Chereads / mata ketiga / Chapter 20 - Bab 20

Chapter 20 - Bab 20

Aku terheran padahal sangat jelas aku melihat banyak sekali kelabang dan potongan tangan, tapi saat ada ayah tiba-tiba semua itu menghilang apakah aku sudah gila. Aku sangat lelah sekali sampai akhirnya aku tertidur dan di bangunkan oleh Nenek dan Kakekku karena mereka sudah datang ke rumah saat subuh.

"Nin bangun," ujar Nenek.

"Eh Nenek kapan sampai?" tanyaku.

"Baru saja," jawabnya.

"Nek titip Mamah ya aku mau sekolah dulu dan Ayah kerja," ujarku.

"Iya kamu tenang saja, kamu jangan banyak pikiran Adik kamu pasti ketemu.

"Iya Nek," jawabku.

Aku berisap dan pamit pergi sekolah, saat sampai Ana dan Sara menanyakan keadaan Mamahku. Aku menceritakan semua yang terjadi semalam, aku juga mengatakan kalau aku curiga kepada Tante Lidia dan aku akan membujuknya agar dia memberitahu di mana Adikku.

"Tapi kita tidak punya bukti," ujar Ana.

"Iya tapi aku yakin karena aku sudah mengetahuinya hanya saja aku tidak bisa memperlihatkan kepada kalian," ujarku.

"Kamu tenang saja kita akan bantu kamu mencari bukti," ujar Sara.

"Terima kasih ya," ujarku.

"Iya sama-sama," jawab Sara.

"Rencananya nanti sepulang sekolah aku akan mendatangi rumah Tante Lidia," ujarku.

"Oke kita ikut," ujar Ana.

Bel masuk berbunyi, kami mulai mengerjakan ujian. Aku sangat tidak fokus saat mengerjakan soal-soal itu kepalaku sangat pusing tapi aku mencoba menguatkan diri sampai ujian selesai. Karena Ujian kami pulang cepat saat pulang aku dengan cepat bergegas karena ingin menemui Tante Lidia.

"Tok! Tok! Tok permisi," ujarku.

"Mau cari siapa," tanya suami Tante Lidia.

"Tante Lidia ada?" tanyaku.

"Mau apa kamu cari saya?" tanyanya ketus.

"Di mana Tante sembunyikan Adin saya?" tanyaku dengan nada agak tinggi.

"Apa maksud kamu?" tanyanya marah.

"Saya tahu Tante kan yang menyuruh Makhluk itu mencuri Adik saya," jawabku kesal.

"Kamu jangan asal menuduh ya saya bisa melaporkan kamu ke Polisi," dia mengancam.

"Saya tidak takut dan saya akan mencari bukti kalau Tante memang bersalah," jawabku.

"Pergi kalian!" Teriaknya.

Kami di usir dan di seret keluar oleh mereka, Ana dan Sara mencoba menenangkanku yang emosi mereka membawaku ke rumah saat amarahku sudah reda mereka menyuruhku untuk tidak bertindak gegabah sebelum mempunyai bukti, aku melakukan itu karena kesal dan tidak tahu lagi harus berbuat apa aku khawatir di mana Adikku dan keadaan Mamah semakin melemah karena memikirkan Adikku.

"Eh ada Teman-temannya Nina," ujar Nenek.

"Eh iya bagaimana kabar Nenek?" tanya Sara.

"Baik, sebentar Nenek ambilkan dulu minum ya," ujar Nenek.

"Ah tidak usah repot-repot Nek," ujar Ana.

"Tidak repot kok, tunggu sebentar ya," ujar Nenek.

"Iya Nek," jawab Sara.

"Kalian tunggu dulu di sini ya, aku mau lihat keadaan Mamah.

Aku pergi ke kamar ternyata keadaan Mamah sangat lemah saat aku masuk Mamah langsung menanyakan apakah Polisi sudah menemukan Adikku, aku bilang kalau kami masih berusaha mencari Adik, Mamah tidak mau makan dan minum dia terus melamun aku mencoba menyuapinya karena makanannya belum juga di makan dari tadi, tapi Mamah menolak.

"Mah makan ya," pintaku.

"Mamah tidak lapar Mamah ke pikiran terus Adik kamu," jawabnya sambil menangis

"Iya Mah aku juga sama, tapi Mamah harus makan agar tidak tambah sakit," ujarku.

