Mobilku sampai di sebuah taman kota. Aku keluar sembari melihat sekeliling dengan jelas. Tak ada wajah Jihan yang nampak. Aku mencoba mencari dengan lebih dekat lagi ke tengah taman. Aku lihat semua yang ada. Tempat duduk taman tidak ada Jihan. Toko roti juga tidak ada. Toiletpun tidak ada Jihan di sana. Aku menunduk lesu. Di mana kau Jihan? Aku sangat mengkhawatirkanmu.
Aku masuk ke dalam mobil dengan terpaku memikirkan Jihan dimana. Mungkin selanjutnya aku akan ke danau. Semoga saja dia ada di sana.
Saat sampai di depan danau. Tidak ada seorangpun kecuali danau yang tenang dengan pohon besar. Kulihat sekeliling membayangkan kembali bagaimana aku saat berbincang dengan Jihan. Aku masih ingat betul dia bercerita dengan wajah manisnya itu. Ya Tuhan bagaimana mungkin Jihan meninggalkan aku seperti ini. Aku menarik nafas panjang dan menghembuskannya dengan kesal. Aku pergi dari danau itu. Kembali melihat danau lagi. Aku tahu tidak ada siapa-siapa di sana.
Kini aku masuk ke dalam mobil. Aku mencoba berpikir keras. Di mana lagi aku harus mencari keberadaan Jihan. Akhirnya setelah beberapa menit aku tahu di mana harus menemukan Jihan. Mungkin aku harus ke tempat di mana ayahnya bekerja. Aku yakin dia pasti juga sedang mencari Jihan.
Malam terasa ramai di dalam club. Aku yakin akan menemukan petunjuk di mana keberadaan Jihan. Aku berusaha mengingat kembali wajah Jack dan dua orang pria berbadan besar itu.
Dentuman musik sangat terasa menekankan telingaku. Karena aku tidak biasa memasuki tempat seperti ini. Mataku juga sesekali silau dengan lampu warna warni yang mencolok dan berputar membuat pusing saja.
"Hai tampan, apa kau mau bermain denganku?" tanya seorang perempuan dengan dada menyumbul.
Aku langsung saja menolaknya sambil membuang muka. Aku berdalih sedang buru-buru. Lalu wanita itu penuh dengan wajah kecewa.
Kini aku duduk dan berpura-pura menikmati musik. Kuanggukan kepalaku mencoba seperti mereka. Agar tidak ada yang mencurigai ku. Beberapa wanita selalu memintaku untuk berdansa namun aku menolaknya dengan sopan. Aku memesan minuman soda. Tentu saja tanpa alkohol.
Mataku mengamati semua orang di sini. Aku melihat dua orang pria yang ada di gedung tua itu. Aku sangat yakin itu mereka yang mengikat Jihan. Kubuka ponsel dan melihat foto yang pernah aku tangkap. Setelah mengamati ternyata benar saja. Itu adalah dua pria berbadan besar dengan warna kulit hitam pekat dan satunya berwajah Asia berkulit putih. Mereka berdua memakai jaket kulit yang mengkilap warna hitam. Aku rasa mereka sedang menunggu sesuatu. Karena wajahnya sangat serius.
Beberapa menit muncullah Jack. Itu adalah ayah Jihan. Jack membisikkan sesuatu ke salah satu pria itu. Lalu pria itu dan Jack keluar dari club. Aku segera keluar mengikuti mereka.
Di lorong yang gelap dengan kanan kiri tembok tinggi dan kotor. Jack menghajar pria itu dengan penuh emosi. Ia mengumpat bagai kesurupan.
"Kenapa kau bisa gagal lagi mendapatkan anakku?" tanya Jack dengan membentak keras.
"Maafkan aku, Tuan. Aku sudah mengejarnya dari hotel murah itu tapi dia lari dengan cepat hingga ke jembatan aku kehilangan jejaknya," jelas pria Asia itu dengan wajah kasihan lalu datanglah pria berkulit hitam berusaha menenangkan Tuannya. Namun Jack memukul kedua pria itu dengan pukulan di mata begitu keras. Mereka kesakitan tapi Jack sama sekali tidak perduli. Jack mengancam mereka berdua untuk mencari Jihan lagi kalau tidak ketemu maka mereka berdua akan jadi makanan buaya.
