Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

Gerimis (Geri untuk Misya)

🇮🇩AP_rilLie
--
chs / week
--
NOT RATINGS
6.2k
Views
Synopsis
Tentang seorang gadis yang tumbuh di era tak kondusif di jaman sekarang. kehidupan yang tidak adil di terimanya kala era semakin merajalela dengan ketidakadilannya. bermimpi menjadi seorang pengacara yang bijak dan adil, justru membuatnya semakin paham, bahwa dunia sedang tidak baik-baik saja. Misya Alneta. sosok gadis yang kuat dan pemberani, yang akan di pertemukan dengan Geri Agasta, yang sama-sama memiliki impian membela dan menegakkan keadilan. namun apa daya? manusia bisa berencana, namun sang penciptalah yang menentukannya.
VIEW MORE

Chapter 1 - 01. Pindah

"Neta... udah siap belum?"

"Iya, ma. Sebentar lagi!"

"Cepat dikit dong, sayang. Kita udah di tunggu tuh, gak enak sama orang di sana!"

"Iya, iya."

Hari ini kami akan pindah. Ayah di terima bekerja di perusahaan besar di pusat kota, jadi mau tidak mau aku dan mama harus ikut bersam ayah. Mengingat ayah akan bekerja dalam kontrak yang cukup lama. Aku keluar dari dalam kamarku, setelah membereskan segala barang-barangku. Koper hitam besar dan beberapa tas jinjing lainnya. Aku juga tak lupa membawa kucing kecilku beserta induknya.

"Ma, Neta udah siap. Yuk," ujarku ketika sampai di ruang tamu. Aku melihat ayah dan juga mama tengah berpamitan pada tetangga di sekitaran rumah. Tidak heran jika ada raut kesedihan dari wajah kedua orang tuaku itu, mengingat mereka dan juga para tentangga sudah sangat akrab melebihi saudara sedarah.

Aku keluar dari dalam rumah dan menghampiri ayah. Ayah refleks menoleh ke arahku, dan membawa koperku ke dalam mobil yang mengangkut barang-barang kami. Mama masih fokus berpamitan pada teman-teman satu grupnya, maklum saja, mamaku termasuk orang yang cukup tenar di kampungku.

"Hati-hatilah di jalan, jangan lupa beri kabar pada kami jika kalian sudah sampai." Salah satu teman mama berujar sedikit bergetar.

"Aku akan beri kabar nanti kalau sudah sampai. Kalian juga jaga diri baik-baik, ya. Aku harap kita masih bisa bertemu," sahut mama, sembari menarik langkahnya mulai berjalan ke arah mobil yang sedari tadi sudah menyala.

Aku berpamitan pada teman-teman mama dan juga ayah. Aku menyalim satu persatu tangan mereka, dan melayangkan seutas senyuman di wajahku.

"Neta, baik-baiklah di sana, nak. Jangan lupakan kami kalau kamu sudah sukses nanti." Seorang wanita dengan tubuh sedikit berisi, mengelus puncak kepalaku dengan hangat. Dia bibi Darlin, dia kerap kali menjodohkanku dengan putranya yang kebetulan seumuran denganku. Aku membalas bibi Darlin dengan memeluknya, dan juga menepuk kecil punggungnya yang tanganku tak sampai pada lingkar tubuhnya.

"Neta pergi ya, bibi. Jaga dirimu baik-baik. oh iya, jangan biarkan Tomi sama gadis lain. Neta janji akan kembali," godaku pada bibi di kalimat terakhirku. Tampak bibi Darlin tersenyum sembari menyeka air di ekor matanya.

"Pergilah! Mereka sudah menunggumu."

Aku pun langsung menarik langkah dan mengayunkan tanganku pada semua orang di sana. Sungguh sedih rasanya jika harus meninggalkan kampung halaman, tapi mau bagaimana lagi, ini sudah menjadi jalannya. Mobil kami pun melaju perlahan, dan beberapa menit semua orang di sana bubar seiring tak terlihat lagi kami pada pandangan mereka.

Aku duduk di kursi belakang sembari menggendong kucingku yang baru saja lahir. Aku menatap pepohonan yang kulewati, dan beberapa rumah tetangga yang masih terlihat. Ah...sedih rasanya, semua kenangan di kampung halaman akan terasa sulit di lupakan.

Masa kecilku kuhabiskan di sini. Di kampung halamanku, di ujung kota yang cukup jauh dari pusatnya. Aku terbilang gadis yang tidak terlalu mengetahui banyak perubahan jaman, seperti yang akan terlihat di kota nanti.

