Dimitri tanpa sengaja meminum sedikit jus jeruk beberapa kali dari sebuah nampan yang dibawa Aaron ke tengah-tengah mereka. Karena tidak merasa curiga, Dimitri nyaris menghabiskan minuman itu.
Sampai akhirnya Keva-lah yang menyadari samar-samar adanya perubahan pada wajah sahabatnya.
Dengan alasan ingin mencari udara segar, Keva bergegas mengajak Dimitri pergi meninggalkan pesta sebentar.
"Aku kan sudah bilang jangan minum apa-apa!" desis Keva sedikit menyayangkan hal ini. Dimitri hanya balas menatapnya tidak jelas dan langkahnya mulai sempoyongan.
"Tunggu sebentar," kata Keva ketika mereka berdua tiba di lobi hotel. "Sial banget, kunci mobilku ketinggalan!"
Setelah meminta Dimitri untuk jangan ke mana-mana, Keva bergegas kembali ke tempat pesta yang masih riuh dengan celotehan para remaja.
Ketika itulah tubuh Dimitri tiba-tiba ditabrak oleh seseorang dengan cukup keras hingga mereka berdua sama-sama terjatuh ke lantai. Ketika mencoba fokus, dia melihat seorang cewek yang sedang menatapnya begitu dalam, hingga Dimitri tanpa sadar mulai tenggelam karena pesona cewek itu yang tak biasa. Koneksi mata mereka baru terputus ketika cewek itu dibantu berdiri oleh petugas yang berjaga.
"Maaf sekali!" Cewek itu menangkupkan tangannya dengan sangat menyesal kemudian segera berlari pergi meninggalkan Dimitri bersama petugas yang menolongnya tadi.
Merasa tidak ada urusan apa-apa dengan petugas di sebelahnya, Dimitri berjalan sempoyongan ke arah cewek yang berjalan belum terlalu jauh di depannya.
"Nona, apa kamu baik-baik saja?" tanya Dimitri kepada si cewek yang sedang menyandarkan tangannya di dinding lobi.
"Aku ..." Cewek itu tidak sanggup meneruskan kalimatnya, kemudian tiba-tiba dia oleng dan jatuh tepat di pelukan Dimitri ....
"DIM!"
Sebuah suara lain berseru di belakang mereka, membuat Dimitri dan Susan menoleh ke belakang ketika Keva berlari kecil mendatangi mereka.
"Kita ke kantin, yuk?" ajak Keva seraya mengalungkan lengannya ke bahu tegap Dimitri.
"Aku ikut, Kev!" Susan yang menjawab.
"Nggak usah deh, aku ada perlu sama Dimitri." Keva menggeleng. "Ini urusan cowok, jadi kamu nggak bisa ikut."
Susan memajukan bibirnya, tapi tidak kuasa kalau sepupunya sudah melarangnya seperti itu.
"Sebenarnya apa yang terjadi sama kamu hari itu?" tanya Keva ketika dia dan Dimitri sudah berada di kantin dan menunggu pesanan mereka dibuat. "Kamu belum cerita apa-apa sama aku."
Dimitri tidak segera menjawab. Pertanyaan Keva seakan memaksanya untuk merangkai kembali ingatan tentang kejadian fatal yang dia alami bersama cewek itu di salah satu kamar hotel.
"Aku ... kepalaku saat itu pusing banget," ujar Dimitri pelan, dia tidak mungkin mengatakan hal yang sebenarnya bahwa dia telah melakukan hal terlarang dengan cewek asing yang sama sekali tidak dia kenal.
"Padahal aku sudah bilang sama kamu biar nggak makan atau minum apa-apa," sesal Keva sambil menggelengkan kepala. "Susan itu orangnya nekat, gimana kalau kamu dijebak terus terjadi sesuatu?"
Dimitri menarik napas.
"Apa dia bakalan senekat itu?" tanya Dimitri tidak yakin. "Masalahnya ... kamu tahulah apa maksud aku, kita ini masih remaja. Apa Susan nggak mikir ke depannya?"
Keva mendengus.
"Kamu nggak ngerti aja seberapa kuatnya cinta sanggup membuat siapapun menjadi gila," komentar Keva sambil menggelengkan kepalanya.
"Mana ada?" sahut Dimitri dengan nada meremehkan. "Aku nggak percaya ada cinta yang seperti itu, kecuali di novel atau film konsumsi cewek-cewek manja."
Bertepatan dengan itu, tatapan mata Dimitri menangkap satu sosok yang langsung mengusik sisi maskulin yang bersemayam dalam dirinya.
Guru baru itu, Nadean.
