Chereads / DUDA PILIHAN PAPA / Chapter 5 - Bendera perang

Chapter 5 - Bendera perang

Matahari bersinar hangat dan Ashiqa masih dalam buaian tempat tidurnya, Rama memandangi istrinya yang terlelap dengan pulasnya. Dia sangat bersyukur dengan kehidupannya yang sekarang dan mungkin akan lebih bahagia lagi jika ada kehadiran anak di antara mereka.

"Jangan menatapku seperti itu, aku malu." Ashiqa rupanya sudah terbangun dan ketika dia membuka mata terlihat Rama yang sedang menatapnya tak berkedip.

"Aku suka liat kamu kalau lagi tidur, bikin pikiranku travelling." Rama mengedipkan matanya sambil menggoda Ashiqa. Ashiqa menutup kepalanya dengan selimut menyembunyikan rona di wajahnya. Sepulang dari makan malam mereka melanjutkan aktifitas lain di tempat tidur mereka. Rama menyebut itu 'piknik kasur'.

"Apa kau punya rencana masa depan yang ingin kau wujudkan Shiqa?" tanya Rama serius, dia bergerak meraih tubuh istrinya dan memeluknya tanpa canggung lagi.

"Aku ingin melanjutkan kuliahku lagi Rama, punya ilmu yang berguna untuk membantu perusahaan ayahku."

"Oh … iya kuliah, tentu saja. Aku mengakuisisi perusahaan ayahmu demi kelangsungan perusahaan dan kehidupan para karyawan ayahmu. Jika keadaan sudah membaik nanti aku tetap akan mengembalikannya lagi kepada beliau." mata Rama menerawang sambil jemarinya mengelus rambut Ashiqa dengan lembut.

"Dulu ayahmu melakukan hal yang sama pada salah satu anak perusahaan ayahku jadi aku hanya berbuat hal yang semestinya juga pada perusahaan ayahmu. Jadi soal Datuk Maringgih itu…,"

"Ssst… jangan lanjutkan. Aku hanya sedang emosi saja saat itu Rama." Ashiqa menutup mulut Rama dengan telapak tangannya.

"Aku minta maaf untuk itu." Lanjutnya lagi. Rama mengecup telapak tangan Ashiqa dan meletakkan tangan istrinya di dadanya.

"Aku bisa memahaminya. Baiklah kita akan urus kuliahmu secepatnya agar kau tidak bosan di rumah. Bisa jadi suatu hari nanti kau yang akan memimpin perusahaan ayahmu lebih baik lagi dan aku akan sangat bangga saat masa itu tiba."

Rama dan Ashiqa saling bertatapan, Rama tersenyum penuh arti dan menarik selimut hingga menutupi mereka berdua.

"Aku masih ingin 'piknik kasur' sekali lagi Sayang." bisik Rama mesra di telinga istrinya.

Ashiqa mengibas-ngibaskan rambutnya yang basah dan sedang menuruni tangga menuju dapur. Dia sudah merasa kelaparan setelah "bertualang" bersama suaminya. Rama sendiri masih ada di kamarnya untuk bersiap ke kantor.

"Ooh … bagus yaa … pengantin baru memang bawaannya bangun siang melulu!" terdengar suara seorang perempuan paruh baya yang baru saja melewati ruang tengah dan menegur Ashiqa. Perempuan yang berdandan bak sosialita dan di belakangnya seorang wanita muda dengan dandanan tak kalah meriah dengan bajunya yang modis kekurangan bahan.

"Gembel dari mana lagi yang dinikahi Rama ini?" wanita muda itu memandang sinis AShiqa dari kepala hingga kaki. Ashiqa memandang tajam ke arah dua perempuan yang terang-terangan mengibarkan bendera perang kepada Ashiqa.

"Kenapa kamu bengong begitu ? ini tas dan koper saya bawa masuk, mertua datang bukannya disambut malah dipelototin!" seru perempuan itu lagi.

Bi Sri yang melihat kejadian itu dengan segera tergopoh-gopoh mengambil tas ibu tiri dan saudari tiri Rama yang tampaknya baru saja tiba dari luar negeri.

"Maaf Nyonya Besar, nyonya Ashiqa tampaknya belum mengenali Nyonya, biar saya saja yang simpan yaa?" bi Sri segera mengambil tas dan menggeret koper besar milik ibu tiri suaminya itu.

