"Di waktu ini aku ingin tinggal, sebagai aku ... Sebagai kita ~ "
🌹
Seorang gadis berseragam SMA, berambut panjang sepunggung, kulit putih ,mata lebar dengan bulu mata yang lentik juga bibir ranum warna plum yang saat tersenyum akan menampakkan sepasang gigi kelinci. Siapapun yang memandang gadis itu pasti akan langsung jatuh hati. Tangannya dengan jari jari panjang yang cantik menyodorkan sepucuk surat warna merah di hadapan pemuda yang juga berseragam SMA. Si pemuda tidak kalah rupawan. Wajahnya sedikit kearab arab-an. Hidungnya mancung, matanya tegas, badannya tegap dengan sedikit rambut menjuntai di keningnya.
Hari itu suasana sekolah sudah mulai lengang. Hanya beberapa murid sesekali lewat di lorong depan kelas tempat mereka saat ini beradu pandang.
Dengan wajah datar dia memandang gadis di hadapannya, tangan kirinya sibuk memegangi tas punggung yang hanya menggantung di satu bahu. "Apa lagi?" Tanyanya sedatar ekspresi wajahnya.
"Surat." Jawab si gadis yang kemudian memasang senyum jahil. "C - I - N - T - A. Surat cinta." Tegasnya.
Si pemuda mengambil kasar surat itu, merobeknya lalu membuangnya di tong sampah tak jauh dari tempat mereka berdiri.
"Kok dirobek sih?" Tanya si gadis sambil berusaha mengimbangi langkah pemuda yang sama sekali tidak mengurangi kecepatan kakinya. Rambutnya yang sedikit bergelombang bergoyang seirama dengan langkah kakinya. "Nggak punya perasaan banget! Paling enggak dibaca dulu biar tau siapa pengirimnya, apa isinya ..." Tanpa aba aba si pemuda berhenti dan membuat gadis itu menabrak punggungnya. "Aduh ! Kalau jalan yang bener dong !" Keluhnya.
Si pemuda berbalik ,menatapnya. Yang ditatap memutar bola mata berusaha menghindari tatapan si pemuda.
"Kalau masih berani ...."
"Siap komandan ! Saya tunggu di parkiran ! Laksanakan !" Potong si gadis sambil berlari meninggalkan si pemuda yang hanya menghela nafas panjang sebelum berjalan menyusul si gadis yang sudah hilang di ujung lorong.
🎶Wise men say only fools rush in
But I can't help falling in love with you
Shall I stay?
Would it be a sin
If I can't help falling in love with you?🎶
Lagu Elvis Presley mengalun dari ponsel ke earpiece di telinga si gadis. Kepalanya di sandarkan di punggung pemuda yang tadi ,memejamkan mata sambil memikmati semilir angin yang berhembus dari atas CB100 milik si pemuda sementara si pemuda sibuk mengemudi sambil memegangi tangan si gadis di pinnggangnya, takut kalau kalau gadis itu jatuh. Sudah kebiasaan memang kalau dibonceng selalu tidur ,tidak peduli si pengemudi olahraga jantung sambil berusaha berkonsentrasi pada jalanan.
"Ta. " Panggil si pemuda setelah dia memarkir motornya di depan rumah yang tidak begitu besar berlantai dua dengan nuansa putih. Pelan dia menepuk nepuk tangan si gadis yang masih melingkar di pinggang. "Ta bangun ,Ta. Udah nyampek nih." Panggilnya lagi tanpa respon. "Avita ! Bangun nggak! Gue lempar nih !" Kali ini dia sedikit membentak yang berhasil membuat si gadis terperanjat dan segera turun dari motor.
Avita.
Nama gadis itu Avita Priscilla. Dia hanya seorang pelajar SMA berusia 16 tahun. Paling tidak untuk saat ini.
-
"Bim! Bim !" Avita berlari dari dalam rumah ke area kolam renang tempat seorang pemuda tengah sibuk memunguti dedaunan yang jatuh di atas air dengan serokan panjang yang pegangannya terbuat dari bambu.
