Sebulan setelah kenangan yang muncul secara tiba-tiba pada Hana dan Hasna, Hanan pun melamar Hasna dengan resmi, membawa ini dan itu ke rumah ayahanda Hasna—Aksa. Hanan sudah menyelesaikan semua persiapan pernikahannya dengan teman kesayangan adiknya itu. Bahkan undangan pun telah pria itu sebarkan, termasuk ke kediaman ibunya sendiri dan juga ke rumah ayahnya Hana.
"Sepekan lagi, kita menikah. Rumah ini akan Abang balik nama menjadi milik Hasna. Tak ada yang bisa mengusir Hasna dari sini termasuk Abang." Hanan berkata ketika kaki kanannya menyentuh tangga teras rumah.
Hasna yang berdiri di ambang pintu berbahan kayu solid tersebut tersenyum lembut. "Rumah ini sudah menjadi milikku, tapi pemilik rumah ini adalah milik Abang."
Wajah Hanan memerah. Dia tersenyum lebar untuk pertama kalinya. Tarikan kedua sudut bibir itu perpaduan antara cinta dan kebahagian yang membuncah. Karena tak ingin mempermalukan karakter dengan bersikap demikian, ia berdeham. Kemudian berpamitan, pulang ke rumah atas nama Hana yang selama ini mereka tinggali. Rumah yang tadi dia beli dari seorang teman yang nantinya akan dipakai setelah pernikahan Hasna dan Hanan sudah selesai diselenggarakan.
"Hasna, Abang udah pernah bilang belum?" Hanan bersuara setelah mencapai pintu gerbang bercat putih gading rumah calon istrinya.
Hasna yang belum mengubah posisi, menjawab. "Apa?"
"Sesuatu. Masa belum pernah."
Meski sedang menggoda, wajahnya tak banyak berubah, seperti tidak punya emosi. Untungnya Hasna sudah mulai memahami calon suaminya, berbekal pengetahuan yang diberikan Hana.
"Belum. Atau aku yang tidak ingat. Memangnya apa, Bang?" Hasna bertanya dengan nada kentara rasa penasaran.
"Abang mencintaimu."
Kini, wajah Hasna yang memerah karena tersipu. Setelah itu, Hanan benar-benar pergi dari pekarang rumah tersebut.
Selanjutnya Hasna menutup pintu dengan dengan tergesa-gesa. Gadis itu menyandarkan punggungnya di pintu tersebut. Dada gadis itu bergemuruh, hingga saat kedua tangan menyentuh bagian itu, ia bisa merasakan debaran super kencang tersebut. Ia pun tak mampu mengendalikan senyum yang teramat lebar hingga rasa sesak menderanya.
"Ya, Allah." Dia berulang kali menepuk-nepuk pipi.
Hasna mengingat kembali masa sulitnya lalu masa bertemu Hana, lalu Bayu dan sekarang. Tak disangka ia diberi kenikmatan hidup setelah perjuangannya selama ini. Mendiang ibunya benar, bahwa Allah senantiasa bersama orang-orang yang sabar. Berbicara mengenai ibunya, dua hari lalu Hasna telah menziarahi wanita yang melahirkannya tersebut bersama Hanan dan Hana. Mereka berdiri di pusara wanita yang mencintai diri Hasnatanpa syarat, bahkan lebih dari mencintai diri sendiri.
Air mata Hasna meleleh bagai air sungai yang mengalir. Dia ingat sekali kala itu tidak ingin sendirian, tapi ia juga tak mampu mengusir kesendirian tersebut.
Kala itu, ia berpikir entah ke mana lagi harus pulang. Dua hari setelah kematian sang ibunda, bahkan ia lebih banyak menghabiskan waktu di kuburan. Menunggui ibunya. Jelas sekali yang mati, meninggalkan dunia takkan pernah hidup lagi di dunia. Nanti ada masanya ketika dibangkitkan kembali. Barulah setelah itu dia dijemput ayahnya. Kemudian, penderitaan lebih sadis menanti di sana. Sebab, sang ayah memilih untuk menikah kembali, padahal kubur sang ibu belum lagi kering.
Lagi-lagi air matanya tidak bisa tertahan ketika mengenang semua itu. Kenangan buruk memang sulit dilupakan, tetapi bukan berarti kenangan itu menghambat kehidupan masa depan. Dia bahkan mendapat hikmah dari pengalaman hidupnya. Lagi pula, kalau tidak seperti itu jalan hidup, mustahil ia bisa bertemu dengan Hanan dan Hana.
