-
"Mam! Where are you?!"
Dimas langsung berteriak kencang, saat baru saja memasuki area pintu rumahnya. Wajah laki-laki itu terlihat memerah, seiring dengan hembusan napasnya yang terdengar memburu.
"Mam!!!"
Dan Dimas kembali berteriak, saat tidak mendapatkan jawaban apa pun dari orang yang sedang dia cari itu. Lalu, laki-laki itu terlihat berjalan menaiki undakan tangga, yang akan membawanya menuju ke lantai dua. Setelah sebelumnya, dia tidak menemukan sosok yang dia cari di area ruang tamu dan beberapa ruangan di area lantai satu.
Setelah itu, Dimas terlihat menghentikan langkahnya di depan sebuah pintu jati, yang ada di sisi salah satu lorong. Mengangkat kedua tangannya dengan posisi mengepal, lalu mengetuk-etuk pintu yang ada di depannya itu cukup kuat, hingga menimbulkan suara yang cukup keras.
"Mam! Keluar sekarang, jika kau mendengar ucapanku!" teriak Dimas lagi, sembari terus memanggil-manggil Mamanya itu.
Namun, laki-laki itu tiba-tiba menghentikan gerakan tangannya, saat ada seseorang yang menepuk pundaknya ringan, sembari memanggil namanya dengan suara ringan.
"Tuan Dimas?"
Dan sosok yang memanggil nama Dimas itu adalah seorang wanita parubaya, dengan pakaian khas seperti seorang pelayan rumahan dan juga dengan rambut yang dicepol rapi ke atas.
Dimas pun langsung membalikan posisi tubuhnya, setelah mendengar suara seseorang yang begitu familiar di dalam indera pendengarannya itu.
"Mamah kemana, Bi?" tanya laki-laki itu kemudian, dengan nada suara yang tidak sekeras tadi.
"Mami masih ada di luar, Tuan. Katanya, beliau ada urusan penting hari ini. Apakah ada sesuatu yang bisa aku bantu, Tuan?" balas wanita parubaya itu kemudian.
Mendengar itu, Dimas pun langsung menggelengkan kepalanya.
"Aku akan menunggu di sini sampai Mamah pulang. Kau bisa melanjutkan pekerjaanmu, Bi," ujarnya.
Dan wanita aprubaya itu pun hanya bisa menganggukan kepalanya patuh. Membalikan tubuhnya dan berjalan menjauh dari Dimas, setelah sebelumnya berpamitan sopan terlebih dahulu kepada laki-laki muda yang merupakan anak tunggal majikannya itu.
Setelah kepergian wanita itu, Dimas pun terlihat menghembuskan napasnya kasar, kemudian berjalan ke arah tangga. Lalu, laki-laki itu menghentikan langkahnya tepat pada undakan tangga terakhir, yang ada di bagian paling bawah. Kemudian mendudukan dirinya di sana, dengan kedua lututnya yang tertekuk.
Beberapa menit hening setelahnya, sampai akhirnya, Dimas mendengar ada suara alas sepatu seseorang yang bergesekan dengan lantai, yang berhasil membuyarkan lamunannya. Dan laki-laki itu langsung menegakan tubuhnya, setelah mengetahui siapa yang sedang berjalan ke arahnya sekarang ini.
"Kau sudah pulang, sayang?"
Dan sosok itu adalah Bu Ani, ibu kandung dari Dimas sendiri dan merupakan sosok yang sedang ditunggu-tunggu kedatangannya oleh laki-laki muda, yang berstatus sebagai mahasiswa tingkat akhir itu.
"Kenapa? Kenapa Mamah memecat Nata dari restauran Mamah? Nata melakukan kesalahan apa, sampai dia harus pergi, setelah sekilan lama bekerja dan mengabdi di restauran Mamah, Mah?"
Nata adalah panggilan khusus yang di berikan oleh Dimas kepada Renata.
Mendengar pertanyaan itu, Bu Ani pun terlihat terdiam, sembari berusaha untuk meraih lengan Dimas dan berniat untuk menenangkan emosi putra tunggalnya itu. Namun, dengan cepat Dimas menghempaskan tangan Mamanya itu, karena amarah yang sedang menguasai hatinya sekarang ini.
"Dimas, dengarkan ucapan Mamah. Mamah melakukan hal itu demi kamu, sayang, demi ka—"
"Demi aku apanya, Mah?! Mamah tahu 'kan, kalau Nata adalah wanita yang baik dan dia tidak pernah melakukan kesalahan apapun yang fatal, selama dia bekerja di restauran Mamah. Tapi kenapa aku mendengar, kalau Mamah memecat dia tanpa alasan yang jelas, Mah? Kenapa?"
Dimas langsung memotong ucapan Ani dengan teriakan kasarnya. Wajah laki-laki itu juga terlihat bertambah memerah, seiring dengan tatapan kedua matanya yang terlihat menajam.
"Karena ada seseorang yang mengancam Mamah, Dimas. Jika Mamah tidak memecat Renata secepatnya, maka restauran yang telah Mamah dirikan selama bertahun-tahun itu akan hancur. Dan bagian paling terburuknya, kehidupan kita juga akan hancur, karena tidak mengikuti perintah mereka," jawab Bu Ani akhirnya, setelah sekian detik terdiam.
