Jam 20.00 malam … dan pesta sebenarnya belum benar-benar di mulai. Sedari tadi Arthur selalu bersama Eveline. Eve dengan tanpa ekspresi terpaksa meladeni pria itu karena Siska yang selalu menekannya.
Mereka terlihat duduk di mini bar serta Arthur terlihat asik menikmati musik, di tangan Eveline sedang menggenggam segelas jus jeruk.
Arthur menatap dan membuka pembicaraan pada wanita yang sedari tadi duduk bersamanya. "Semua orang terlihat menari, kenapa kamu tidak?"
Eve menatap lurus ke depan, ia mengabaikan orang yang selalu menatap ke arahnya itu. "Aku hanya tidak mau." Lanjutnya meneguk jus yang ada di genggaman.
Tiba-tiba sebuah musik klasik di pergengarkan dan semua orang tampak berdansa dengan pasangan masing-masing, semua tampak tersenyum lepas dengan begitu bahagia dan berpartisipasi dalam berdansa, sementara Eveline masih tidak tertarik sama sekali.
"Ayolah! … dansa bersamaku." Ia menyentuh punggung tangan Eveline, membuat wanita itu menatapnya dengan sinis.
Ia menghempas tangan Arthur dengan sedikit kasar. "Tidak," ucapnya ketus.
"Ayolah … hanya berdansa." Pria itu masih terus membujuknya.
Awalnya Eveline bersikukuh tidak mau, tapi dari jarak yang sedikit jauh Siska terus menatap sinis ke arahnya.
Wanita itu tampak terpaksa dan menghembus napas berat. "Baiklah …." Dengan rengutan tergambar jelas di wajahnya.
Mereka telah di lantai dansa, saat Arthur memegang pinggang perempuan itu dan susana sudah sangat romantis, tiba-tiba telepon pintarnya terus bergetar dan Eveline juga merasakan itu.
"Ada yang meneleponmu," ucapnya dengan memalingkan muka.
"Biarkan saja." Pria itu menarik lebih dekat lagi pinggangnya, hingga tidak ada lagi jarak yang tersisa.
Saat suasana telah kembali hening dan mereka ikut hanyut pada suasana, tiba-tiba telepon genggamnya kembali bergetar dan itu sangat terasa mengganggu.
"Sial … apa orang ini tidak tau situasi," gumamnya kesal.
Eve membuang napas kasar. "Angkat saja."
Arthur melepaskan tangannya dari tubuh Eveline dan meraih handphone dari saku depan jasnya itu.
Ia baru menempelkan teleponnya ke telinga tapi suara lawan bicaranya sudah terdengar di sana. "Kamu di mana? Apa kamu belum bisa pulang? Ibu sudah lama menunggumu."
Arthur menggaruk kening sembari sesekali menilik pada lawan dansanya itu. "Aku akan segera pulang." Ia tampak kesal dan memutuskan sambungan telepon.
Eveline tampak berdiri dengan kedua tangan bersedekap di dada, tanpa permisi pria ini mengelus pipi eveline. "Besok aku akan kembali menemuimu lagi."
Laki-laki itu meraih punggung tangannya dan memberikan sebuah kecupan di sana. Eveline tidak memberi jawaban dan punggung pria itu tampak telah hilang berlalu.
"Pria ini benar-benar Menyebalkan." Eve tampak begitu kesal.
***
Arthur telah pulang. Seorang wanita yang begitu anggun dangan rambut hitam sebahu tampak menghampiri dan menyambut kedatangannya. Tangannya seolah sudah terbiasa menyambut tas kerja yang Arthur bawa. Ia juga tampak mencium punggung tangan suaminya itu.
"Apa kamu lapar? Ibu sudah menunggumu sedari tadi di meja makan."
Arthur tidak banyak bicara dan tampak begitu dingin, langkahnya tampak langsung menuju ruang makan.
Seorang wanita paruh baya dengan tampilan modis sudah menunggunya di sana. Wanita itu bangkit dan lantas menyambut putra kesayangannya itu.
"Arthur sayang, anak kesayangan mama …." Ia langsung meraih kedua pipi anaknya itu dan di iringi dengan beberapa kecupan hingga meninggalkan bekas lipstick di wajahnya.
Vivian yang sedari tadi melihat semuanya, hanya tersenyum setengah tertawa, ia tau kalau Arthur sangat membenci perlakuan seperti itu.
"Sudahlah ma, jangan seperti ini." Pria itu tampak mengusap pipi yang telah di cium beberapa kali.
"Kenapa? Apa ada yang akan memarahiku, jika aku terus mencium wajah tampan putraku sendiri."
Arthur hanya tampak datar dan Vivian masih menahan tawa.
"Ayo sayang duduk dan makan." Ia menggiring anaknya itu untuk duduk ke meja makan.
