Chereads / Gerimis (Geri untuk Misya) / Chapter 3 - Sekolah baru

Chapter 3 - Sekolah baru

Ini hari pertamaku masuk ke sekolah baru di kota. Rasanya sedikit gugup. Ada rasa tidak sabar, di dominasi dengan rasa yang sempat enggan untuk bersekolah di kota. Bukan apa-apa, aku hanya takut ketika sampai di sana aku tidak bisa mengikuti orang-orang di sana. Katanya kota itu berbeda jauh dengan desa. Ada yang bilang, kota adalah tempat orang-orang dengan tingkat pengetahuan yang lebih tinggi. Lalu bagaimana denganku? Apakah aku nanti bisa mengimbangi mereka? Atau hanya sekedar bediri di posisi yang sama.

Cuaca pagi ini seakan bersahabat dengan aktivitasku. Terik mentari mulai menyapa hangat. Langit biru terlihat terang, dan awan putih mendominasi. Angin berembus pelan, menerpa permukaan kulit dan sesekali menyibak pelan anak rambutku. Udaranya berbeda dengan kampung. Di kota ini aku tidak bisa menghirup udara segar, ada yang berbeda, namun aku tidak tahu spesifiknya.

"Neta, kamu udah siap?" aku menoleh, dan mendapati ayah sudah berada di sampingku.

"Sudah, yah," sahutku pelan.

Aku sedari tadi sudah lebih dulu bersiap dari ayah. Aku berjalan ke luar pagar dan sungguh melihat perbedaan yang sangat jauh, antara di kampung dan juga di kota. Jika ini di kampung, suasana sekarang pasti sudah ramai para tetangga yang berkeluaran. Ke pasar, membersihkan pekarangan, melihat toko-toko kecil sudah buka. Namun di kota, aku tidak mendapatkan hal itu. meski hari sudah menunjukkan pukul 7 pagi, namun semuanya masih hening. Tak ada sama sekali yang bisa di ajak berinteraksi di komplek itu.

"Ayah, apa kota sedingin ini?"

"Kamu kedinginan?" jawab ayah salah mengerti.

"Bukan gitu, ayah. Maksud Neta, apa kota memang setertutup ini? Dari tadi Neta berdiri di sini, nggak ada satu pun orang yang lewat. Apa memang seperti ini?" jelasku pada ayah.

"Oh.. itu karena kamu belum terbiasa. Besok-besok juga kamu bakalan negrti." Ayah membalas dengan santai, tapi aku masih di buat tak mengerti. ayah sibuk mebersihkan mobilnya, dan aku berdiri menanti ayah.

Sejenak aku menatap langit biru di atas sana. Begitu cantik pagi ini, dan tiba-tiba aku merindukan kampung halamanku. Aneh rasanya, baru saja satu hari aku berada di kota, tapi entah kenapa begitu asing dengan suasanya. Hm.. benar kata ayah, mungkin nanti akan terbiasa.

"Neta, ayo." Aku tersentak pelan, ketika ayah memanggil. Sudah waktunya kami berangkat. Ayah akan pergi bekerja, dan aku akan ke sekolah baruku di SMA negeri 05 jakarta. Aku berpamitan pada ibu sebelum akhirnya pergi dan melaju.

Jarak antar sekolah dan juga rumah tidak terlalu jauh, hanya sekitar satu kilometer saja. Dan selama perjalanan, aku amat sangat tercengang melihat jalanan yang padat dengan jumlah yang luar biasa. Klakson mobil dari berbagai arah terdengar riuh. Asap dari kendaraan di sana juga ikut ambil peran. Aku benar-benar di buat terpaku pada keadaan itu. ini bukan sedang lampu merah, tapi ayah mengehentikan laju mobilnya karena padatnya pengendara.

"Ayah, apa penduduk kota sepadat ini? Kita bahkan nggak bisa bergerak," tanyaku pada ayah, namun kedua netraku masih setia melihat ke arah jendela mobil.

"Ini karena hari kerja, dan juga sekolah. Jadi semuanya mendominasi hingga macet pun terjadi. Jika hari libur datang, jalanan juga bakalan sepi," jelaskan ayah. Aku hanya mengangguk kecil.

"Tapi ayah. Melihat padatnya penduduk dan setiap hari harus terjebak keadaan seperti ini, kenapa tidak ada pembangunan jalan yang lebih?"

"Itu bukan tugas penduduk sayang. Neta'kan tahu kalau semua itu pemerintah yang memutuskan."