Mendengar jawaban itu, Dimas pun terdiam tanpa kata, dengan otaknya yang masih berusaha untuk mencerna setiap kata demi kata yang dilontarkan oleh ibunya itu kepadanya.
"Siapa? Siapa yang mengancam Mamah dengan menggunakan Renata? Dan kenapa, kenapa mereka melakukan itu?" tanya Dimas.
Bu Ani terlihat menghembuskan napasnya kasar, lalu wanita parubaya berpakaian modis itu terlihat menggelengkan kepalanya perlahan.
"Mamah tidak bisa mengatakan kepastian akan siapa yang melakukan itu, Dimas. Namun, satu yang Mamah tahu, kalau orang yang melakukan itu kepada Mamah dan Renata, bukanlah orang biasa. Dan sepertinya, mereka memiliki suatu masalah yang berkaitan dengan Renata, atau mungkin, Renata memiliki suatu masa lalu yang berkaitan dengan orang-orang asing itu."
Bi Ani menjeda ucapannya sejenak, sembari terus menatap ke arah wajah putranya itu, yang terlihat menatapnya dengan tatapan penuh rasa bingung.
"Mamah merasa berat untuk memecat Renata, tetapi Mamah tidak bisa melakukan apa pun untuk bisa mempertahankannya, jika ancaman yang 'mereka' berikan adalah dirimu, putra tunggalku sendiri, Sayang. Kau pasti tahu, kalau Mamah akan melakukan apa pun untuk bisa membuatmu bahagia dan terhindar dari bahaya.
Jadi, untuk masalah ini, seharusnya kau tidak menyalahkan Mamah, karena Mamah melakukan itu untuk kebaikanmu dan kebaikan kita berdua untuk kedepannya, sayang," lanjut wanita parubaya itu kemudian, dengan panjang lebar.
Dimas terlihat mengalihkan tatapannya ke arah lain, sebelum akhirnya tatapan matanya kembali terpaku pada sosok yang masih berada di depannya sekarang itu.
"Apakah Mamah bisa memastikan, kalau Mamah memang melakukan itu murni karena ancaman seseorang yang 'asing' itu, bukan karena hal lain atau Mamah memang sengaja melakukannya, bukan?" tanya laki-laki itu, mencoba memastikan lagi apa yang telah diucapkan oleh Mamahnya itu.
Dan Bu Ani langsung menganggukan kepalanya sebagai jawaban.
"Apakah kau berpikir, kalau Mamah membenci Renata, Dimas? Atau kau berpikir, kalau Mamah menaruh dendam kepada gadis itu, hingga Mamah melakukan hal seburuk itu kepadanya? Jelas tidak, Dimas, Mamah tidak bisa melakukan hal itu. Apalagi ketika Mamah tahu, kalau gadis itu hidup sebatang kara dan tidak mempunyai siapa pun lagi yang bisa melindunginya.
Namun, sama seperti yang tadi Mamah katakan kepadamu, kalau Mamah tidak bisa melakukan apa pun untuk bisa membantunya dan menyelamatkannya," ujar Bu Ani, panjang lebar.
Dimas terdengar menghembuskan napasnya kasar. Lalu, laki-laki itu terlihat meraih pergelangan tangan Bu Ani, kemudian mengecup punggung tangan milik wanita parubaya itu dengan lembut.
Setelahnya, dia kembali menegakan posisi tubuhnya dan menatap ke arah Mamahnya itu, dengan tatapan yang penuh rasa bersalah.
"Maafkan Dimas, Mah. Aku tidak bermaksud untuk menyalahkan Mamah atau pun tidak percaya kepada Mamah. Hanya saja, pemecatan yang Nata alami itu terlihat tidak logis dan selama beberapa hari ini, Mamah juga tidak mengatakan permasalahan itu kepadaku, sampai akhirnya, aku malah mengetahuinya dari Nata sendiri."
Mendengar ucapan putranya itu, Bu Ani pun terlihat menganggukan kepalanya mengerti.
"Tidak apa, aku tahu kenapa kau bersikap seperti ini. Karena Mamah tahu, kalau kau mempunyai perasaan lebih kepada Renata bukan?"
Dan ucapan wanita parubaya itu berhasil membuat Dimas terdiam tanpa kata. Karena dia tidak bisa mengelak ucapan itu, kalau sebenarnya apa yang diucapkan oleh Mamahnya itu memanglah benar.
Kemudian, Bu Ani terlihat menggenggam pergelangan tangan besar milik putranya itu, lalu mengusap punggung tangannya lembut.
"Tapi Mamah mohon, demi keselamatanmu, jangan pernah ikut campur dalam kehidupan gadis itu yah, Sayang? Karena kita tidak tahu, siapa yang sedang mengincarnya sekarang ini. Dan Mamah sangat takut, jika sampai kau terbawa ke dalam masalah gadis itu. Karena kau pasti tahu, kalau Mamahmu ini tidak akan bisa hidup, jika terjadi sesuatu yang buruk pada dirimu, bukan?"
Dan untuk kali ini, Dimas juga kembali terdiam dengan perasaan yang berbeda dari sebelumnya, setelah mendengar apa yang diucapkan oleh wanita parubaya yang ada di depannya, yang merupakan pahlawan yang telah melahirkannya ke dunia ini.