Kota Prisma teramat ramai sebagai pusat dari benua Orpris. Apalagi, tempat ini dijadikan tempat untuk pusat dari seluruh rangkaian tes untuk menjadi Pasukan Langit. Pendekar putih dari seluruh benua pun datang dan ingin mengikuti tes, orang biasa dan bangsawan pun datang untuk melihat dan mendukung para pendekar.
Hal ini karena, para pendekar yang sedang direkrut untuk Pasukan Langit akan menjadi tameng utama jika memang pasukan kegelapan datang dan ingin menguasai dunia ini sekali lagi.
Pergerakan pasukan gelap memang sudah mulai tercium oleh intelejen dari seluruh benua. Gerakan mereka cukup licin dan sulit untuk ditangani.
Aji duduk di sebuah kedai makan yang cukup ramai, di salah satu meja dia sendirian dan memesan makanan. Aji terus berpikir bahwa masuk menjadi Pasukan Langit tidaklah salah, dengan otoritas Pasukan Langit selanjutnya, maka hal itu mudah untuk mengumpulkan para pendekar yang bisa membantunya menumpas pasukan Lord Demon.
Aji kembali teringat pengorbanan Ganada dan Yonan, mereka sampai mengorbankan dirinya demi menunda invasi Lord Demon. Lord Demon sendiri saat itu sedang hibernasi dan menyerap kekuatan the blood thousand, atau pengorbanan dari ribuan darah. Mereka menangkap siapapun dan menyerap inti darah manusia. Saat itulah, Yonan melihat kesempatan sebelum terlambat.
Mereka bertiga melakukan serangan kejutan. Lord Demon belum selesai melakukan penyerapan dan akhirnya dia terpaksa keluar karena penyerangan tiga legenda tersebut.
Yonan dan Ganada akhirnya harus terbunuh dan hanya Fist Thunder yang selamat dengan magic barrier dari Yonan. Yonan dan Ganada memutuskan bahwa Aji harus terus hidup dan mengumpulkan kekuatan kembali untuk bertarung melawan Lord Demon.
Tanpa terasa airmata Aji hampir saja jatuh, namun Aji segera menghapusnya. Dalam hidup Aji, belum pernah selama hampir satu abad usianya dia menangis. Dia selalu diejek oleh dua rekannya sebagai bujang lapuk.
Benar saja, Aji tidak pernah memikirkan wanita dalam hidupnya. Dia hanya terobsesi dengan ilmu bela diri dan melengkapi kekuatan tempurnya. Satu hal yang menjadi fokus kekuatannya adalah pukulan kehancuran, Fist Thunder.
"Kamu memang tak punya teman?" seorang wanita, Barsha kembali menyapa Aji dan dia berdiri di meja tersebut.
Aji pun tersenyum padanya, "Kau tak perlu mengkhawatirkan aku, Aaman memang menitipkanmu untuk mengawasiku. Tapi, aku lebih dari cukup untuk menjaga diriku sendiri. Jika kamu mau makan bersama. Silakan duduk."
Merasa kesal dengan kesombongan Aji, Barsha pun duduk di hadapannya. Barsha sendiri heran, ada lelaki yang sederhana namun sombong luar biasa. Disaat, banyak lelaki yang mengejar dirinya, lelaki ini malah tak ada ekspresi sama sekali bahkan saat dirinya mencoba untuk berinisiatif mendekatinya hanya untuk mengawasi.
"Apakah kau tak khawatir dengan ujian kedua nanti?" Barsha kembali bertanya sambil memesan minuman.
"Tidak ada yang perlu dikhawatirkan soal ujian ini hingga akhir," tegas dan tanpa ekspresi, Aji pun menikmati kembali makanannya.
"Kau ini, kamu pasti adalah orang yang baru saja turun dari pegunungan dan baru melihat dunia luas. Kamu terlalu percaya diri Aji."
Aji pun tersenyum kecil lagi, "Kita tak perlu khawatir dengan ujian, masalah besarnya adalah apakah bisa menyatukan para pendekar untuk kembali menghadapi pasukan kegelapan."
Barsha pun merasa terkejut, ada seseorang seperti Aji yang tidak berpikir untuk jabatan, ingin dihormati dan mendapatkan tempat dan nama terkenal di dunia bela diri? Bahkan, jawaban sederhananya adalah mengumpulkan para pendekar dalam menghadapi Pasukan Kegelapan.
Barsha pun melihat ada yang istimewa dari Aji tersebut. Meskipun sangat sederhana dalam penampilan dan kekuatan pukulannya yang dapat menggeser kotak baja tempo hari. Itu semua sudah membuat Barsha penasaran, bagaimana kekuatan tempur sebenarnya pemuda ini. Bahkan, Aaman sendiri yang memintanya mengawasi Aji.
Mungkin, maksud sepupunya itu bukanlah mengawasi namun bersamanya agar lebih mudah masuk dan lulus tes Pasukan Langit.
Apakah pemuda di depannya ini adalah pemuda yang hebat?
