Sulit dipercaya ketika pasangan ini harus terjebak dengan suara rengekan seorang bocah SMA. Bahkan, sebutan itu memang masih pantas untuknya. Indra baru saja ketahuan menyembunyikan koper milik Nara. Iya, Nara membutuhkannya karena ukurannya yang lebih besar. Jadi, ketika pergi pun mereka tidak perlu membawa dua koper. Lebih meringankan. Namun, hal itu hampir saja tidak terlaksana akibat ulah adiknya sendiri.
Lusa, Nara dan Rayhan akan pergi menjalani bulan madu mereka. Niat awal mereka ingin bergerak cepat untuk mempersiapkan segala keperluan, tapi tak disangka Indra malah merengek ingin ikut bersama mereka. Jika Nara datang ke rumah ini seorang diri, mungkin saja dia bisa meluapkan kekesalannya pada sang adik, hanya saja suaminya ikut. Yang ada, Nara tetap akan kalah, karena Rayhan pasti memihak pada Indra. Dan Nara hanya mampu menahan rasa malunya di depan sang suami.
Berusaha untuk tetap tersenyum dan menahan kesabarannya pada sang adik, Nara mengutuk adiknya sendiri dalam batinnya. "Apa kata kekasihmu melihat laki-lakinya bertingkah seperti ini?" Nara mencoba menghentikan rengekan sang adik.
"Aku tidak memiliki kekasih," jawab Indra.
Rayhan sekilas memperhatikan sang istri. Andai bisa berkata jujur, Rayhan sendiri merasa agak canggung disituasi begini. Dia memang tahu jika istri dan adiknya jarang akur, namun berbeda dengan yang sekarang. Entah, Rayhan sendiri juga tidak tahu dimana letak perbedaannya, dia hanya mengandalkan perasaannya saja.
"Kapan kau akan dewasa?" pertanyaan itu lolos dari bibirnya. Ia melihat adiknya yang menundukkan kepala. "Tidak bisa selamanya kau bergantung padaku. Apapun yang aku inginkan atau kemanapun yang ingin aku kunjungi harus selalu ada dirimu," ucapnya lagi.
Rayhan menurunkan tangan sang istri yang menunjuk adiknya saat marah tadi. Dirinya berusaha meredam keadaan yang agak panas. "Adik ipar," panggil Rayhan dengan lembut, membuat Indra menoleh. "Memangnya kau tidak akan canggung saat aku dan kakakmu akan menghabiskan waktu untuk bulan madu?" tanyanya.
Tanpa ragu Indra menggelengkan kepalanya. Dirinya masih terdiam dan merasa tidak ingin mengubah keputusannya yang tetap ingin ikut bersama kedua kakaknya.
Semakin lama, Nara sendiri merasa geram terhadap adiknya. Indra itu kelewat manja, sampai umurnya sudah hampir menginjak dewasa saja masih seperti anak TK yang tidak rela ditinggal ibunya ketika jam pelajaran berlangsung. Cih, zaman sekarang sudah banyak anak dibawah umur yang tidak takut jika ditinggal pulang oleh orang tuanya.
"Bagaimana bisa, dua orang dewasa yang sudah menikah, harus membawa adik mereka yang belum cukup umur untuk ikut pergi bulan madu bersama?" Rayhan memijat pelipisnya sebelum kembali menasihati adik Nara. "Akan kubelikan kamera setelah pulang dari sana," ini adalah cara yang paling ampuh menurutnya.
Istri dan adik iparnya menoleh ke arahnya bersamaan dengan dua air muka yang berbeda. Nara ingin protes, hanya saja tangan Rayhan langsung menutup bibirnya dan membiarkan Indra memasang wajah senang. Secara mendadak Nara merasa menyesal datang disaat Indra sudah pulang sekolah. Ini tidak berbeda dengan kasus pemerasan. Dia menatap wajah Indra dengan tatapan menyalang, sedangkan Indra malah menjulurkan lidahnya, mengejek sang kakak yang tidak bisa berbuat apa-apa jika suaminya sudah bertindak.
Hal itu juga yang membuat Nara seketika terdiam hingga mereka dalam perjalanan pulang. Dia sama sekali tidak berniat untuk berbicara pada sang suami. Memasang wajah kusut dan melipat kedua tangannya, pandangannya pun keluar jendela. Padahal, di sebelahnya Rayhan sudah beberapa kali mengajak Nara untuk mengobrol.
