Di lain tempat ...
Kini Nanda sudah sampai di rumah Kinara.
"Kinaranya ada?" tanya Nanda dengan satu tarikan napas, ketika salah satu pelayan Kinara membukakkan pintu.
"Nyonya Kinara sedang sakit, Tuan," jawab Aida sembari menunduk. "Nyonya sedang istirahat, tadi Nyo-" ucapan Aida terhenti ketika Nanda masuk begitu saja ke dalam rumah megah Kinara.
"Di mana dia sekarang?" tanya Nanda, sembari berjalan dengan tergesa-gesa, di ikuti oleh Aida yang berjalan dari belakangnya.
"Maaf Tuan, Tuan tidak bisa masuk tanpa izin dari Nyonya Kinara," sahut Aida, segera menjelaskannya sebelum semuanya terlambat.
"Di mana dia?" hardik Nanda, membuat Aida kaget, sekaligus takut, mendengar bentakan itu.
"D-di ... D-di kamarnya, Tuan," jawab Aida tergagap-gagap.
"Antar saya ke sana!" seru Nanda, menatap Aida tajam.
"Tapi saya takut, Nyonya-"
"Tenang saja, dia tidak akan memarahimu! Biar aku yang menjelaskan semuanya," sergah Nanda, di diamkan beberapa detik, sebelum pelayan itu menganggukan kepalanya.
Aida melangkah terlebih dahulu, menunjukan arah untuk ke kamar Kinara.
Keano mengikuti Aida dari belakang, lantas bertanya. "Apa suaminya ada di rumah?" Nanda bertanya sembari memandang punggung pelayang berseragam pink, sama seperti pelayan lainnya yang berada di rumah ini.
"Tidak ada, Tuan," sahut Aida, setelah membuang semua keraguan yang ada.
Nanda menganggukan kepalanya berkali-kali, lantas terus melanjutkan langkahnya, menaiki anak tangga.
Sedangkan Kinara ... Dia nampak semakin murung, kondisinya pun tidak kunjung membaik, tetapi justru malah semakin memburuk.
Sayup-sayup, Kinara mendengar suara dari luar kamarnya, terdengar seperti suara Aida yang khas dengan suara cempreng nan medok, kental dengan logat jawanya.
Kinara yang sejak tadi duduk bersandar di atas ranjang, mengalihkan pandangannya ke pintu, sambil mempertajam pendengarannya.
Matanya membulat dengan sempurna, ketika melihat siapa yang baru saja membuka pintu kamarnya.
'Apa itu benar-benar Nanda? Atau hanya halusinasiku saja?' batin Kinara bertanya-tanya, tidak percaya dengan keanehan yang terjadi detik ini.
Sakit, rasanya begitu menyakitkan melihat kondisi Kinara yang seperti sekarang ini. Lelaki mana yang bisa terima jika seseorang yang dia cintai, dalam kondisi seperti ini.
Kinara yang saat ini memakai pakaian terbuka, membuat luka lebam di tangan, wajah serta pundaknya lebam-lebam, di tambah lagi dengan perban yang terletak di dahinya, membuat Nanda semakin terpukul.
Nanda menutup pintu, dengan tatapan begitu sendu ter-arah pada Kinara. Mata Nanda mulai memanas, melihat pandangan kosong dari Kinara. Kinara yang dulu dia kenali begitu ceria, kini sudah berubah drastis, bahkan, Nanda merasa asing dengan pandangan Kinara.
"Ra?" panggil Nanda, setelah duduk di tepi ranjang, tepat di hadapan Kinara.
Mendenar panggilan itu, membuatnya sedikit percaya bahwa yang dia lihat saat ini memang benar-benar Nanda.
"Mengapa kamu tidak mengatakan yang sebenarnya padaku?" tanya Nanda, dengan suara berat nan lembut itu.
Air mata Kinara menetes begitu saja, mendengar pertanyaan Nanda. Kinara spontan dengan cepat menggeleng lantas mengusap sisa air mata yang baru saja terjun menyusuri pipinya.
"Ah, maaf, aku terlalu lama membuka mata, hingga mataku terasa pedih," gumam Kinara, memaksa diri untuk tetap tegar dan tersenyum.
Nanda menggenggam tangan Kinara, menghela napas berat, lantas berkata. "Sejak kapan kamu pintar berbohong seperti ini?"
Spontan, Kinara mengangkat kepalanya, membalas tatapan sendu Nanda. "Siapa bilang aku pintar berbohong?" Kinara memaksa mengundang tawa kecil, berbicara dengan napas tertahan.
Tawa miris itu berhasil membuat Nanda seperti di bunuh secara perlahan, mulut Kinara memang bisa berbohong, tetapi tidak dengan sorot pandang dan juga kenyataan yang saat ini dia lihat.
"Mengapa tubuhmu di penuhi luka lebam? Mengapa dahimu di perban seperti itu?" tanya Nanda beruntun, membuat Kinara gelisah.