Pemuda itu namanya Bimo Satrio. Dia sudah tinggal di rumah ini sejak umurnya 6 tahun. Kematian bapaknya waktu itu yang membuat si ibu harus bekerja. Dan untungnya mereka bertemu tante Farah yang menerima ibunya bekerja sebagai asisten tumah tangga sekaligus merawat Avita. Lebih beruntung lagi, tante Farah tidak keberatan Bimo ikut tinggal bersama di rumah ini. "Buat nemenin Avita." Begitu katanya waktu itu dengan senyumnya yang cantik sambil mengusap lembut kepala Bimo kecil.
"Bim, katanya bulan bulan ini bunga edelweis mulai mekar." Jelas Avita sambil menunjukkan ponselnya ke muka Bimo.
Bimo menghentikan aktifitasnya ,menjauhkan sedikit wajahnya dari ponsel yang terlalu dekat untuk membaca artikel yang terpampang di sana. "Trus?"
"Kita ke Bromo yuuukkk~" Pintanya manja.
"Ogah ! Gue megangin loe naik motor dari sekolah ke rumah aja tangan udah mau copot apalagi ke Bromo." Omelnya sambil mengenang momen pulang sekolah yang tidak bisa dihindarkan sejak mereka SD. Yap ! Dari SD hingga sekarang mereka sekolah di tempat yang sama. Bedanya saat masih SD, Bimo biasa membonceng Avita dengan sepeda ontel, baru setelah masuk SMA tante Farah mengijinkan dia menggunakan motor antik peninggalan papanya Avita.
"Ya nyewa mobil !"
"Ogah ! Gue ada proyek bikin film sama anak anak." Tolaknya sambil berlalu meninggalkan Avita dengan bibir manyun-nya.
Bimo memang sudah lama tertarik dengan dunia perfilm-an. Dia dan sahabatnya sejak SMP, Dimas, sering membuat film pendek dan mempostingnya di youtube. Di SMA ini dia dan Dimas bertemu beberapa teman yang juga tertarik dengan dunia perfilm-an hingga sekolah menjadikan hobi mereka sebagai salah satu ekstrakulikuler dengan Bimo sebagai ketua dan Dimas sebagai wakilnya. Dengan statusnya itu, ditambah tampangnya yang mendukung, Bimo jadi populer di sekolah. Makanya dia sering mendapat surat cinta dan Avita selalu jadi salah satu pengantar surat.
Avita sendiri tidak terlalu suka bergaul. Dari dulu temannya yang paling dekat ya Bimo. Dengan Dimas-pun dia tidak terlalu dekat walaupun dia sahabat Bimo. Kemana mana bersama Bimo. Walaupun beda kelas, mereka selalu menghabiskan jam istirahat bersama. Saking dekatnya, yang tidak tau pasti menyangka mereka sepasang kekasih. Tiap pulang sekolah juga Bimo selalu mengantar Avita pulang dulu lalu kembali ke sekolah untuk urusan ekstrakulikuler saking tidak teganya membuat gadis itu menunggu sendirian.
Lalu sebenarnya apa status mereka? Entahlah. Mereka hanya dekat karena sudah tinggal serumah sejak mereka umur 6 tahun. Tante Farah sering ke luar kota bahkan ke luar negeri untuk mengurus bisnis yang ditinggalkan kakaknya, papa Avita. Jadi ,sehari hari Avita menghabiskan waktu bersama Bimo dan ibunya. Bi Minah, dia sudah seperti ibu untuk Avita. Dan Avita sudah seperti anak perempuan untuk Bi Minah, menyayanginya sama seperti dia menyayangi Bimo putranya. Sifat Avita yang manja membuat Bimo mengambil peran sebagai seorang kakak walaupun usia mereka sepantaran.
"Tok ... tok ... tok ..." Dan sewajarnya kakak adik, Avita selalu mengganggu Bimo. Selalu ...
"Apa?" Tanya Bimo dari balik laptop. Waktu sudah menunjukkan pukul 11 dan Bimo masih berkutat dengan tugasnya sebagai ketua ekskul.
