Sepasang tangan yang tengah digunakan untuk mengendalikan kemudi mobil edisi terbatas itu, tampak mengeratkan genggamannya pada benda berbentuk lingkaran yang menjadi pusat control dalam mengendarai mobil sport tersebut, kala sang pemilik tangan teringat akan pertemuannya dengan seorang wanita yang membuatnya menjadi kehilangan keseruannya menikmati balapan liar yang sudah lima tahun ini ia geluti. Prince Archa berdecak kesal ketika ucapan wanita yang paling dibencinya itu tak kunjung lenyap dari dalam benaknya dan musnah dari gendang telinganya.
"Sial! Dia benar-benar wanita licik. Kalau tau bakal gini, gue gak nemuin dia aja tadi!" gumamnya memukul pelan dasbor mobil kesayangannya yang masih menelusuri lengangnya jalanan kota pada dini hari tersebut.
Sore hari sebelum balapan liar itu terjadi, Prince Archa yang diminta untuk menemui sang ayah; Daniel Archa yang menjadi CEO di perusahaan penyiaran terbesar kesepuluh se Asia Tenggara itu, terpaksa menginjakkan kakinya dalam gedung kantor yang luasnya hampir sama dengan luas sebuah stadion bola. Ketika melihat atau berpapasan dengan Prince, para pegawai Treasure Corp sontak membungkukkan tubuh mereka, memberi hormat pada satu-satunya pewaris tahta keluarga Archa tersebut. Prince yang tak begitu tertarik akan statusnya yang tinggi itu tampak enggan meladeni sapaan lembut dari tiap karyawan yang mencoba untuk beramah tamah dengannya.
Pemuda yang memiliki golongan darah A itu melangkah semakin dalam memasuki gedung. Mengambil beberapa belokan lantas menaiki lift menuju lantai lima gedung megah tersebut. Dan ketika pintu lift terbuka, beberapa karyawan yang tak sengaja melihat kehadiran Prince tampak terkejut lantas beringsut melarikan diri.
Bukan lagi sebuah rahasia, jika kedatangan Pangeran tampan itu akan selalu menjadi genderang perang yang siap ditabu kala dirinya mengunjungi ruangan kerja sang ayah. Dan hampir semua karyawan Treasure Corp mengetahui, jika percekcokan antar keluarga sudah terdengar nyaring dari dalam ruangan CEO, maka bagi karyawan yang tak sengaja bersinggungan dengan Prince maupun dengan Nyonya Yoanna; Ibu tiri Prince, akan kena getahnya.
Saat sepasang daun pintu berwarna hitam itu terbuka lebar, tatapan sinis dari Nyonya Yoanna menjadi sapaan hangat yang Prince terima, sedangkan sebuah senyuman lembut disunggingkan oleh Tuan Daniel Archa yang langsung menyuruh putra sematawayangnya tersebut untuk duduk menghadapnya. Alih-alih mematuhi ucapan ayahnya, Prince justru memilih untuk duduk di sebuah sofa hitam single sembari mengangkat kakinya ke atas meja.
Nyonya Yoanna yang tengah berdiri di samping kursi kerja suaminya itu berdecih, melihat betapa tidak sopannya anak dari selingkuhan suaminya tersebut.
"Dasar Berandal!" maki Nyonya Yoanna dengan mimik tidak suka tercetak jelas di wajahnya.
Malas melandeni sikap Ibu sambungnya itu, Prince segera menanyakan perihal tujuan Tuan Archa memanggilnya ke kantor.
"Bagaimana dengan kuliahmu, Nak?"
"Kuliah?" Prince tersenyum miring, ini kali pertama Tuan Archa menanyakan tentang pendidikannya. Padahal sejak dulu. Saat pemuda tampan itu masih begitu giat belajar, Tuan Archa seolah enggan mengetahui kepandaian putranya tersebut dalam beberapa pelajaran sekolah. Bahkan saat Prince menjuarai lomba Sains dan Matematika tingkat Nasional, hanya kata 'oh' lah yang keluar sebagai hadiah dari kecerdasan Prince sewaktu SMA dulu.