Aku gadis SMA kelas dua. Tahun besok aku akan menjadi seorang kakak kelas, dan pastinya di sekolah baru nanti aku akan memulai kembali. Aku penyuka kucing, pecinta hujan, dan pemilik mata hazel. Tubuhku mungil, tinggiku hanya sekitar 155cm. Rambutku panjang, dan kulitku putih. Mama bilang aku mirip dengannya, namun kenyataannya aku duplikat ayah. Untuk paras dan juga fisik, ayahlah yang menjadi peran utamanya di dalam diriku. Namun untuk ambisi hidup, dan juga mimpi yang tinggi, turun dari mama.

Mama dulu pernah bilang memiliki cita-cita menjadi seorang lawyer muda. Namun gagal. Keterbatasan ekonomi dan juga minimnya pendidikan yang di tempuh mama, membuatnya mengubur dalam-dalam impiannya. Dan ternyata, impian mama turun padaku.

Aku bemimpi menjadi seorang lawyer yang bertanggung jawab, jujur, dan adil. Menjadi seorang lawyer sudah tertanam di dalam diriku sejak usia dini. Itu terjadi semenjak aku melihat ketidakadilan menimpa ayah, di masa kerjanya di kota dulu.

Ayah terkena penipuan kontrak kerja. Di dalam kontrak tersebut tertera bahwa ia akan mendapatkan gaji setelah ia mampu mengerjakan pekerjaannya selama sebulan penuh, namun saat gaji akan di turunkan, perubahan kontrak pun di lakukan secara sepihak, tanpa membicarakannya dengan ayah.

Tentu saja hal itu membuat ayah kecewa berat. Mengingat ayah hanya seorang lulusan SMP, membuatnya tak bisa berbuat apa-apa karena dalih tak terlalu mengerti. di sanalah aku memulai mimpiku menjadi seorang lawyer yang adil. Aku ingin mebuat keadilan pada ayah, bagaimana perusaahan menipunya dengan sangat mudah.

Satu jam sudah perjalanan yang kami tempuh. Jalanan yang tadinya msih terlihat perumahan kini berubah menjadi pepohonan. Aku tidak tertarik lagi melihat jalanan dan kini fokusku teralih pada beberapa anak kucing yang kugendong. Aku meletakkanya di sampingku dan melapisinya dengan kai yang kurajut khusus untukpara kucingku.

"Neta, kamu nggak ninggalin kucing kamu, ya?" mama bertanya sembari memerhatikanku dari spion depan mobil.

"Ih mama, mana mungkin Neta tega ninggalin meraka. Neta,kan sayang Possy, ma."

"Memangnya kamu yakin bisa ngerawat semuanya? itu udah bertambah empat ekor lho, kenapa nggak di kasih ke bibi Darlin aja?" aku menatap mama dengan wajah kesal.

"Bukannya di jagain, malah Tomi nanti nyakitin mereka. Mama ingatkan? Dulu juga kucing Neta mati di tangan Tomi," sahutku menjawab tanya mama, sembari mengingatkan lagi hal yang dulu. mama terkekeh kecil, mungkin ia berhasil mengingat kejadian nahas itu.

"Iya-iya, mama ingat."

Benar saja, mama mengingat kejadian saat aku dan tomi masih berusia belia. Aku dan Tomi cukup dekat dulu, itu kenapa bibi Darlin antusias menjodohkan kami, setelah dewasa seperti sekarang.

"Ngomong-ngomong kamu udah pamitan belum sama Tomi? Nanti dia kehilangan lho," celetuk ayah, yang rupanya mendengarkan aku dan mama berbincang.

"Ayah apaan sih. Nggak gitu konsepnya," sahutku manja.

"Lho kenapa? Bukannya Tomi sayang Neta?" lanjut ayah lagi, seakan tak berhenti menggodaku.

"Ayah, udah dong. Lagian Tomi juga nggak nanya tentang Neta. Buktinya chat Neta di anggurin dari tadi," keluhku menjelaskan.

"Jadi ceritanya nungguin ya?"

"Nggak gitu, ma. Udah ih, Neta mau kasih makan Possy dulu." aku menghentikan perbincangan yang tidak terlalu penting itu, tapi tidak bisa di pungkiri, perbincangan tentang Tomi mengundang tawa mama dan juga ayah.

Bahagiaku sederhana, cukup melihat mama dan ayah tersenyum dan bahagia, sudah lebih dari cukup yang kurasa. Ayah adalah perisaiku, dan mama adalah ragaku. Jika keduanya hilang, runtuh sudah aku.