"Aku jatuh di kamar mandi," jawab Kinara, setelah beberapa detik berpikir jawaban logis.
Nanda terdiam seribu bahasa, tidak percaya Kinara akan berbohong seperti ini padanya.
"Kamu 'kan tahu, aku ceroboh." Kinara kembali tersenyum penuh keterpaksaan.
Nanda mengalihkan pandangan pada tangan Kinara yang sedang dia genggam, karena sejak tadi terasa seperti gemetar, dan benar saja, tangan Kinara bukan hanya terasa panas, tetapi juga bergetar.
Nanda mengangkat wajahnya. "Kamu bohong," ucap Nanda, membuat Kinara lelah dan bingung harus dengan cara apa lagi dia membohongi Nanda.
"Aki tahu semuanya, Ra! Itu sebabnya aku datang kemari," kata Nanda, mengosongkan semua isi pikiran Kinara.
Senyumannya memudar, otaknya berpikir keras, tidak ingin Nanda tahu yang sebenarnya.
"Mengapa kamu menyembunyikan semuanya dariku? Jika aku tahu kamu tersiksa dengan pernikahanmu ini, sejak dulu pasti aku tidak akan tinggal diam!" seru Nanda, mulai meluapkan segala rasa yang sudah berpadu menjadi satu.
"Aku tidak apa-apa, Nanda! Aku baik-baik saja!" Kinara menekan setiap katanya, dengan suara yang sedikit bergetar.
"Tidak, aku tahu kamu berbohong! Apakah kamu tidak mencintai dirimu sendiri? Hingga kamu pasrah dengan keadaan seperti sekarang ini?" tanya Nanda, masih penuh penekanan, tidak percaya bahwa Kinara akan sebodoh ini.
"Sudah kubilang, aku tidak apa-apa, aku tidak tersiksa!" seru Kinara, menarik lengannya yang sedang di genggam Nanda.
"Lihatlah! Apa semua ini belum cukup untuk menjadi bukti?" Nanda membuka telapak tangannya menunjukan semua luka Kinara dengan tangannya itu.
"Aku jatuh, Nanda! Hanya terjatuh di kamar mandi! Kamu tidak perlu berlebihan seperti itu!" sergah Kinara, berhasil menutup mulut Nanda yang masih terbuka untuk melanjutkan kalimatnya.
Hening ...
Keduanya saling menatap satu sama lain. Kinara menyesal telah membentak Nanda, hingga membuat Nanda marah. Tetapi, sebenarnya Nanda bukan marah, tetapi, dia sedang berusaha berdamai dengan perasaannya yang terluka itu.
"Maaf, aku tidak bermaksud untuk membentakmu, hanya saja, aku kesal dengan sikapmu yang seolah memaksaku untuk bersedih," ujar Kinara, dengan menasang ekspresi sok cerianya itu.
"Kamu memang tidak berubah, sejak dulu selalu saja bersikap berle-"
"Aku tahu semuanya dari Dinda!" kata Nanda, memotong perkataan Kinara.
Kinara menutup mulutnya rapat-rapat, menurunkan pandangannya, menatap jemarinya yang sejak tadi dia remas di atas pangkuannya sendiri. sembari mengatur napas yang terasa sesak. Dia tidak menyangka, bahwa Dinda akan tega mengumbar aibnya pada Nanda.
"Jujur, aku tidak suka melihatmu pura-pura kuat seperti ini!" Nanda kembali menggenggam tangan Kinara yang sudah mulai berkeringat itu.
"Aku sedang ingin sendiri," gumam Kinara, kembali menepis genggaman tangan Nanda.
Di lain tempat ...
Lebih tepatnya di PT JOVA GROUP, sebuah perusahaan yang sedang Keano kelola.
Keano kini berada di ruang kerjanya, mencari beberapa berkas proposal pengajuan pembangunan wisata renang, yang harus dia ajukan esok pagi.
'Sialan, kemana perginya berkas itu?!' batin Keano, menggerutu tidak jelas.
Keano berkacak pinggang sambil mengingat di mana tsrakhir kali dia menyimpan berkas itu. 'Apa tertinggal di rumah ya?' batin Keano, bertanya-tanya pada diri sendiri.
"Ya, aku harus mencarinya ke rumah." Keano berjalan dengan tergesa-gesa, meninggalkan kantornya ini, berniat untuk kembali ke rumah, memastikan agar besok dia tidak pusing seperti detik ini. Lagipula, ini memang sudah jam pulang kantor.
Di lain sisi ...
Setelah selesai diskusi, semua anggota Mafia pun pulang, menyelesaikan beberapa misi target lokasi pertemuan untuk transaksi penyerahan berbagai senjata ilegal.
Kini yang tersisa hanyalah Defiana bersama dengan Xiavier, Xiavier masih berada di apartement Deffiana karena ingin menemani Deffiana minum-minum, melepas segala beban yang seakan-akan tidak akan terhapuskan dari memori ingatannya.