"Kau tau … Vivian sudah memasak semua ini untukmu sedari tadi siang, dan rasanya sangat-sangat enak. Mama sangat bangga pada vivi."
Vivian hanya menunduk sembari tersenyum mendengar pujian dari mulut ibu mertuanya itu.
"Mana ayah?" tanya Arthur memecah keheningan.
"Jangan tanya dia, yang penting kita makan saja." Wanita tua itu tampak merengut.
"Ayah sedang ada pekerjaan tiba-tiba, itu yang membuatnya melewatkan makan malam hari ini." suara Vivian yang memotong terdengar begitu lembut dan sopan di telinga.
Belva tampak memasukkan nasi begitu banyak di piring Arthur dan membuat anaknya kembali tampak kesal. "Mama … tidak usah, aku tidak bisa makan sebanyak ini."
"Mama nggak mau tau ya, anak mama harus makan. Jangan sampai sakit dan membuat Vivi menderita karena harus mengurusimu yang sakit." Ia memasukkan beberapa potong daging dan sayuran di piring Arthur.
"Apa aku sapi?"
"Kenapa? Kamu tidak mau menjadi kanibal karena memakan daging sapi." Pungkas Belva membuat Arthut kembali kesal.
"Bukan itu maksudku, lihatlah ini!" Dengan kedua telapak tangannya Arthur menunjuk piring yang terlihat begitu penuh. "Bagaimana aku mengunyahnya, jika sebanyak ini," lanjutnya membela diri.
Vivian hanya tersenyum dan tertawa melihat kelakuan ibu dan anak yang selalu bertengkar itu.
"Berhentilah tertawa, cepatlah ikut makan, kamu harus banyak makan agar aku bisa menimang cucu lebih cepat." Nada tinggi yang terdengar becanda namun sungguh menyinggung.
Senyuman yang sedari tadi tergambar pada wajah Vivian seketika tampak menghilang, dan Arthur terlihat menaruh garpu dan sendok yang tadi ia pegang kembali ke tempatnya.
Belva terlihat mengerutkan dahi karena bingung. "Kalian kenapa? Apa aku salah bicara?"
Arthur tampak diam dan meninggalkan meja makan.
"Hey …." Belva menunjuk pada Arthur yang tiba-tiba berlalu. "Kenapa anak itu?"
"Maafkan kami ma." Vivian terlihat murung.
"Kalian ini kenapa? Apa yang salah?" Vivian hanya diam dan tak memberikan jawaban apa-apa.
"Jika begini, aku akan pulang saja." Belva tampak beranjak dari kursinya.
"Ma … jangan pulang." Vivian mencoba menghentikan ibu mertuanya itu.
"Percuma saja aku ke sini, sedangkan kalian tidak peduli padaku." Ia menghempas tangan Vivian yang sedari tadi memeganginya dan lantas menaiki mobil pribadi yang sudah lama siap, dengan supir yang telah menunggu di sana.
"Ma … aku mohon ma." Ibunya itu tampak tak peduli sama sekali pada ucap dan bujuk menantunya itu.
Vivian tampak sedih, ia memunguti piring-piring dan membersihkan meja makannya sendirian. Beberapa pelayan yang ada di rumahnya ingin membantu tapi Vivian menolak mereka.
"bu …," ucap pelayan yang melihat majikan mereka membersihkan meja makannya sendirian.
Vivian mengangkat kelima jarinya dan memberi kode perintah untuk tidak mebantunya sama sekali. Raut wajah perempuan itu sedih tapi ia tak mengeluarkan air mata.
Ia terduduk di kursi makan sendirian, seolah mendengar kembali kata-kata ibu mertua yang membuatnya dan Arthur menjadi begitu sensitif.
Napasnya berat dan ia menghembuskannya sembari terus menenangakan diri.
Vivian berjalan pelan, mendekati pintu kamar tidurnya dengan Arthur. Sedari tadi ia hanya mengintip dan menatap pada Arthur yang tampak duduk di tepi tempat tidur dengan baju piamanya.
Arthur begitu diam, seolah memikirkan sesuatu. Vivian berjalan pelan ke arah pria itu dan duduk di dekat tubuhnya. Ia menyentuh pinggang pria itu dengan pelan dan menempelkan wajahnya pada punggung Arthur yang begitu hangat. Dia menyembunyikan wajahnya di sana.
"Apa yang kamu pikirkan sayang?" tanya Vivian terdengar begitu lembut, membuat Arthur tersadar dari lamunnya.
Dia menyentuh punggung tangan istrinya itu lalu mengelusnya dengan lembut.
"Entahlah, aku merasa bersalah dan aku rasa kata-kata ibuku melukai kita berdua."
Vivian melepas pelukannya, ia membuat pria itu berbalik dan mengecup bibirnya.