Sudut kanan atas mata Hanan berkedut kesal. Dalam hati, ia memuji dirinya yang tadi sempat melakukan hal kurang benar, yakni menyembunyikan kotak kecil yang gadis tersebut letakkan di atas meja di kamarnya. Biar saja nanti Hana kesal, merajuk dan menangis. Pembalasan Hanan belum apa-apa dibandingkan perlakuan adiknya yang membuat malu. Berani sekali kalimat itu meluncur bebas seakan gadis itu tak tahu apa pun, padahal dia pula dalang yang sebenarnya.
"Lihat tuh, Has! Abang Hanan-ku udah kasih kode keras. Masih aja gak mau diajak nikah. Mau doooong~"
Hasna gelagapan. Ia tak menyangka Hana akan senekat itu.
"Hana! Apa-apaan sih?" Wajah Hasna memerah sempurna. Sahabat karibnya memang suka sekali membuat onar.
"Apa memangnya?" Hana merespons acuh tak acuh. Bahkan kini di kepalanya sedang bersarang ide-ide untuk membuat Hasna dan Hanan untuk bisa leluasa berdua tapi bukan di tempat sepi yang dapat menimbulkan fitnah.
Setelah dipikir lagi oleh Hasna, perempuan berkacamata yang sangat akrab dengannya tersebut memang pemberani yang nekat. Dia juara dalam menekuri bidang pencari mati semacam itu.
Hanan jalan perlahan—santai tapi pasti—untuk menghampiri meja tempat dua perempuan tersebut duduk bersama satu bocah laki-laki setelah penanggung jawab 'Rumah Makan Han' menyambut, lantas berbasa-basi sedikit. Penanggung jawab tersebut awalnya tidak menyadari kedatangan Hanan jika saja tidak disapa oleh Hana.
Sebelum mencapai mereka, adik perempuan Hanan itu memiliki ide yang bagus untuk dua tujuannya, yakni tujuan melarikan diri dari amukan kakak lelakinya dan memberikan ruang banyak bagi Hanan dan Hasna.
"Hasna, aku sama Hasan beli es dulu ya!" pamit Hana sambil menggamit tangan Hasan dan buru-buru keluar dari sana. Bahkan hampir menabrak Hanan dan nyaris saja terjatuh.
"Hati-hati, Dek!" Hanan memperingatkan dengan nada marah bercampur khawatir. Adiknya yang ceroboh itu bisa saja jatuh bersama Hasan.
Berbanding balik dengan Hanan, Hana malah tertawa dan tak memedulikan ucapan abangnya. Tujuan utama si gadis adalah hanya kabur.
"Hasan jagain ibu Hana, ya!" ledek Hasna yang direspons tawa oleh dua orang yang kabur tersebut, demikian Hanan yang ikut tertawa.
"Hasna mau?" tawar Hanan. Dia sudah duduk di depan wanita itu.
Hasna terkesiap. Mau apa yang dimaksud Hanan? Mau menikah dengan menerima lamaran tak langsung dari Hana atau tawaran es krim, atau bagaimana? Jantungnya mendadak berisik sekali di dalam sana. Belum lagi tatapan Hanan yang begitu serius, semakin membuat kenyamanan janda muda itu sirna begitu saja.
"Mau?" Hasna menanyakan maksud Hanan yang menurutnya sedikit taksa. Dia belum siap jika maksud pemuda itu adalah ajakan ke jenjang yang lebih serius, pernikahan misalnya.
"Iya." Hanan menjawab lugas. Ekspresinya tenang bagai laut dalam.
"Maksudnya … mau gimana, Bang?" Hasna memastikan. Kepalanya berulang kali memikirkan hal konyol hingga membuat hadis itu harus menggeleng-geleng demi mengusir pikiran-pikiran memalukan tersebut.
"Es krimnya. Kata Hana, Hasna juga suka es krim. Jadi, saya nanya, apakah Hasna juga mau seperti Hana dan Hasan? Kenapa tidak ikut mereka? Begitu."
"Oh," jawab Hasna. Ia menunduk. Terlihat seperti wanita itu sedikit kecewa karena yang dilontarkan Hanan tidak sesuai harapannya.
"Oh?"
Hasna gelagapan. Dirinya tidak mengerti mengapa mendadak hanya bisa mengeluarkan kata singkat itu saja. Tak hanya itu, maknanya pun kurang jelas sehingga Hanan mengulang kata yang Hasna lontarkan dengan nada tanya.
