Chereads / TRIO HA / Chapter 12 - Aksi Jail

Chapter 12 - Aksi Jail

Hanan sedang membaca buku di kursi santai berbahan jati ketika Hana mendatanginya ke kamar. Adiknya itu seperti tengah mencari sesuatu. Hanan tidak berinisiatif membantu, bahkan menanyakan pun enggan. Karena kesal seperti tidak dianggap oleh abangnya, Hana menyindir.

"Macem gak ada orang di sini Abang buat ya." 

"Adek mau apa?" Hanan berkata sambil melipat halaman pada buku. 

Hana tersenyum lebar. "Gitu dong, ditanyain."

Hanan menghela napas. "Kamu itu udah mau nikah, tapi masih aja enggak berubah, kekanakan. Nah, mau apa?"

"Abang gak ada niatan nikah?" tanya Hana tiba-tiba. Dia jadi teringat kalau Hanan masih betah melajang. Padahal agama mereka sangat menganjurkan untuk menikah. 

"Oh, kayaknya Hana bukan mau nanyai itu ya ke sini."

Hana tertawa canggung. "Itu … kemarin kayaknya Hana ada naruh kotak kecil di kamar Abang. Liat gak?"

"Enggak." Hanan menjawab ringan. Lalu menutup bukunya. 

"Masa iya? Apa salah naruh ya?" Hana bergumam.

"Lagian Hana juga aneh. Kenapa simpan barang di kamar abang? Kan punya kamar sendiri." Hanan bangkit dari kursi, menghampiri adiknya. 

"Enggak sengaja aja, Bang." 

Hanan tersenyum. "Kotaknya sepenting apa sih?"

"Bukan kotaknya yang penting, tapi isinya!" geram Hana.

Hanan yang tadi tersenyum, menaikkan tingkatan menjadi tawa. "Apa isinya? Abang ganti deh, nanti."

Hana bersedekap. Wajahnya ditekuk. "Lebih daripada isi, sebenarnya orang yang ngasih lebih penting."

Lima kata terakhir, Hana ucapkan secara perlahan dan lambat dengan pipi yang merona serta tatapan mata ke bawah. 

"Oo~" Hanan menggoda. "Dari Dharma Yudhisthira, ya?" 

Hana memelotot, kedua tangannya kini berada di masing-masing pinggang. 

"Apaan sih? Nampak enggak? Kok malah diledekin?" 

"Enggak." Hanan masih belum bosan untuk menggoda.

"Ya udah!" Hana pun pergi, terlihat sekali ia merajuk. Sementara kakak lelakinya malah tertawa geli. 

Setelah kepergian Hana dari dalam kamarnya, Hanan membuka laci lemari kecil dekat jendela kamar. Kotak persegi kecil berisi kalung emas pun terlihat. Itu milik Hana, yang dikirim langsung oleh calon suaminya sebagai hadiah ulang tahun pada bulan yang lewat. Tak hanya kalung, di sana juga terselip surat cinta kilat. Beberapa baris kata ditulis rapi, berbunyi: 

Aku mencintaimu. Mohon bersabar untuk menantiku. Jika bukan karena pandemi yang ditakdirkan Allah, mungkin kini kita menjadi pasangan suami istri. Hana Sitarani, kamu jaga diri baik-baik. 

Salam Kasih Sayang dari saudara seiman dan sebangsamu sekaligus calon suamimu ….

Dharma Yudhisthira.

Hanan menyunggingkan senyum. Firasatnya, lelaki ini sudah cukup lulus tes di bagian kesetiaan dan kelembutan hati dari kacamata Hanan. Selangkah lagi, mungkin keinginan mereka akan terwujud. 

Tiga tahun lalu, laki-laki ini datang menemuinya dengan maksud menjadikan Hana sebagai pendamping hidup. Hanan tidak langsung menerima meski dia tahu kalau Hana sudah tentu menyetujui. Hanan menjanjikan jawaban sepekan lagi. Kala itu, Dharma mengangguk senang. 

"Terima kasih, Bang Hanan. Saya janji akan semaksimal mungkin menggantikan tanggung jawab Abang." 

Hanan tertawa kecil. Dia langsung menebak kalau Dharma sudah pasti diberitahukan oleh adiknya. 

"Keliatannya, Hana sudah sesuka itu padamu. Padahal dulu dia paling tidak suka didekati laki-laki selain saya." 

Dharma tertawa dalam hati dengan menampilkan ekspresi datar. Tebakan Hanan benar. Dharma sudah diberitahukan oleh Hana sedikit perangai abangnya. 