"Ya, seperti biasa. Karena putramu ini terlalu pintar dalam berbagai bidang, aku yang tidak butuh nilai dari Dosen di dalam kelas, selalu bolos dan sering mencari masalah di Kampus, kembali di D.O lagi."
"Apa?! Kamu di D.O lagi?" Nyonya Yoanna tampak kaget mendengar jawaban santai yang keluar dari mulut putranya itu, kemudian berdecak kesal sembari mengayunkan kakinya menghampiri Prince. "Dasar anak gak tahu diuntung! Apa menurutmu Surat Drop Out dari Kampus itu merupakan sebuah piagam yang bisa kamu koleksi?! Ini sudah yang keenam kalinya kamu di keluarkan dari Universitas. Mau jadi apa kamu jika sekolah saja tidak becus, huh?!"
"Tidak becus, Anda bilang? Hei, Nyonya Yoanna yang terhormat. Dulu, sebelum suami kesayanganmu itu merebutku dari asuhan Ibuku, aku adalah siswa yang genius, siswa paling berprestasi yang giat belajar dan rajin ke sekolah. Semua guru bahkan memujiku setiap harinya. Tapi, setelah aku dipaksa untuk tinggal bersama kalian di istana megah itu, lihatlah ... Apa yang terjadi padaku sekarang?" Prince bangkit berdiri seraya merentangkan tangannya lebar. Membiarkan Tuan dan Nyonya Archa mengamati penampilannya dari ujung rambut hingga ujung kaki. "Aku tumbuh dengan baik bukan? Aku yang dibesarkan dengan uang kalian tumbuh menjadi pribadi yang urakan, tidak sabaran dan suka berfoya-foya. Bukankah itu sempurna?" Prince menarik satu sudut bibirnya ke atas.
"Perlu kalian ketahui, Tuan dan Nyonya Archa. Jika ingin memiliki seorang anak yang memiliki otak briliant dan berhati emas, bukan hanya materi yang dibutuhkan. Tapi juga kasih sayang dan perhatian harus kalian tuangkan. Dan jika kalian tidak mampu memberikannya, maka jangan tuntut aku menjadi apa yang kalian inginkan."
PLAKK!!!
Sebuah tamparan mendarat begitu kerasnya di wajah pemuda berambut hitam legam itu. Syok mendapat perlakuan kasar dari Ibu sambungnya, Prince menatap penuh amarah pada wanita berusia setengah abad itu.
"Dasar Berandal! Berani-beraninya kamu mengajari kami. Jaga batasanmu, Prince! Harusnya kamu berterimakasih padaku, karena aku sudah membiarkanmu hidup dan tinggal di rumah kami. Padahal kamu hanyalah anak dari seorang Pelakor!"
"Apa? Pelakor? Hei, Nyonya. Tolong tarik ucapanmu itu. Ibuku bukan Pelakor!!"
"Hahaha ... Kenapa kamu marah? Apa kamu tersinggung, Prince? Diana itu memang Pelakor dan mata duitan. Jika dia bukan wanita murahan, mana mungkin suamiku tergoda oleh bujuk rayunya hingga mau menidurinya."
"Hei, Nyonya. Tolong jaga ucapanmu, sebelum aku benar-benar marah padamu dan berbuat sesuatu yang nantinya akan sangat Anda sesali." ancam Prince menunjuk-nunjuk Ibu tirinya itu dengan mata yang dipenuhi kobaran api.
Alih-alih takut pada ancaman Prince, Nyonya Yoanna justru semakin sadis saja mengatai mendiang Ibu Kandung Prince bak seorang pelacur.
Tak tahan dengan ucapan pedasnya, Prince dibuat meradang. "Hentikan ucapanmu, atau Anda akan aku tampar?!"
"Apa? Kamu mau menamparku, Prince? Ayo, tampar saja aku, tampar! Kamu pikir, aku takut? Ayo, jika berani tampar saja aku!"
"HENTIKAAN!!" Suara Bass Tuan Archa seraya menggebrak meja, berhasil menghentikan pergerakan tangan kiri Prince yang sudah melayang di udara. Dengan langkah cepat, pria paruh baya itu mengisyaratkan istri dan anaknya tersebut untuk kembali duduk. "Aku memanggilmu kemari bukan untuk berkelahi, Prince. Dan kamu, Yoanna. Aku mengundang Prince ke kantorku bukan juga untuk kamu maki-maki seperti tadi. Bagaimanapun dia, Prince juga putramu. Satu-satunya penerus perusahaan kita." Papar Tuan Archa berusaha melerai pertikaian Ibu dan Anak yang tak pernah akur itu.
