbang merombak ulang. Walau dia ingin sekali merombak.
Tidak hanya tumpukan kertas itu saja. Dalam laptopnya juga terdapat puluhan cerita yang sudah dia buat. Untuk kompetisi khususnya. Dia selalu menang. Hanya saja kegagalan saat di akhir tahun SMP itu membuatnya sedikit syok, tidak ingin menulis lagi. Namun, itu baru sekali, baginya. Bagaimana pun juga, dia mulai bangkit lagi. Menghajar seluruh ide dan konsep yang sudah tertanam di kepala.
Dan dia ingat, kalau sebenarnya dia mengikuti berbagai kompetisi itu hanyalah untuk menguji coba kemampuannya. Selain itu, tujuan utamanya, dia ingin naskah yang dia tulis diterima di penerbit.
***
Pagi, di kelas yang sepi. Ali menguap lebar. Dia semalam menulis hingga larut. Meski begitu, dia berusaha menahan kantuk itu, walau dia ingin sejenak memejamkan mata. Ditambah, pagi tadi, Ibu-nya mengomel. Hal itu membuat Ali jadi tidak mengantuk lagi.
Rizal menapakkan kaki, memasuki kelas. Dia kebingungan melihat Ali yang tidak biasa. Terkantuk-kantuk.
Jangan bilang, kamu bergadang lagi. Rizal meletakkan tas ransel di samping bangku. Lalu, menepuk pundak Ali.
"Hei, bangun, kamu pikir ini tempat tidur?"
Ali membuka mata dengan terkejut, dia memandang Rizal. "Selamat pagi, Zal." Dia kembali menguap.
"Kamu tidur jam berapa?" tanya Rizal.
"Mungkin jam dua pagi. Kalau tidak salah liat." Ali mengingat-ingat.
"Itu lebih parah dari yang kubayangkan." Rizal menghela napas. "Aku tahu kamu memang tergila-gila dengan hobimu, tapi kamu harus memastikan tidurmu."
"Apakah itu sering dikatakan oleh orang yang suka bermain game hingga larut malam?" tanya Ali sembari mengernyitkan alis.
"Aku tidak bilang sering bergadang. Kadang saja, kalau ada event, baru aku mengejarnya."
***
Jam istirahat kedua telah tiba, bel dibunyikan. Seluruh siswa berbondong-bondong ke kantin untuk makan siang. Kantin sekolah terletak di pojok. Terdapat 10 kios yang buka, menjual berbagai makanan dan juga cemilan. Ali dan Rizal pergi ke kantin kios nomor dua dari depan kantin. Dia melihat menu makanan bersama Rizal.
"Oh, kamu lagi, ya Li. Mau pesan apa?" tanya ibu pemilik kios nomor 2.
"Astaga, baru ketemu kemarin sekarang sudah hafal." Ali sedikit terkejut.
Ibu pemilik kios itu terkekeh. "Jadi mau pesan yang sama seperti kemarin?"
"Iya bu, saya tunggu ya."
"Baiklah, bagaimana dengan Rizal?" tanyanya lagi.
"Mungkin sama dengan Ali."
Mereka pun meninggalkan kios, duduk di bangku yang kosong, menunggu makan siang tiba.
"Hei, Li. Bagaimana hubunganmu dengan Elaina?" tanya Rizal.
"Elaina? Hubungan seperti apa maksudmu?" Ali bertanya kembali.
"Seperti hubungan asmara, mungkin." Rizal menyeringai.
"Tidak mungkin hal itu terjadi. Lagi pula hubunganku dengan Elaina hanya sebatas teman, tidak lebih."
"Kupikir bisa lebih. Entah bagaimana caranya, suatu saat kamu bisa-bisa terpincut."
Ali menopang dagu, melihat para siswa berjalan keluar-masuk kantin. Suasana yang cukup ramai. Celotehan siswa yang saling bersahut-sahutan saat berbicara juga ikut terdengar. Suara piring, pun ikut memeriahkan suasana dalam kantin.
Makanan telah datang, nasi ayam geprek kesukaannya.
Mana mungkin perasaanku pada Elaina bisa mekar. Ali melengkungkan bibir ke bawah. Dia yakin hubungan dengan Elaina hanya sebatas sahabat. Tidak lebih dari itu. Lagi pula merepotkan juga kalau berpacaran. Terkekang oleh karirnya yang kini tengah dia perjuangkan.
***
Kertas kosong terpajang di atas meja. Di sampingnya terdapat pena yang tengah tertidur. Elaina berusaha melawan rasa takut itu. Namun, tetap saja dia masih tidak berani menggambar.
Mungkin bukan sekarang. Itu yang terbesit dipikiran Elaina. Dia menghela napas dengan lesu. Ternyata tidak semudah apa yang dia pikirkan.
Elaina melipat kertas kosong itu, memasukkan ke dalam tas. Pena dimasukkan ke dalam tempat pensil.
Metha datang memasuki kelas. "Elaina, kamu tidak keluar?" tanyanya.
"Aku sudah makan siang," jawab Elaina.
"Baguslah." Metha mengambil tempat duduk di samping Elaina.
"Memangnya kenapa?" tanya Elaina kembali.
"Tidak apa-apa, hanya memastikan saja. Soalnya sejak tadi, kamu lebih sering di kelas."
"Begitu ya? Tapi aku tadi membawa bekal."
Lengang menyelimuti mereka berdua kembali. Elaina hanya melamun memandang meja kosong yang ada di depan. Metha duduk di samping, sedikit melirik Elaina yang melamun. Entah dia tengah memikirkan apa sekarang.
"Elaina, ada sesuatu yang ingin aku tanyakan padamu." Metha memecah hening. "Kamu memiliki masalah?"
Elaina tersadar. "Tidak ada kok." Dia terkekeh seolah baik-baik saja.
"Benarkah? Sejak kemarin kamu tidak tersenyum sama sekali."
"Apa maksudmu?" Elaina memastikan.
"Maksudku adalah kamu tidak bisa menikmati masa mudamu. Memangnya ada yang mengganjal? Kalau ada yang mengganjal kamu boleh bercerita padaku."
"Terima kasih." Elaina menjawab. "Tapi untuk saat ini tidak dulu. Aku tidak memiliki masalah apa pun. Aku baik-baik saja."
Metha menyipitkan mata. Dia tahu ada yang disembunyikan oleh Elaina selama ini. Bahkan mungkin sejak masa orientasi.