"Mas Dharma enggak perlu takut. Abang pasti nerima kok. Nanti tuh tandanya gini … kalau Abang bilangnya 'nanti' atau semacamnya artinya Mas Dharma diterima. Karena Abang kalau enggak suka, ya langsung nolak." 

"Maaf kalau saya sampai bisa disukai sebegitu besar oleh Hana." 

Hanan meninju bahu Dharma seraya tertawa. "Benar-benar kaku. Hana enggak berdusta mengenai hal ini." 

Dharma menarik ujung bibirnya sedikit. Suasana hatinya membaik, merasa senang dan hangat. 

Hanan mengembalikan kotak itu ke dalam laci. Berniat membiarkan adiknya gulana sepanjang hari ini sebagai balasan atas kejailan gadis itu yang menulis surat untuk Hasna atas nama Hanan Arsalansyah, dirinya. 

Jadi, apa yang sedang berlaku hingga Hanan sampai melakukan aksi balas dendam seperti tadi?

Hanan pergi ke sebuah tempat yang dijanjikan, rumah peninggalan nenek mereka yang kini dijadikan rumah makan pada lantai satu dan indekos khusus mahasiswi di lantai atas. Hanan merenovasinya menjadi salah satu bangunan indah di gang itu. Hana mengatakan ingin dijemput sehabis mengurus dana untuk rumah itu. Nah, ketika membaca pesan ini, dan jaket kesayangannya itu diambil, jatuhlah secarik kertas yang sudah agak menguning. Hanan tidak ingat kalau saku jaketnya berisi kertas atau semacamnya. Karena, dia sungguh telaten. Menjelang tidur, pria itu akan membereskan barang-barangnya. Namun, bisa saja kali ini terlewat. Kemudian, ia tersenyum mendapati sebuah kalimat yang mustahil dituliskan oleh Hasna. Tentu saja ini perbuatan sahabat nakal Hasna yang tak lain adalah adindanya sendiri. 

"Sabtu nanti, aku nemenin Hana ke rumah nenek kalian dulu. Bang Hanan enggak ikut?"

Meskipun Hana menyamarkan kalimat, jelas sekali Hanan mengetahui bahwa tulisan yang diketik di kertas itu adalah hasil karya adiknya. 

Sesampainya Hanan di tempat itu, dia melihat Hana dan Hasna tengah bergabung bersama Hasan yang bermain tebak-tebakan. Mereka terlihat bahagia dan ceria. Melihat pemandangan tersebut, membuat Hanan merasa tentram sekaligus lega. Hanan tidak tahu bagaimana ia menggambarkan perasaannya saat ini. Namun yang jelas dia merasa lapang.

"Kakak ipar itu, apa?" Samar-samar Hanan mendengar suara Hasan bertanya. 

Hanan yakin sekali. Kata itu dia ketahui pasti dari adiknya, Hana. Kemudian terdengar gelak tawa Hana yang disertai pelototan dari Hasna. 

"Hmm … kakak ipar adalah istri dari abang kita." Hanan masih wafa mendengarkan. Mereka yang duduk menunggu makanan datang pun terlihat belum menyadari keberadaan Hanan. 

"Heemh?" Hasan masih payah mencerna. 

Hana lanjut menjelaskan. "Kalau ibumu mau diajak nikah sama abangnya ibu Hana, yang namanya Hanan itu. Itulah artinya kakak ipar. Ibumu kakak ipar dari ibu Hana. Begitu." 

"Ibu Hana jadi apanya?" Hasan bertanya lagi.

"Ya jadi adek iparnya ibumu." Pada kalimat balasan Hana yang ini, Hasna menggeleng-geleng sambil mengembuskan napas lelah. 

"Adek ipar?" ulang Hasan dengan mata jernih yang menggambarkan raut kebingungan. 

"Iya!" Hana menegaskan dengan antusias.

Bunyi lonceng dari luar menghentikan Hana dan Hasan yang heboh berdua. Hasna kebagian menonton sambil merutuki Hana dalam hati. 

"ES KRIIIIIM!" Hana dan Hasan berseru kompak. Hanan berani bertaruh kalau keduanya sangat cocok jadi teman sepermainan sekaligus teman sekelas. 

Hana menoleh, dan mendapati Hanan di pintu masuk rumah makan. Gadis itu mengernyit dan berujar dengan kalimat menjengkelkan. "Loh, Abang ngapain di situ? Udah kayak berhala aja. Mau belajar jadi berhala ya? Eh? Lagian enggak ada apa-apa tumben ke sini? Oh! Karena tau Hasna ikut ya?"