Aku tersentak kaget. Apakah yang di ucapkan oleh Jack benar? Entahlah aku hanya bisa bergidik merinding sambil berlari cepat. Supaya mereka tidak melihatku.
Kini aku sampai di mobil. Aku langsung saja menuju hotel yang di maksud. Aku sangat tahu di mana hotel itu berada. Hotel paling murah di kota ini. Jihan pasti tidak mempunyai banyak uang. Karena dia memilih hotel itu. Siapa tahu aku bisa menemukan petunjuk di sana.
"Apakah ada yang memesan kamar bernama Jihan Karbela?" tanyaku kepada resepsionis.
"Ya ada, tapi tidak ada orangnya. Maksudku dia sudah tidak ada di kamar itu. Dari cctv terekam bahwa ada dua orang yang mendobrak pintu itu sampai rusak dan Jihan kabur melalui jendela," jelas resepsionis membuat aku syok.
"Apa kau adalah saudara Jihan?" tanya resepsionis dengan sopan.
"Oh bukan-bukan. Aku temannya," jawabku.
"Aku rasa dia dalam masalah besar. Kami pihak hotel sudah melapor kepada polisi atas kejadiannya. Aku harap dua pria itu segera tertangkap."
Aku segera keluar dari hotel dan tertunduk lesu di dalam mobil. Aku tidak bisa membayangkan betapa sulitnya menjadi seorang Jihan. Ia bahkan kabur dari jendela. Ya Tuhan Jihan seperti seorang pencuri saja. Di kejar sampai sebegitu ya oleh dua orang pria suruhan ayahnya sendiri.
Aku melajukan mobilku. Sambil mengemudi otakku juga berpikir keras. Aku mencari jalan menuju ke jembatan. Akhirnya aku tahu. Mungkin Jihan berlari ke jembatan-jembatan besar di ujung jalan.
Kakiku dengan cepat menginjak gas. Kini mobil sampai di sebuah jembatan jembatan besar. Tetapi mobil sudah tidak bisa melewati jembatan karena jembatan di tutup. Aku melihat jembatan yang besar lagi dan tidak ada sosok Jihan. Ya Tuhan dimanakah kau Jihan?
Aku memasuki mobil dengan hati yang hampa. Aku tidak bisa hidup seperti ini. Aku sangat berharap bisa melihat Jihan lagi. Mungkin aku harus istirahat dahulu. Agar nanti aku bisa kembali mencari Jihan.
***
Jihan berjalan di jalanan yang sepi. Di bawah sebuah jembatan yang kecil. Ia lalu menemukan sebuah bangunan dengan triplek dan kain-kain.
"Aku rasa itu adalah sebuah rumah. Tetapi apakah mungkin ada orang di dalamnya," ucap Jihan dalam hati.
Ternyata saat Jihan mendekat ingin mengetuk pintu berbahan triplek itu. Seorang anak perempuan mengagetkan dirinya.
"Hei?" Jihan berbalik badan mendengar suara itu.
Jihan menampakkan wajah dengan senyum. Wanita itu mendekat kepada Jihan dan melihat penampilan Jihan.
"Maaf aku hanya ingin merasakan hangat," ucap Jihan karena udara sangat dingin.
"Kau tidak punya tempat tinggal? Kau kabur dari rumah ya?" tanya perempuan itu dengan ragu.
Jihan mengangguk cepat.
"Kalau begitu masuklah ke rumah sederhanaku," kata perempuan itu dengan merangkul Jihan.
Jihan masuk ke dalam rumah kecil itu. Ia lalu duduk dan di sambut dengan dua orang anak kecil. Wanita itu memperlihatkan bayi mereka. Wanita itu bernama Julia. Ia memperkenalkan diri sebelumnya.
Dua orang anak itu ternyata adalah anak dari Julia. Julia hidup sendirian bersama neneknya. Mereka semua tinggal di tempat yang menurut Jihan sangat tidak layak.