"Apa yang kamu ketahui tentang Pasukan Kegelapan, Aji?" Barsha merasa penasaran dan menanyakan hal tersebut pada akhirnya.
"Aku pernah berhadapan dengan mereka."
Barsha pun kaget mendengar hal tersebut. Jika pernah berhadapan dengan mereka, bagaimana Aji bisa selamat dan apakah hal itu bisa dipercaya olehnya? Bahkan, Kakeknya sendiri, Ganada tak selamat 20an tahun yang lalu saat bertempur habis-habisan melawan pasukan gelap.
Namun, Barsha hanya percaya mungkin yang dihadapi Aji adalah pasukan divisi atau sekedar bawahan dari Lord Demon.
"Baiklah..., terserah padamu. Bersiaplah untuk ujian tingkat kedua, pasti ini akan sulit dan lebih sulit dari tingkat satu. Bersiap-siap sajalah. Kita bertemu lagi di ujian besok. Jaga dirimu baik-baik, pendekar gunung."
Barsha pun izin pergi meninggalkan Aji, dan Aji pun melihat punggung wanita itu ketika pergi. Aji tersenyum, benar – benar mirip dengan Ganada. Sungguh beruntung Ganada dan Yonan, meskipun mereka telah pergi dari dunia ini, namun mereka sempat memiliki keluarga. Dan Aji..., entahlah dia sendiri masih tidak bisa memikirkan apapun soal keluarga.
Berlatih dan berlatih, itulah yang dilakukan Aji selama ini. Bahkan, sejak kekuatan Yonan menyegel dirinya dan memindahkan tubuhnya ke suatu tempat yang astral dan tak bersinggungan dengan dunia fisik ini. Aji hanya melakukan pelatihan dan pelatihan, sudah saatnya dia muncul kembali dengan nama baru, Aji.
Sekali lagi, Aji ingin melawan satu lawan satu, dengan Lord Demon. Kali ini, dia tidak boleh lagi lengah dan harus mengumpulkan para pendekar jika ingin menyelesaikan misi penghapusan pasukan kegelapan dengan sempurna.
Aji mengepalkan genggaman tangannya, dia sedikit emosi dengan hal Lord Demon.
"Kalian dari tadi hanya mendengarkan kami, apakah kalian tak ingin bergabung?" Aji mengatakan hal itu tanpa menoleh pada dua orang di samping tempat duduknya.
Dua orang itu laki-laki dan perempuan, mereka memang duduk di sebelah Aji.
"Sepertinya kamu sedikit emosi kawan?" seorang lelaki menatap Aji dan tersenyum. Lelaki itu berperawakan sedang dan tinggi, "Ayo bergabung satu meja dengannya adikku."
Lelaki itu memberi kode pada wanita di depannya, wanita itu memakai penutup di kepalanya. Matanya hijau dan indah. Meskipun misterius namun wanita itu sangat pemalu.
Kedua orang itu pun pindah tempat duduk di meja yang sama dengan Aji.
"Kalian memang mengincarku bukan?" Aji menatap wanita itu, dia adalah Gayatri. Gayatri nampak gugup ditatap begitu misterius oleh Aji.
Lao menatap tenang pada Aji, "Tenang Kawan, kami tak punya niat buruk. Kita harus menjalin pertemanan apalagi jika nanti kita lulus Pasukan Langit. Kita harus bisa menyatukan misi dan kekuatan untuk menghancurkan pasukan kegelapan."
Aji pun beralih menatap Lao, "Kamu benar, aku juga tak melihat niat buruk dalam diri kalian. Namaku Aji, kita akan bekerjasama di kemudian hari."
Lao dan Gayatri pun tersenyum pada akhirnya, mereka mendapatkan sekutu yang mempunyai ide yang sama untuk kebaikan seluruh dunia. Lao dan Gayatri pun memperkenalkan diri mereka bahwa mereka berasal dari desa Grayle dan mereka dari benua Frost Line.
Mereka bercerita banyak hal dan kemudian terbuka dengan Aji, mereka dari sebuah desa terpencil dan hidup sebatang kara kecuali bersama guru mereka yang mengambil mereka menjadi muridnya.
Kedua orangtua Lao dan Gayatri dibunuh oleh Pasukan Kegelapan dan mereka menghancurkan desa mereka. Seorang guru mengadopsi mereka dan mengajarkan ilmu beladiri dengan kemampuan masing-masing dari mereka.
"Boleh saya tahu..., siapa guru kalian? Maaf jika aku tak sopan."
Lao sudah merasa yakin dengan Aji dan kekuatan pukulannya itu sangat luar biasa.
"Namanya adalah Jinho."
Aji pun sedikit kaget dari guratan di wajahnya. Sosok yang pernah bertemu dengan Aji dan mereka sempat bertanding. Aji dan Ganada sempat mencari Jinho untuk pertempuran besar itu, namun Jinho menghilang saat itu.
"Apakah beliau masih hidup?"