Yang ditanya hanya mengedip ngedipkan mata sambil berdiri di ambang pintu kamar. Rambut tergerai seperti biasa dengan t-shirt oversize warna biru dongker dan hotpants.
"Apa sih?"
"Do you ..."
Bimo menunggu, mengabaikan laporan pembuatan film yang harus selesei besok pagi hanya untuk ..
"Do you wanna build a snowman?"
Dipermainkan Avita.
"Haisshhh ... Kampret !" Hampir saja laptop di pangkuannya terlempar.
Dan Avita berlari dari kamar, suara tawanya terdengar di kejauhan beriringan dengan derap kakinya.
Di depan orang lain ,Avita bisa saja terlihat pendiam dan anggun. Tapi bersama Bimo, dia adalah dia ~
--
"Avita !" Mirta berlari lari menyusul Avita yang kedua tangannya sibuk membawa tumpukan buku PR Matematika dari ruang guru untuk dibawa ke kelas. Dia ini adalah teman sekelas Bimo dan Dimas sekaligus bendahara di ekskul mereka.
"Ya?"
Si Mirta tersenyum. Manis memang tapi sering membuat Avita kesal karena selalu menempel pada Bimo. "Hari ini loe bisa pulang sendiri nggak?"
"Emang kenapa?"
"Gue ada urusan sama Bimo. Kayaknya sih sampek malem. Kasian aja kalau Bimo harus nganter loe dulu trus balik lagi ke sini." Jelasnya sambil mengutip kata 'urusan' dengan jari.
"Oh."
"Loe nggak keberatankan? Lagian selama ini Bimo selalu loe kintilin terus, sekali kali biarin dia punya hidupnya sendiri." Kalimat penutup dari Mirta entah kenapa membuatnya sedih.
Memangnya selama ini Bimo terganggu karena harus mengantarnya pulang? Memang iya sih dia selalu ketiduran di perjalanan, tapi mau bagaimana lagi? Punggung Bimo nyaman sekali dijadikan sandaran, ditambah hembusan angin sepoi sepoi dan alunan musik.
"Pulang yuk." Bimo membuyarkan lamunannya.
Seperti biasa, karena kelas mereka berbeda dia menunggu Bimo di parkiran. Dia sebenarnya belum pernah pulang sendiri tapi perkatan Mirta ada benarnya juga sih. Kasian Bimo kalau dia harus mengantarnya pulang dan kembali ke sini lagi. "Gue bisa pulang sendiri. Loe nggak usah nganter gue."
"Ha? Emang gimana loe pulangnya? Ngesot?"
"Naik bislah ! Loe kira gue suster ngesot ?!"
"Yakin?"
Avita mengangguk. Sebenarnya tidak juga sih. Dia mana tau harus naik bis apa kalau mau ke rumahnya.
"Ya udah. Ada ongkos nggak?"
Sekali lagi Avita mengangguk. "Udah sana ,loe ada urusankan?"
"Tau dari mana loe kalau gue ada urusan?" Tanya Bimo sambil mengangkat sebelah alis.
"Gue-kan sakti, bye !" Jawab Avita sambil berlalu ke gerbang sekolah.
Oke, pertama tama dia harus ke halte bis. Biasanya keluar dari gerbang Bimo akan memutar sepedanya ke kiri. Sip ! Jadi dia harus menunggu bis di halte depan sekolah ,tidak perlu menyebrang jalan. Sekarang tinggal, bis apa yang harus dia naiki?
Sebentar ...
Dia tidak tau harus turun dimana !
Sepertinya ini efek terlalu bergantung pada Bimo. Ya habisnya kemana mana sama Bimo ~ Beli gorengan depan komplek-pun juga sama Bimo.
Setelah lama duduk di halte sambil berusaha mengingat alamat rumah akhirnya dia menyerah. Halte sudah sepi, tinggal dia sendirian dengan perut keroncongan. Mamang tukang cilok yang biasa mangkal depan sekolah juga sudah pergi. Mau kembali ke sekolah ,kantin juga pasti sudah tutup. Yang ada nanti malah ketemu Bimo atau Mirta.