"Iya, yah. Neta tahu. Ini memang bukan tugas penduduk, tapi'kan kita bisa memberi usul pada pemerintah. Dan jika usul kita di terima, itu akan sangat baik lho, yah."

Mobil kami bergerak sedikit kala mobil di depan sedikit maju. "Nggak semudah itu. pemerintah juga masih punya pekerjaan lain. Toh juga ini jalanan udah cukup luas, mau di bangun jalan di mana lagi?"

Aku menoleh ke arah ayah. "Ayah, kita sekarang hidup di jaman yang serba canggih, neta pernah baca di salah satu buku, kalau jaman kita ini sudah banyak berubah dan lebih maju. Jadi bisa kemungkinan, jalanan di buat melengkung ke atas, seperti yang terlihat di negara lain. Itu tidak terlalu buruk." Aku tak hentinya membahas tentang kota, yang terlihat begitu tidak terlalu menarik. Ada banyak sekali kekurangan yang aku raskan di kota ini.

"Sudahlah. Ayah nggak mau bahas itu lagi. Sudah cukup pekerjaan ayah yang membuat pusing, jangan tambah beban pikiran ayah lagi," tandas ayah menyerah. Ia tak mau lagi berdebat ringan denganku tentang keadaan kota.

Aku hanya mengangguk samar, kemudian menoleh lagi ke arah orang-orang ynag ada di luar sana. Hampir 20 menit kami terjebak jalan, aku bahkan hampir lupa kalau hari ini adalah hari pertama aku masuk ke sekolah.

Setelah kemacetan sedikit berkurang, akhirnya laju mobil ayah bisa sedikit luas. Kami membelah jalan hingga sampai di depan gerbang SMA N05. Dari dalam mobil aku melihat sekolah itu cukup besar. Aku rasa berlantai dua.

"Neta bisa'kan sendiri? Mau ayah temenin lagi?" tanya ayah padaku, ketika aku hendak turun dari mobil.

"Neta udah gede, ayah. Nggak perlu di temenin lagi," sahutku menjelaskan. Ayah mengangkat ibu jarinya dan tersenyum padaku. "Neta pergi, yah."

"Semangat putri ayah! Sekolah yang bener. Biar bisa ngejar impian jadi lawyer besar," ayah berteriak kecil menyampaikan semangatnya. Aku yang mendengar itu pun di buat memutar tubuhku lagi, dan membalas ayah dengan acungan ibu jari lalu melambai.

"Neta janji bakalan jadi lawyer yang besar." Aku mengatakannya hanya lewat gerakan mulut, karena jika berteriak akan sangat malu, sebab suasana sudah sangat ramai anak lainnya.

Ayah pun pergi dan tak tampak lagi dari penglihatanku. Aku memutar tubuhku, dan melangkah. Sekolahnya benar-benar berbeda dari dugaanku. Ini cukup besar dan lebih mewah. Aku menginjakkan kakiku di ubin pertama gedung itu. aku melihat lalu lalang teman-teman. Sejenak aku terdiam di tempatku, lalu menemukan banyak sekali perbedaan.

Anak-anak lainnya mengenakan seragam dengan gaya yang terbilang cukup menarik perhatian. Rok abu-abu yang mereka kenakan, tampak lebih pendek dari yang kupakai. Seragam putih itu juga tampak membentuk lekuk tubuh para gadisnya. Bisa seperti itu? aku bertanya-tanya.

Aku mengedarkan lagi pandanganku ke arah belakang. Siswa-siswa di sana cukup berani. Mereka tak menyematkan seragam dengan rapi. Dasi yang seharusnya berada di leher, tapi ini terlihat melilit di kepala meraka. Bukankah dasi di kenakan di leher? Ini kenapa jadi diikat di kepala?

Riuh pun tiba-tiba gaduh dan membuatku terperanjat pelan. Ada beberapa cowok yang berbincang dengan suara lantang. Kuamati mereka semua, tampak sama dan tidak ada yang berbeda, kecuali satu orang.

Sosok yang berjalan di urutan paling belakang. Dia cowok yang penampilannya cukup rapi, dan benar-benar terlihat seperti anak sekolah pada umumnya. Aku tak bisa berpaling darinya. Wajahnya teduh, tengah fokus menatap layar ponselnya, seraya berjalan hampir sampai ke arahku. Satu tangannya tenggelam di saku celana, dan langkanya stabil mengikuti arah.

Geri Agasta. Name tag yang sempat kubaca, ketika dia melintas tepat di depanku.