Setelah kemarin mereka sudah berberes dan pergi ke rumah sakit, Elora dan Kenza sekarang sedang mempersiapkan isi koper dua yang snagat besar, mereka benar-benar akan pindah. Sebenarnya Elora sangat sedih merasakan semua ini. tempat dimana ia berlindung ketika ia sudah tidak punya siapa pun, namun demi kesehatan dan mengetahui tujuan hidupnya, ia harus merekalakan semuanya dan pergi ke Hutan pinggir kota ini.
Kenza yang sedang mengeringkan rambut mencoba membantu Elora yang kesulitan untuk menutup kopernya.
"Sini," ucap Kenza sambil mengambil alih resleting yang berada di tangan Elora.
"Terimakasih," ucap Elora ketika mendapati kopernya telah tertutup dengan sempurna.
Kenza memandang sahabatnya ini dari samping, ia tahu bahwa Elora sangat sedih, telah kehilangan orang tuanya, tidak dianggap kakeknya bahkan sekarang Brian yang tertnyata hanya menganggapnya pelampiasan untuk melupakan gadis yang pernah ia temui dan ia sukai.
"Elora," panggil Kenza dengan lembut.
"Hm?" jawabnya tanpa memandang Kenza, ia tak mau Kenza tau bahwa air matanya ingin sekali jatuh.
"Apa kamu baik-baik saja?"
"Tentu."
Elora terus menatap koper tanpa melihat dengan siapa lawan bicaranya. Dengan pelan Kenza memegang pundak yang rapuh itu dan menghadapkan ke arahnya. Mata mereka saling memendang dan benar saja, mata Elora telah berkaca-kaca.
"Begini kamu bilang tidak apa-apa?" tanyanya sedikit membentak.
Kenza kesal atas sikap Elora yang sok kuat, padahal disini ada dirinya yang selalu bisa diandalkan kapanpun dan dimanapun.
"Menangislah Elora, jangan di tahan," ucap Kenza dengan lirih.
Mendapat ucapan seperti itu membuat Elora menangis sejadi-jadinya. Ia lemah… ya… lemah sekali, namun ia berusaha untuk terlihat baik-baik saja. Atas semua yang terjadi padanya, tidak mungkin dirinya baik-baik saja.
"Hiks… Kenza~" ucapnya dengan merengek, air matanya jatuh satu persatu menyusuri pipi putih dan mulusnya itu.
Kenza memeluk Elora dan membiarkanya ia menangis di pundaknya.
Setelah beberapa menit, akhirnya Elora merasa mendingan. Ia kembali membereskan barang-barang kecil miliknya yang akan ia bawa di dalam tas selempangnya. Matanya tak sengaja menagkap benda berkilauan yang terdapat di laci meja kamar kos tersebut. Elora kemudian mengambilnya, ia tak sadar dibelakangnya terdapat Kenza yang memperhatikan dirinya.
"Tidak kau bawa?"
"Aku bawa saja Kenza, mungkin ini sebagai kenang-kenangan dari kak Brian," ucapnya sambil memakai kalung yang semula hanya ia simpan saja.
Kalung emas yang bergandul huruf E dengan hiasan berlian menambah kesan elegan kalung tersebut. Elora mengelus elus gandul kalung tersebut dan bergumam di dalam hatinya. "Semoga kita bisa bertemu lagi," ucapnya dalam hati dengan lirih.
"Apa kamu baik-baik saja Elora?" tanya Kenza dengan prihatin.
"Hum, baik atau tidak baik. Aku tidak punya pilihan lain Kenza."
"Elora memang orang yang kuat," ucap Kenza menyemangati.
"Fyuuwiitt~,"
Kenza bersiul dan tak lama kemudian muncullah burung merpati yang sama saat Elora pingsan di ruang kesehatan.
"Waw," ucap Elora terpanah melihat keahlian yang dimiliki Kenza.
Seakan mengerti apa yang dipikirkan Elora, Kenza menjelaskan bahwa burung ini adalah burung pliharaannya dan hanya untuk mengantar surat ke neneknya. Nenek yang sama yang ditemui Elora di taman kota dan nenek yang sama yang memberikan kertas misterius yang menyuruhnya untuk segera ke hutan samping kota ini.
"Untuk apa kamu memanggil dia?"