"Ibu sudah kembali dari LA yaa ? bagaimana perjalanan Ibu dan Kareena?" Rama mengambil tangan ibu tirinya menciumnya dengan takzim dan penuh hormat.

"Kemarilah Ashiqa, perkenalkan ini ibuku, ibu Rukmini dan adikku Kareena."

Ashiqa mendekat dengan ragu, tatapan tajam ibu Rukmini serta Kareena seakan ingin mengulitinya hidup-hidup. Ibu Rukmini hanya menyentuh tangan Ashiqa seadanya juga dengan Kareena saat Ashiqa hendak menyalami mereka.

"Ibu memang tidak sempat hadir di pernikahan kita karena menemani Kareena yang sedang pemotretan di Amerika jadi aku belum sempat memperkenalkanmu pada ibuku." terang Rama untuk menjawab raut tanya di wajah Ashiqa.

"Istri baru kamu ini bukan gembel penyakitan lagi kan ? hobi kok kawin sama orang miskin."

Ibu Rukmini tersenyum sinis ke arah menantunya. Ashiqa mengepalkan tangannya meski ayahnya jatuh bangkrut tapi perusahaan ayahnya adalah salah satu perusahaan terbesar di negeri ini hampir berdampingan dengan perusahaan milik Rama dan dia belum sampai pada level gembel seperti yang dituduhkan ibu mertuanya.

"Ibu, dia Ashiqa putri pak Mahendra, dulu pak Mahendra adalah rekan bisnis mendiang ayah."

"Elleeh … tetap saja, kamu menikahi dia kan karena perempuan ini diincar sama rentenir tempat ayahnya pinjam uang kalo saja ayahnya gak ngemis minta tolong sama kamu dia dan keluarganya sudah berakhir di jalanan jadi pengemis beneran."

"Udah aah Bu, aku cape niih … baru datang udah bikin bad mood aja." Kareena berlalu dan diikuti dengan ibu Rukmini masuk ke kamar mereka.

Ashiqa berbalik kepada suaminya dengan tatapan hancur, air matanya tumpah.

"Ashiqa, dengar …,"

Ashiqa menggeleng dan segera berlari menuju kamarnya, beberapa detik Rama mematung lalu menyusul istrinya untuk menjelaskan apa yang baru saja di dengarnya.

Bi Sri menghela napas sambil mengelus dadanya, ibu Rukmini jika datang selalu saja membuat masalah. Masih teringat oleh bi Sri perlakuan nyonya besar serta nona mudanya itu mendiang Kania. Betapa hinaan dan perlakuan tidak menyenangkan diterima oleh istri majikannya itu. Bi Sri berharap jika nyonya mudanya kali ini adalah perempuan yang sabar dan tangguh menghadapi sosok ibu dan saudari tiri suaminya yang suka semena-mena.

"Ashiqa, dengar, itu tidak seperti yang kamu dengar dari ibuku. Pernikahan kita tidak ada hubungannya dengan rentenir, uang atau apapun. Aku menikahimu karena aku memang menyukaimu, jatuh cinta padamu dan…"

"Cukup Rama. Tapi ibu kamu menghina aku seperti ini, sikapnya keterlaluan." Ashiqa merasa tersinggung dengan sikap ibu mertuanya itu.

"Atas nama ibu aku minta maaf Sayang, kumohon mengertilah nanti kau akan paham bagaimana karakter ibuku. Aku harus berangkat ke kantor sekarang. Carilah informasi tentang perkuliahanmu itu nanti aku akan mengirim Wisnu untuk mengantarmu." Rama mencium kepala Ashiqa dan mengelusnya sebelum meninggalkan kamar.

Ashiqa mengelap air mata di pipinya lalu mengatur napas. Sungguh kehadiran ibu Rukmini dan Kareena adalah kejutan luar biasa di kehidupan baru Ashiqa ini. Tapi Ashiqa bertekad tidak akan menyerah begitu saja, dia tidak akan mau terjajah dan teraniaya. Ashiqa yakin dia tidak melakukan kesalahan dan tidak akan mau menerima perlakuan buruk dari mertua dan iparnya. Ashiqa harus fokus pada rencananya semula memulai kuliah lagi.

Ashiqa menuruni tangga dan melewati ruang tengah, tampak ibu mertuanya sedang bersantai bersama Kareena.