"Bagaimana dengan Adik kamu apa dia juga sudah makan Mamah enggak tahu," Mamah terus menangis.

"Kita akan terus berusaha sampai Adik ketemu tapi Mamah harus makan agar cepat sembuh," ujarku.

"Mamah tidak akan makan sebelum Adik kamu ketemu," ujarnya sambil menangis.

Aku pergi ke luar kamar dan memberitahu Nenek kalau Mamah tidak mau makan, Nenek membujuk Mamah tapi tetap saja tidak mau Mamah malah terus melamun wajahnya sudah sangat pucat. Kami khawatir dengan keadaan Mamah Polisi belum juga menemukan tanda-tanda ke mana Adikku pergi, kali ini juga Pak Ustaz tidak bisa membantu aku sangat bingung harus mencari ke mana.

"Nin bagaimana Mamah kamu?" tanya Ana.

"Dia tidak mau makan," jawabku.

"Mungkin karena memikirkan Adik kamu," ujar Sara.

"Iya aku bingung harus bagaimana," jawabku.

"Kamu harus kuat kita semua akan membantu kamu Adik kamu pasti ketemu," ujar Sara.

"Iya mudah-mudahan saja," jawabku.

Karena sudah sore Teman-temanku pamit pulang dan aku mengantar mereka sampai gerbang, saat aku hendak masuk rumah aku melihat Tante Lidia dan Suaminya pergi ke gudang belakang rumah mereka. Tapi yang aku lihat gerak gerik mereka mencurigakan, aku mencoba mengikuti mereka dan mengintipnya dari luar. Aku melihat ada seseorang yang di sekap tapi tidak begitu jelas.

"Kita harus melakukan ritualnya segera," ujar Tante Lidia.

"Iya tapi kita masih kurang satu lagi bendanya," jawab Suaminya.

"Kamu harus segera mengambilnya," ujar Tante Lidia.

"Bagaimana caranya?" tanya suaminya.

"Pikirkan sendiri," jawabnya.

Orang itu di kelilingi dengan lilin yang membentuk tanda bintang dia di ikat dan di tutup dengan kain, Suami Tante Lidia menyembelih ayam hitam dan menampung darahnya untung saja aku membawa HP jadi aku bisa merekamnya. Tante Lidia membawa mangkuk berisi darah dan akan membuka penutup kain yang menutupi orang itu rupanya darah itu akan di siramkan ke tubuhnya. Saat kain itu di buka aku kaget karena ternyata itu Adikku yang sudah terlihat lemas, aku berlari ke rumah untuk meminta pertolongan.

"Adik ada di sana!" Teriaku.

"Di sana di mana?" tanya Ayah yang baru pulang.

"Di gudang Tante Lidia," jawabku.

"Kamu jangan bercanda," ujar Ayah.

"Tidak lihat aku sudah merekamnya, ayo cepat kita selamatkan Adik," ujarku.

Ayah dan Kakek bergegas ke gudang itu dan aku di suruh untuk memberitahu warga untuk menolong Adikku, ternyata Adikku akan di jadikan santapan untuk Makhluk peliharaan mereka dan benda yang kurang itu adalah rambut Mamahku. Aku berlarian ke rumah Pak RT dan menjelaskan kalau Tante Lidia telah membawa Adikku dan akan menyerahkannya kepada Makhluk gaib karena mereka melakukan pekerjaan ilmu hitam.

"Kumpulkan semua Warga," ujar Pak RT.

"Siap Pak," jawab seorang Warga," jawabnya.

"Suruh mereka mendatangi rumah itu, saya dan Nina akan pergi terlebih dahulu," ujar Pak RT.

"Baik Pak," jawab Warga itu.

Sementara itu Ayah dan Kakekku mendobrak pintu gerbang itu dan benar saja mereka menemui Adikku yang sudah di siram darah oleh Tante Lidia, Adikku tidak sadarkan diri, suaminya mengambil pisau dan hampir saja menikam Ayahku untung saja Kakek melihatnya dan memukul tangan suami Tante Lidia dengan mangkuk besar yang ada di sana. Dari luar terdengar suara Warga yang marah sambil membawa minyak tanah sepertinya mereka akan membakar rumah ini kalau Tante Lidia dan suaminya tidak keluar.