"Aku harus mengirim surat dulu kepada nenek agar menyiapkan kendaraan."
"Wahhh~."
Elora hanya bisa mengucapkan kata 'Wahh' dibenaknya, ia membayangkan sebesar apa rumah nenek Kenza di tengah hutan dan kendaraan apa yang akan dikirim oleh neneknya itu, alpart atau pajero atau kijang inova? Dia sudah memikirkan kekayaaan yang dimiliki nenek Kenza.
"Nek, aku dan Elora ingin pergi ke rumah nenek, apakah nenek bisa menyiapkan kendaraan?" gumam Kenza sambil menulis di kertas kecil dan mengikatnya di kaki pipit- Burung merpatinya.
"Apakah dia pintar?" tanya Elora sambil menyentuh kepala pipit yang ingin dielusnya.
"Tentu saja."
"Pipit, berikan kepada nenek ya," perintah Kenza sambil mengelus badan pipit yang gemuk. Pipit pun mengangguk seakan mengerti apa yang dikatakan Kenza, kemudian ia terbang menuju ke nenek di tengah hutan.
Elora hanya bisa tertegun melihat ini semua, padahal jaman sudah modern mereka bisa menggunakan Handphone kan, namun mereka menggunakan burung sebagai pengantar pesan satu sama lain.
***
Pipit terbang dengan santainya di tengah keramaian kota dan di tengah derasnya udara yang berhembus berlawanan dengan arahnya, sesekali tubuhnya terombang ambing karena sapuan angin siang yang sangat kencang, awan pun mulai menunjukkan tanda-tanda akan turun hujan. Ditengah semua itu pipit berhasil melewatinya dan akhirnya sampai di gubuk di tengah hutan.
"Halo pipit," sapa nenek Kenza yang bernama Rose.
Nenek Rose adalah nenek Kenza sekaligus seorang peramal yang akan memandu Elora agar mengingat kembali ingatan di kehidupan terdahulu. Sejak pertama bertemu Elora, ia merasakan jiwa yang hitam sedang bersemayam di tubuh Elora dan itu juga adalah jiwa Elora dari kehidupan sebelumnya.
Nenek Rose mengambil gulungan kertas yang terselip di kaki pipit. Ketika membacanya, ia tersenyum dan segera mempersiapkan kendaraan ghoib kepada Kenza.
***
Setelah menunggu beberapa menit akhirnya Kenza mendengar suara angsa di luar.
"Kendaraan kita sudah sampai," ucap Kenza kepada Elora yang celingak celinguk memandang jendela yang langsung tertuju pada jalan.
"Mana?" tanyaya.
Elora tidak melihat apapun selain angsa putih yang sedang duduk di tengah jalan.
"Jangan bilang angsa itu adalah kendaraan kita."
"Iya memang."
"Astaga," ucap Elora sambil membungkam mulutnya, ia tidak tau harus tertawa atau menangis. Ia sudah membayangkan ada mobil alpart atau setidaknya kijang inova sebagai kendaraanya., namun ini malah angsa? Kok bisa.
"Gila kamu Kenza!" ucap Elora dengan menggelengkan kepalanya.
"Tenang Elora, dia nanti bisa jadi besar lebih besar dari pada mobil."
"Astaga Kenza… ku kira aka nada mobi alpart atau pajero gitu"
"Hahaha Elora, jangan menghayal yang bukan-bukan… Ayo!" ucap Kenza sambil membawakan kopernya.
"Makan ini dulu," ucap Kenza sambil memberikan Elora permen bewarna keemasan.
"Apa ini?"
"Ini untuk perlindungan kita agar semua orang tidak bisa melihat kita," ucap Kenza dengan memakan pil yang sama seperti yang ia kasihkan ke Elora.
"Astaga, masih ada yah al seperti ini," ucap Elora, namun dirinya tetap memakan pil yang diberikan Kenza.
Mereka berdua keluar dari kamar kosan dan menaiki angsa yang tiba-tiba menjadi besar. Elora menaikan kakinya begitupun Kenza.
"Pegangan yang erat!" ucapnya kepada Elora.
Angasa tersebut mulai mengepakkan sayapnya dan terbang ke udara. Ini semua tidak bisa di percaya Elora. Ia mengira hanya di dalam dongeng saja hal seperti ini ada, namun ternyata ia mengalaminya sendiri.