"Duuh … susah yaa punya menantu anak ingusan, suaminya lagi kerja setengah mati cari uang eeeh istrinya malah keluar keluyuran gak jelas." Sindir ibu Rukmini kepada Ashiqa.

"Mumpung punya suami kaya Bu, kapan lagi nikmatin uang dan foya-foya kalo gak sekarang ? Rama aja tuh yang beg* mau diporotin."

Panas telinga Ashiqa mendengar kata-kata mereka namun dia bertahan sekarang bukan saat yang tepat meladeni omongan mereka yang nyinyir tentang dirinya. Mereka belum tahu saja jika Ashiqa yang sebenarnya bisa sekuat banteng jika dia mulai melawan.

"Nyonya Muda, silakan kita sudah ditunggu di kampus, tuan Rama sudah berbicara dengan ketua dekan." Wisnu membukakan pintu mobil untuk Ashiqa.

"Kenapa Rama harus ngomong segala sih mas Wisnu? Aku maunya lewat jalur biasa aja gak usah sampai segininya deeh." Ashiqa cukup kesal dengan apa yang telah dilakukan suaminya. Dia tidak ingin jika satu kampus tahu jika dia adalah istri dari Ramadhan Alfarizi, seorang CEO beberapa perusahan raksasa dan penyumbang dana pendidikan dengan nominal besar di berbagai perguruan tinggi.

"Tenang saja Nyonya, hanya ketua dekan saja yang tahu jika anda adalah istri dari tuan Rama, dia juga meminta agar identitas anda disamarkan di kampus nanti."

Ashiqa mengangguk paham, dia akhirnya lega jika Rama mampu memahami keinginannya dengan baik. Sepanjang perjalanan Ashiqa menerka-nerka bagaimana nanti jalan masa depannya. Perkataan Rama ada benarnya, jika dia sudah menyelesaikan kuliah dengan baik dia bisa bekerja di perusahaan ayahnya dan membuat perusahaan itu jadi lebih baik lagi.

Ashiqa keluar dari ruang dekan dengan wajah berseri, dia bisa memulai kuliah lagi dalam waktu dekat. Dia memutuskan untuk mengambil jurusan ekonomi bisnis dengan harapan kelak ilmunya akan berguna dia terapkan di perusahaan ayahnya. Ashiqa cukup percaya diri dengan kemampuan otaknya karena di sekolahnya dulu dia siswi yang cerdas dan beberapa kali mengikuti program akselerasi hingga menyelesaikan sekolah lebih cepat.

"Chika ? kamu Chika kaan ?" seorang gadis muda sebaya dengannya menghampiri Ashiqa meski sedikit ragu.

"Terryn ? astaaaagaaa … Terryyyn …!" pekik Ashiqa dengan senang, spontan dia memeluk kawan lama dari sekolah menengah umumnya itu dengan erat.

"Kamu kemana aja Chika ? tiba-tiba menghilang setelah penamatan. Semua kontak kamu gak bisa dihubungi. Aku syeddiihh tau…," Terryn gadis yang terbilang lumayan cantik, berkulit putih dan wajah lonjong itu masih memeluk Ashiqa sama eratnya.

"Aku pindah setelah kantor ayahku yang lama ditutup. Tapi sesuatu terjadi dan aku akhirnya ada di kota ini." Ashiqa melepas pelukannya dari Terryn.

"Jadi kamu udah gak sama Arkhana lagi?" tanya Terryn yang tahu jika Ashiqa sempat berpacaran dengan Arkhana kakak kelas mereka.

Ashiqa menggeleng sedih, terakhir sebelum mereka berpisah Arkhana babak belur dipukuli anak buah ayahnya. Lalu mereka kembali bertemu tapi dia pura-pura tidak mengenali dirinya.

"Oh yaa kamu sama siapa tinggal disini? Kamu ambil jurusan apa?" tanya Ashiqa mengalihkan pembicaraan mereka.

"Aku tinggal sama kak Deva, dan aku sebenarnya baru mulai juga siih. Ambil teknik sipil, tadinya mau ambil perhotelan supaya bisa kerja dengan ibunya kak Deva tapi … teknik sipil lebih keren he he he …"

Keduanya berbincang cukup lama dan saling bertukar nomer ponsel kemudian berpisah. Ashiqa kembali pulang ke rumah dan optimis jika kehidupannya ke depannya nanti akan baik-baik saja.