Avita menundukkan kepalanya, sama sekali tidak menyangka kalau dia benar benar jadi benalu yang bahkan pulang ke rumahnya sendiri-pun tidak bisa. Mau naik taksi juga percuma, dia-kan tidak tau arah rumahnya.
"Bego' emang." Sebuah suara yang sudah sangat familiar memaksanya mengangkat kepala. Dari balik rambutnya yang berantakan tertiup angin dia bisa melihat tampang Bimo dengan helm biru lautnya, lengkap dengan jaket dan tas punggung juga kunci motor di tangan kiri. "Loe pikir gue percaya kalau loe bisa pulang sendiri?" Tanya-nya. "Gue kira loe bakalan salah naik bis trus kesasar makanya gue sengaja nungguin depan gerbang sekalian bawa motor." Jelas Bimo karena Avita memandangi penampilannya.
"Loe bukannya ada urusan?" Tanya Avita tanpa merubah posisi.
"Ya elo juga urusan gue! Yuk pulang !" Katanya sambil menyeret Avita ke depan gerbang tempat dia memarkir motornya, memakaikan helm tanpa merapikan dulu rambut Avita, melupakan rapat proyek film yang harusnya dia pimpin untuk mengantar gadis itu pulang.
Sepanjang jalan mereka hanya diam. Tidak seperti biasanya, hari ini Avita tidak tidur. Dia berusaha mengingat jalanan yang mereka lewati juga bis atau angkutan umum yang berhenti tidak jauh dari komplek perumahan tempatnya tinggal.
"Besok besok jangan ngeyel pulang sendiri." Omel Bimo begitu mereka sampai rumah. Setelahnya Bimo kembali ke sekolah dan baru pulang saat waktu hampir menunjukkan pukul 10 malam. Katanya sih rapat ekskul sekalian belajar bersama untuk persiapan UN.
Besoknya pagi pagi sekali Bimo sudah sibuk di dapur. Avita? Kalau belum mepet jam berangkat sekolah dia tidak akan rela meninggalkan kasur.
"Non, udah siang. Bangun, ntar telat lho ke sekolahnya." Kata Bi Minah lembut sambil merapikan rambut yang menutupi wajah Avita. Perempuan paruh baya itu duduk di pinggir ranjang ,membelai kepala Avita yang justru membuatnya makin terlelap.
"Ta ! Udah siang ! Kalau loe nggak bangun gue tinggalin nih !" Teriak Bimo dari luar kamar. Beda memang kalau dia yang membangunkan. Tapi efektif.
Avita buru buru melompat dari kasur ,mengabaikan Bi Minah dan segera meluncur ke kamar mandi. Selesai siap siap, setengah berlari dia menuruni tangga, mengintip sebentar ke ruang makan memastikan Bimo masih duduk di sana lalu kembali lagi ke kamar untuk mengambil ponsel yang tertinggal.
"Bimo mana?" Tanyanya khawatir begitu tidak menemukan Bimo di ruang makan.
"Udah di luar, non." Jawab Bi Minah.
Segera dia mengambil roti selai kacangnya dan melesat ke garasi.
"Ayo." Katanya dengan mulut menggigit roti dan kedua tangan sibuk merapikan rambut.
Hari ini rencanya dia ingin pulang sendiri. Sudah hafal jalan dan sudah tau bis apa yang harus dia naiki. Fiks, kali ini harus sukses pulang sendiri.
BRUK !
Entah bagaimana Bimo sudah ada di kelasnya. Padahal bel pulang sekolah baru saja berbunyi, sebagian teman juga masih di kelas.
"Apaan nih?" Tanya Avita sambil memandangi 2 kotak makan yang Bimo letakkan di mejanya.
"Bekal makan siang."
"Buat?"
"Hari ini gue ada produksi ,nggak sampek malem malem banget sih."
"Trus?"
"Ya elo ikut gue."
"Enggak ah. Gue pulang."
Bimo melotot, "Masih ngeyel ! Di luar sana tuh bahaya, Ta."
"Apaan sih? Gue cuman mau pulang bukannya mau tour ke Lost World."