"Prince, Ayah minta maaf karena telah mengabaikanmu selama ini. Dan Ayah berjanji, Ayah akan mencoba memperbaiki kesalahan demi kesalahan yang telah Ayah perbuat padamu selama ini. Maka dari itu, tolong kembalilah berkuliah ..., dan tolong, pulanglah kembali ke rumah. Tinggalah kembali bersama kami, Nak." Mohon Tuan Archa yang disambut tawa renyah Pangeran Mahkotanya.
"Permintaan maaf Anda tidak akan mengubah apapun. Lagi pula aku sudah tidak memiliki minat sedikitpun untuk berkuliah. Dan untuk kembali tinggal dengan kalian, maaf. Aku tidak bisa." ungkap Pemuda berusia 25 tahun itu bangkit dari kursinya untuk kemudian berjalan keluar dari ruang kerja Tuan Archa.
"Kamu lihat, Mas?!" Nyonya Yoanna menunjuk-nunjuk pintu yang baru saja ditutup oleh Prince. "Anak itu benar-benar sudah keterlaluan! Bahkan kebaikanmu dan harga diri yang sudah kamu rendahkan demi membawanya pulang, dengan begitu mudah dia injak-injak. Mungkin memang begitulah watak anak yang terlahir dari hubungan haram."
"Yoanna! Hentikan! Berhenti mengatai Prince seperti itu! Kata-kata kasarmu itulah yang membuat Prince tidak betah berada di sisi kita. Baik, aku akui aku yang salah. Aku yang khilaf dulu. Tapi jika saja kamu tidak menomorsatukan karirmu sebagai pembisnis, aku pun tidak akan mencari perhatian dari wanita lain."
"Apa?! Jadi, sekarang kamu menyalahkan aku, Mas? Benar begitu?! Kalo kamu adalah lelaki yang baik dan suami yang baik, mana mungkin kamu berselingkuh! Jika aku bersalah, harusnya kamu menegurku, bukannya malah pergi dan meniduri sekertarismu itu!!"
Pertengkaran antara pasangan suami istri dalam ruangan kerja tersebut masih terdengar jelas di telinga Prince yang masih setia menunggu pintu lift terbuka. Sepasang kelopak matanya ia tutup rapat seolah tengah menyesali alur kehidupan pahit yang Tuhan anugerahkan padanya. Bukan kemauan Prince terlahir dari hasil hubungan gelap antara Sang Presdir dan sekertarisnya. Jika saja bisa, Prince sangat ingin melepas statusnya sebagai Pangeran Mahkota Treasure Corp. Ia ingin hidup sebagai orang biasa, dari orangtua biasa dan hanya menghadapi permasalahan hidup yang sederhana.
Di tengah lamunannya itu, deringan telepon membuyarkan khayalannya. Tanpa ragu, Prince segera menjawab panggilan itu.
"Prince, tolongin gue! Brian nyekap gue! Dia bilang bakal ngapa-ngapain gue kalo lo sampe gak dateng."
Mendengar suara parau seorang wanita di seberang sana, Prince menatap layar ponselnya kilas untuk melihat nama kontak yang tertera di sana. "Rebecca?" lirih Prince kembali melekatkan benda pipih itu di telinga kanannya. "Oke. Gue ke sana sekarang."
Niat hati ingin menyelamatkan salah satu teman wanitanya itu, Prince justru dibuat kecewa. Karena sambungan telepon tadi rupanya hanyalah sebuah jebakan. Prince seolah ditelanjangi kala melihat tawa renyah dari Brian CS yang tengah mengadakan pesta kebut-kebutan di jalan, menggema. Hatinya dibuat berdenyut sakit kala Brian memberikan setumpuk uang pada Rebecca seraya mengucapkan terima kasih karena gadis seksi itu sudah membantunya untuk memancing Prince keluar dari sangkar emasnya.