Lantas Rayhan memilih untuk membiarkan sang istri dengan sikapnya saat ini. Toh, jika nanti siap berbicara, Nara akan dengan sendirinya meluapkan kekesalannya. Rayhan sudah bisa membaca sang istri. Dirinya kembali memperhatikan jalanan, tapi ia bisa merasakan jika sang istri tengah melirik ke arahnya. Bisa jadi, Nara mengira jika Rayhan sudah lelah dengan usahanya membujuk sang istri berbicara.
"Jangan terlalu memanjakan Indra. Dia itu selalu begitu," katanya setelah beberapa saat didiamkan oleh Rayhan. "Aku menyesal pernah memanjakannya," tambah Nara engan suara lirih.
Cukup merasa puas, lantaran caranya berhasil ia gunakan. Rayhan tersenyum tipis sebelum membawa tangannya pada pucuk kepala Nara, memberikan usapan kelembutan penuh kegemasan.
"Biarkan saja, itu jauh lebih baik dibandingkan dia terus merengek agar bisa ikut dengan kita," balas Rayhan.
Dengusan kasar terdengar jelas dari sang istri, wajah ayunya semakin terlihat garang dari sebelumnya. Masih tidak suka dengan sikap suaminya itu terhadap sang adik. Nara jadi kesal sendiri jika terus mengingatnya. "Lihat saja, setelah kita pulang, Indra akan semakin melunjak,"
Tak ada respon lain yang Rayhan berikan selain tertawa kecil. Dia justru terlihat kelewat tenang dan tidak memikirkan apa yang akan terjadi setelahnya. Lagipula, sejak dulu Rayhan selalu sendiri, tak punya saudara yang bisa diajaknya bermain. Karena menikah dengan Nara yang membuat dirinya tidak kesepian lagi. Rayhan hanya ingin melakukan yang terbaik untuk semua orang di sekitarnya.
Sampai pada akhirnya mereka tiba di rumah, Nara lebih dulu turun dari mobil dan bergegas masuk ke dalam rumah. Laki-laki itu hanya tersenyum tipis saat keluar dari mobil dan mengambil koper yang tadi di ambil dari rumah orang tua Nara. Lantas ia bergerak masuk guna menghampiri sang istri yang mungkin sudah berada di kamar.
Baru saja membuka pintu kamar, Rayhan melihat sang istri yang duduk di depan meja riasnya, tengah menghapus riasan dengan mulut yang meracau. Rayhan memang mengerti jika Nara banyak bicara, namun belum pernah melihat istrinya berbicara sebanyak ini. Ya, lebih tepatnya sedang meluapkan kekesalannya. Pun Rayhan bergerak menuju belakang tubuh Nara, memegang kedua pundaknya.
"Bayangkan saja, semisal kita menipu Indra soal tanggal keberangkatan, dan dia benar-benar mempersiapkan diri sebelum tanggal itu, bagaimana? Kau tidak kasihan pada adikmu?" tanya Rayhan.
"Gunakan cara lain kalau begitu," jawab Nara.
"Apa? Kau punya ide? Mungkin bisa kita gunakan,"
Wanita itu terdiam cukup lama, tangan yang masih memegang kapas pun ia letakkan diatas meja. Kedua bola mata yang bergerak acak lantaran belum menemukan cara lain, namun masih memasang wajah kesal saat kembali menatap sang suami dari pantulan cermin. Tak kunjung mendapat jawaban, Nara melanjutkan membersihkan wajahnya dan memutus pandangannya dari Rayhan. Dengan terpaksa, ia akan menurut dengan suaminya.
Selesai menghapus riasan, Nara bangkit dan masih mengabaikan Rayhan. Dia tanpa ragu melepas resleting roknya yang ia gunakan saat ini. Bahkan, tak peduli sekalipun dibelakangnya ada Rayhan. Namun, lepas beberapa detik, ia terkejut Rayhan menarik pinggangnya hingga tubuh keduanya menempel. Suaminya menatap lekat dengan kedua tangan yang memegang pinggangnya.
"Kini aku tersadar alasanmu sangat melarang Indra untuk ikut," Rayhan menjeda kalimatnya, dan mendekatkan bibirnya pada rungu sang istri. "Kau pasti tidak ingin Indra mengetahui jika kakaknya akan sangat nakal didepan suaminya seperti sekarang," lanjutnya dengan suara berbisik.