Tanpa aba aba Bimo meraih kedua lengan Avita, "Di luar sana emang nggak ada dinosaurus, Ta. Tapi kalau ada apa apa di bis gimana? Kecopetan misalnya, trus loe mau gimana? Nggak bisa bayar ongkos trus loe dipaksa nyuci bis sama sopirnya, Mau?" Kemudian matanya melebar. "Lebih buruk lagi gimana kalau loe diculik om om pedo? "
PLAAAKKK !
Satu dorongan di muka dan Bimo hampir terjengkang ke belakang. "Jadi mau makan di mana? Gue laper." Kata Avita yang kemudian sibuk mengemasi buku dan kotak pensilnya.
"Haiiissshhh ... Perempuan nggak ada kalem kalemnya. Ya di sini-kan juga bisa !" Jawab Bimo sedikit kesal tapi lega juga karena Avita menurutinya. Sambil mengusap usap wajahnya ,dia mulai membongkar kotak makan siang. Melahap habis 2 potong monte cristo sandwich yang membuatnya berperang dengan wajan dan kompor pagi pagi buta. Tidak lupa satu apel sebagai pencuci mulut. Minumnya soda yang tadi dia beli di kantin pada jam istirahat.
"Bilang apa?" Tanya Bimo sambil memasukkan kembali kotak makan mereka ke tas-nya.
Avita memasukkan buah apelnya ke dalam tas, lumayan bisa jadi cemilan kalau dia bosan menunggu Bimo. "Apa?"
"Bilang makasih Bimo udah dibikinin makan siang, gitu !"
"Emangnya loe yang bikin?"
Ah, ya. Bimo lupa kalau tadi Avita masih tidur saat dia membuat makan siang. "Sama sama ,Ta." Katanya sambil berlalu.
Selama produksi Avita cuma duduk, agak jauh dari lokasi. Mereka mengambil shoot eksterior, entah produksi film apa. Bosan juga sebenarnya. Walaupun tempatnya bagus, tapi Bimo sudah wanti wanti agar Avita tidak kemana mana sampai dia selesai. Jadi, Avita main game di ponsel sampai baterainya habis. Setelah ponselnya mati dia hanya memandangi Bimo. Dari tempatnya dia bisa melihat Bimo memberi arahan pada talent lalu kembali ke tempat duduknya di belakang monitor dan berteriak ,"Action !"
Demi apa Avita baru sadar kalau Bimo itu keren? Sudah 10 tahun hidup bersama dan baru hari ini dia menyadari alasan dia begitu populer di sekolah. Hidungnya yang mancung, rahangnya yang tajam, bibir tipis dan jari jari tangan panjang yang biasa menggandeng dan memeganginya saat tidur di atas motor. Pantas banyak siswi yang mengiriminya surat cinta.
Eh ! Kok jantungnya deg deg-an?
"Cut !" Teriak Bimo di kejauhan. "Oke, besok kita lanjutin lagi !" Katanya lalu bergegas membantu crew mengemasi barang. Setelah selesai, dia lari lari kecil menghampiri Avita yang masih duduk di bawah pohon beralaskan koran. "Capek?" Tanya-nya. Harusnya yang bertanya begitu-kan Avita, secara dari tadi dia cuma duduk sambil sesekali ketiduran gara gara ponsel mati.
"Laper." Jawab Avita sambil mengemasi tas ranselnya.
"Ya udah kita pulang sekarang." Katanya.
Perhatian memang. Dimas jadi sering yakin kalau sebenarnya ada rasa lebih diantara mereka berdua. Sayangnya yang satu terlalu polos untuk menyadari dan yang satu terlalu takut mengakui.
"Bim ,loe jadi nggak sekalian ikut makan sama kita nih?" Tanya Dimas yang melihat Bimo dan Avita sudah di atas motor.
"Kapan kapan ajalah, udah malem." Jawab Bimo enteng.
"Oke. Ati ati di jalan ! Bye ,Avita ~" Dan Dimas masih sempat menggoda Avita. Yang digoda hanya manyun sambil pegangan di pinggang Bimo macam naik ojek. Padahal kalau sudah ngantuk ya melingkar erat.
🍃