"Kamu menangis lagi? Sudah berapa kali kuberi tahu, air matamu hanya boleh dialirkan jika mengingat dosa dan ketika kau bahagia, Hasna."
Hasna tersenyum ketika secara tiba-tiba mengingat kembali kalimat Hana yang mencoba menghiburnya ketika ketahuan menangis karena mengingat masa lalu. Suara itu secara ajaib bergema di telinganya. Air mata ia usap kasar, lalu masuk ke kamar utama. Membuka lemari kayu berbahan jati. Di sana tergantung gaun pengantin berbagai adat. Jawa dan Melayu.
Putri satu-satunya mendiang istri Aksa memandang baju kurung berwarna merah yang akan dipakainya di hari pernikahan. Hanan pun akan memakai bajubadat Melayu jika Hasna memakai baju kurung tersebut. Baju itu diberi langsung oleh Hana. Besok, tak hanya Hana saja, kedua calon mertua Hana pun turut serta. Demikian Dharma yang akan menghadiri acara sakral mereka.
"Aku mengharapkan sesuatu yang mustahil. Kuharap ibuku hadir di saat bahagia esok, ketika aku menikah. Astaghfirullah ...."
Hasna memandangi wajahnya di cermin. Wajah itu tampak lebih bersinar, begitu pula dengan matanya.
"Ternyata benar. Keadaan jiwa dan hati mempengaruhi penampilan dan tubuh kita. Aku harus sembuh dari perasaan sedih di masa lalu. Agar kelak, anak-anakku tidak perlu menyembuhkan diri karena ibu mereka ini."
Kemudian Hasna terkesiap, menyadari bahwa baru saja ia mengatakan kata anak-anak. Untuk kesekian kali, pipi wanita itu pun memerah.
Sementara di belahan bumi Indonesia yang lain, seorang wanita yang ditakdirkan melahirkan Hanan sedang menatap marah ke arah cermin ukiran dari kayu bahan jati.
"Aku enggak rela Hanan menikahi janda." jerit Rina sembari melempar undangan yang didapatnya dari Hanan ke arah cermin.
"Aku tidak sudi!" tekannya lagi sambil mengusap air mata yang mengalir di pipinya. "Bukankah si Aksa ini dulu yang buat anakku menderita? Setelah jadi janda baru dia beri anaknya."
Dia buru-buru menghubungi ayah kandung Hana dan menceritakan segala kekesalan dan ketidak setujuannya pada pernikahan Hanan. Ia mencurahkannya dalam pesan yang diketik melalui aplikasi telepon berwarna hijau.
[Tapi, kemarin-kemarin Hana bilang, kau mengajak Hasna bersama Hana belanja di mol. Kenapa jadi enggak setuju?]
Rina semakin marah mendapatkan balasan mantan suaminya itu. Awalnya memang dia mencoba berdamai dan mulai menerima Hasna. Namun, ketika dia menelusuri lebih lanjut, menurutnya Hasna tidak pantas bersanding dengan putranya.
Karena amarah itu, Rina menelepon Yudi dan langsung mengeluarkan kata-kata yang selama ini dia pendam setelah kata 'halo' dari Yudi terdengar.
"Hanan itu masih perjaka. Mapan, tampan dan baik hati. Tidak rela aku dia mendapat barang bekas. Bawa-bawa anak mantan suaminya pula!"
"Barang bekas? Mulutmu kelewatan Rina."
"Aku gak pernah rela! Enggak setuju!!!" Setelah mengatkan kalimat berapi-api itu, dia memutuskan sambungan telepon.
"Dasar licik! Sudah miskin, baru menerima Hanan. Sudah janda, mengharapkan Hanan jadi suami. Menjijikkan!"
Rina begitu tidak rela kalau putra sulungnya menikahi janda. Belum lagi, dahulu si janda dan keluarganya menganiaya Hanan. Satu-satunya cara adalah dengan menghasut Hana dengan gaya halus. Sebab, dia tahu kalau putrinya itu sulit sekali dipengaruhi, apa pun diksi dan rangkaian kalimatnya.
"Dahulu aku janda, tapi aku menikahi duda." Rina mengomel lagi.
"Janda yang sono malah tidak tahu diri! Aku yakin ada rencana busuk di balik ini semua." Rina berprasangka buruk.