"Tunggu aja, kamu bisa bilang begitu karena belum pernah bertemu sama orang yang sanggup bikin kamu gila!" sergah Keva sungguh-sungguh.
Dimitri tidak sempat menjawab karena fokusnya terpancang ke arah Nadean yang melangkah memasuki kantin dengan langkah yang begitu feminin. Beberapa murid melontarkan sapaan kepadanya dan dia membalas dengan senyuman manis yang membuat darah di sekujur tubuh Dimitri bergolak hebat seakan dia pernah menikmati senyum itu di suasana yang berbeda.
Merasa komentarnya tidak mendapatkan respons, Keva menoleh dan mendapati Dimitri terdiam ke arah Nadean yang sosoknya semakin mendekat.
"Biasa aja lihatnya!" Keva sengaja menendang kaki Dimitri dari bawah meja dan sukses membuatnya melontarkan umpatan kasar yang tidak semestinya.
Nadean tanpa sengaja mendengarnya dan dia berhenti ketika tiba di depan meja Dimitri.
"Pagi!" sapa Nadean seraya memandang Dimitri dan Keva bergantian.
"Selamat pagi, Bu!" balas Keva sambil tersenyum ke arah Nadean.
"Tolong bicaranya dijaga, terutama kamu Dimitri." Nadean melanjutkan, membuat cowok itu meliriknya. "Saya tidak mau dengar kata umpatan lainnya saat pelajaran saya, kalian paham?"
Dimitri balas memandang Nadean selama beberapa detik dan tidak menjawab.
"Dim!" desis Keva sambil menendang kaki sahabatnya sekali lagi. "Mengerti, Bu."
Nadean dan Dimitri masih saling pandang.
"Dim!" desis Keva untuk kesekian kalinya.
"Saya juga mengerti, Bu." Dimitri menyahut dengan wajah ogah-ogahan sambil berpaling.
"Baiklah, jangan sampai terlambat masuk kelas kalian!" sahut Nadean, yang kemudian meneruskan langkahnya melewati meja Dimitri dan Keva.
"Memangnya pelajaran pertama di kelas kita matematika, ya?"
Nadean masih sempat mendengar suara Dimitri bertanya, tapi dia tetap meneruskan langkah untuk memesan teh. Dirinya merasa bahwa tindakannya untuk menegur Dimitri adalah benar, karena sebagai guru dia dituntut untuk menunjukkan mana perilaku yang baik dan yang tidak baik kepadanya anak-anak didiknya.
Hari itu Nadean mengajar di kelas 3-C dan tidak ada insiden apa pun selain godaan-godaan kecil dari para murid cowok karena penampilannya tidak seperti guru-guru lain yang ada di SMA Oasis.
Nadean Svetlana berperawakan sedang dengan wajah yang cantik dan rambut hitam lurus meruncing sampai di atas punggung, membuat guru muda itu tak ubahnya seperti mahasiswi yang sedang magang.
Begitu pulang mengajar, Nadean mampir ke tempat laundri untuk mengantar cucian kotor sekaligus mengambil baju bersihnya.
Nadean yang sudah menyetir mobilnya sendiri perlahan melambat tepat di depan ruko laundri yang sedang dikunjungi beberapa pelanggan. Dia melirik satu setel baju yang belum sempat dia masukkan.
Baju milik bocah itu ....
Nadean mengangkatnya dan sempat menyium aroma sisa-sisa parfum yang tertinggal di kemeja si bocah. Aromanya begitu maskulin, tapi tidak terlalu menyengat sehingga Nadean tahu kalau parfum yang dikenakan bocah itu bukanlah parfum sembarangan.
"Cuci komplit seperti biasa," kata Nadean kepada salah seorang petugas. Karena buru-buru, dia sampai tidak sempat lagi untuk memasukkan sisa pakaian ke dalam kantong plastik. "Ini tidak terlalu kotor kok ...."
"Bu Guru? Laundri di sini juga?" Sebuah suara menegur Nadean dan dia menoleh.
"Dim ...?" Nadean tentu hapal dengan sosok murid yang pernah terlambat masuk kelas saat dirinya yang mengajar. "Kamu tidak ada tambahan pelajaran di sekolah?"
Dimitri menggeleng, tatapannya terarah kepada sepotong kemeja yang baru saja diterima pekerja laundri dari Nadean.
"Sebentar, maaf!" Dimitri tiba-tiba mengambil kemeja itu dari tangan pegawai laundri. "Bu Guru tidak kebesaran pakai kemeja ini?"
Nadean terpaku ketika Dimitri melontarkan pertanyaan itu kepadanya.
Bersambung –