"I-ya … maksudnya … saya suka es. Ta-tapi lagi enggak mau aja."
"Mmm …."
"Abang?" Hasna menanyakan balik.
"Mm?"
"Es krim."
"Enggak. Saya kurang suka es krim."
"O~oh." Hasna mengangguk.
Di luar sana, Hana yang melihat interaksi kedua orang tersebut berdecap. Kesal sekaligus gemas. Memang dia tak bisa mendengar, tetapi melihat gerak-gerik dan situasi, gadis itu menyimpulkan bahwa abangnya tidak melakukan pendekatan yang baik. Hana beralih kepada Hasan yang tengah menyantap es krimnya sambil duduk lesehan di batu besar.
"Hasan, kita duduk di sini dulu aja, ya?"
Hasan adalah anak yang baik dan penurut. Karena itu, maka dia mengangguk, menerima perintah dari Hana. Sesungguhnya Hasan bukanlah tipe anak yang bisa suka dan dekat pada siapa pun kecuali ibunya. Bahkan kepada kakek-neneknya saja dia enggan. Namun, ketika pertama kali dikenalkan dengan Hana, anak laki-laki tersebut merasa cocok. Dia pun menyenangi Hanan yang juga langsung disukainya dalam sekali pertemuan. Hasna saja kadang merasa heran, mengapa putranya bisa seakrab dan begitu menerima dua adik-beradik tersebut.
"Hasan kalau haus, mau minum, bilang sama ibu Hana ya?"
Hasan lagi-lagi mengangguk. Matanya menatap Hana berbinar-binar. Belum ada yang sebaik dan seperhatian Hana selain ibu tirinya, Hasna. Ayah kandung dan ibu tiri dari Hasna saja pun terlihat kurang menyenangi dirinya. Namun, ada orang lain yang justru sebaliknya. Orang lain yang sering diceritakan ibu tirinya dengan wajah cerah dan mata berbinar-binar, seakan sedang membicarakan tokoh idola yang sangat digandrungi.
"Makasih ya, Buk."
Hana begitu terharu dengan keluhuran Hasan yang ringan berbicara baik. Gadis itu mencubit gemas pipi gembulnya. "Sama-sama, Tampan …."
Hasan menampilkan ekspresi terkejut. Bocah laki-laki itu pun menanyakan, "Tampan itu apa, Buk?"
Hana menepuk keningnya. Hasan anak yang aktif dan selalu ingin tahu. Jadi, kadang pun ia sulit menemukan kata atau kalimat yang pas agar mudah dicerna oleh Hasan untuk menjawab pertanyaan si bocah.
"Mmm … apa ya?" Hana tampak memikirkan sesuatu. Matanya melirik kanan, kiri, atas dan bawah sambil memajukan bibir.
Hasan memandang lurus kepadanya, mata bersinarnya menyiratkan penantian dan pengharapan yang tinggi.
"Mmm … yang indah dipandang mata. Yang kalau kita lihat, jadi suka."
Hasan menggaruk kepalanya. Bocah kesayangan Hasna tampak semakin bingung. Melihat itu, Hana memutar otak kembali.
"Kan kalo perempuan namanya cantik. Nah, cantik versi laki-laki itulah namanya tampan."
"Ooooh! Maksud Ibu Hana itu ganteng?"
"Nah! Iya itu." Lantas Hana pun tertawa kecil. Merasa sedikit konyol karena sulit menemukan kata yang pas untuk memaknai kata 'tampan'.
"Makasih, Ibu Hana Cantik." Hasan membalas ceria.
Maka, jawaban yang Hasan lontarkan membuat Hana tergelitik. gadis berpakaian serba jingga itu pun mencubiti sambil sesekali mencium pipi putra Dion tersebut. Berbanding balik dengan ayah biologisnya yang sangat tidak perempuan itu suka, Hana begitu menyenangi dan menyayangi Hasan, layaknya seorang bibi kepada keponakannya sendiri.
"Bu, Hasan haus." Hasan berkata selepas mereka berdua puas bermain dan tertawa bersama-sama.
Laporan dari Hasan, membuat Hana berdiri, lalu menggandeng tangan bocah itu yang juga ikut berdiri.
"Oke! Ayo, kita minum!"
Hana dan Hasan berjalan sambil bersenandung, tujuan mereka adalah hendak memasuki rumah makan tadi.